Mohon tunggu...
Tria Nabila Rosi
Tria Nabila Rosi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tria Nabila Rosi 2151020299 Perbankan syariah (G) Fakultas ekonomi bisnis islam Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Obligasi Syariah

28 Maret 2023   14:17 Diperbarui: 28 Maret 2023   14:30 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan institusi keuangan syari'ah di Indonesia kembali membuka lembaran baru. Suatu bentuk obligasi syari'ah sudah lahir di tengah kondisi pasar modal yang lesu, instrumen baru ini diharapkan menjadi alternatif baru investasi jangka panjang dengan menggunakan asas-asas hukum Islam. Produk syari'ah yang berkembang di mancanegara sebenarnya sudah relatif banyak. Dan yang penting, hampir seluruhnya menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Untuk Indonesia, perkembangan produknya cukup baik dan telah mendapat dukungan positif dari berbagai pihak. Terutama pada perbankan dan reksa dana syari'ah yang menonjol dibandingkan yang lain. 

Bab ini bertujuan untuk menjelaskan pendapat Ulama Islam mengenai Baiyul Dayn (jual utang) dan perbedaannya dengan obligasi; pendapat para ulama Islam yang temporir mengenai obligasi yang mendasari terjadinya perbedaan pandangan mengenai obligasi konvensional dewasa ini; dan pada bagian akhir bab akan diberi analisis yang rinci mengenai munculnya obligasi syari'ah di Indonesia serta gambaran mengenai manfaat dari obligasi syari'ah terhadap lembaga keuangan syari'ah di Indonesia.

Metode penelitian :

Penulis meneliti ini untuk melakukan jenis penelitian yang di kenal sebagai penelitian subjektif karena sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Penilaian ini menggunakan metodelogi tinjauan pendapat perasaan dan prefensi.

Hasil pembahasan :

Pengertian Obligasi Syari'ah

Obligasi atau Bond merupakan surat piutang dari suatu lembaga atau perusahaan, yang dijual kepada investor untuk mendapatkan dana segar. Dalam pasar uang yang sudah berkembang dengan baik bentuk dan jenis obligasi bisa mencapai belasan bahkan puluhan termasuk diantaranya ada yang bisa dikonversikan dengan saham perusahaan penerbit (convertible bonds).

Obligasi merupakan utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penyertaan dana yang didasarkan pada prinsip bagi hasil. Dalam bentuknya yang sederhana obligasi syari'ah terbitkan oleh sebuah perusahaan sebagai pengelola (mudharib) dan dibeli oleh investor (sohib Al-mal).

Obligasi syari'ah adalah syahadatu istimar ( Investment certificate) atau Mudharabah Bond. Dengan menamai sertifikat investasi maka akan mengesampingkan asosiasi bunga tetap yang melekat pada obligasi biasa. Demikian juga dengan memberikan imbuhan Mudharabah sebelum Bond akan menjadi instrumen ini benar-benar profit sharing based dan bukan fixed pre-determined return.

Beberapa negara Arab seperti Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Sudan, dan Mesir menamai "obligasi syari'ah" dengan syahadatu istimar sementara Malaysia menamainya dengan Mudharabah Bond. Khusus untuk negeri kita yang masih asing dengan istilah tersebut maka tidak ada salahnya untuk sementara menyebut dengan "obligasi syari'ah" dengan catatan beberapa karakteristik yang tidak sesuai syari'ah dari obligasi bisa ditinggalkan.

Perbedaan Pendapat Tentang Hukum Jual Beli Obligasi

Pendapat Pertama

Sebagian besar ulama Islam temporir melarang jual beli obligasi konvensional dalam semua jenis dan secara keseluruhan, serta menganggap bahwa hukumnya haram mutlak. Para ulama yang berpendapat seperti itu ialah Syaik Shaltut, Muhammad Yusuf Mussa, Syaik Yusuf Qardawi, Abdul Aziz Al Kahit, Ali Al Salus, dan Saleh Marzuki dengan memberi petunjuk Fiqh yang menjadi dasar keluarnya fatwa larangan tersebut yaitu :

1. Obligasi dianggap seperti utang yang di dalamnya terdapat bunga. Bunga ini bisa dikategorikan sebagai riba al nasia yang diharamkan oleh Islam.

2. Utang obligasi sama dengan deposito yang disimpan dalam bank, dan hitungan bunga atas obligasi dianggap sebagai sama dengan bunga deposito, walaupun uang dari itu bisa diinvestasikan secara khusus setelah diserahkan kepada pihak yang mengeluarkan obligasi serta dijamin atas pengembaliannya setelah jatuh tempo plus tambahnya (bunga). Cara ini dianggap sama saja dengan utang yang dipakai untuk produksi yang dikenal dizaman jahiliah dan diharamkan oleh Al-Qur'an dan Sunah.

Pendapat yang Kedua

Pendapat atau dalam bahasa figh fatwa yang dikemukakan oleh Mufti Mesir Syaik Muhammad Said al Tantawi bahwa jual-beli obligasi pemerintah atau seperti yang dikenal di Mesir dengan nama Sertifikat Investasi diperbolehkan oleh syari'ah dan keuntungan yang terdapat dari kepemilikan obligasi itu adalah halal mutlak. Petunjuk yang menjadi dasar keluarnya fatwa itu ialah:

1.Bahwa obligasi (Sertifikat Investasi) adalah gambar lain dari mudharabah yang dihalalkan oleh syari'ah Islam.

2.Bahwa obligasi sebuah transaksi keuangan baru yang diindikasikan menciptakan manfaat besar kepada bangsa.

3.Obligasi dibeli oleh para investor untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan bukan dengan tujuan mengambil keuntungan atas kebutuhan orang lain.

4.Bunga yang diambil oleh pemegang obligasi ialah satu jenis dengan hadiah atau hibah, dan pemerintah bisa memberi bonus dan hibah kepada penduduknya yang rasional. Sesuai dengan sabda rasul "Barangsiapa yang berbuat kepada kalian kebaikan maka balaslah kebaikan itu dengan hadiah, dan hadiah itu sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran "Apabila kamu diberikan penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah selalu membuat perhitungan atas tiap-tiap sesuatu". Maka untuk itu lembaga fatwa Republik Mesir berpendapat bahwa para pejabat di bank sentral Mesir harus mengganti kata bunga yang tercantum dalam obligasi tersebut dengan kata hasil investasi atau laba investasi.

5.Karena dalam transaksi jual-beli obligasi tersebut tidak terdapat unsur paksaan dan terjadi atas taradi (mutual consent) antara dua belah pihak maka transaksi ini sah dari segi syari'ah Islam.

Pendapat yang Ketiga

Syaik Jadel Hak Ali Jadel Hak (Mantan Mufti Republik Mesir) bahwa diperbolehkan untuk Pendapat beberapa ulama temporir diantaranya Syaik Abdul Aazim Bar'kah, dan memperjualbelikan obligasi yang tidak tercantum riba didalamnya, yaitu suatu jenis obligasi yang menjanjikan sebuah hadiah besar yang diundi di waktu yang sudah ditentukan, karena janji untuk memberi sebuah hadiah telah diperbolehkan oleh beberapa para ulama figh Petunjuk yang menjadi dasar keluarnya fatwa itu ialah:

1.Obligasi itu memberi kemanfaatan bagi negara dan para pemegang obligasi secaraperorangan.

2.Bahwa obligasi yang menjanjikan hadiah bisa dimasukkan dalam bab perjanjian untuk memberi hadiah. Dan pengambilan serta penggunaan hadiah tersebut diperbolehkan.

Penulis berpendapat bahwa yang paling bisa diterima di antara semua fatwa para ulama di atas ialah fatwa para ulama yang mengharamkan obligasi konvensional untuk semua jenis, karena obligasi itu adalah utang yang berbunga atau dalam kata lain uang yang sudah dipinjamkan kepada perusahaan atau pemerintah dengan imbalan bunga (riba) yang diberikan kepada para kreditur. Sementara itu riba-nya termasuk dalam riba al nasia yang secara jelas diharamkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah.

Alasan Ulama mengenai halalnya obligasi bisa dibantahkan dengan:

1.Ulama yang berpendapat bahwa obligasi ialah transaksi yang sama hukumnya dengan mudharabah. Pendapat ini tidak benar karena mudarabah merupakan sebuah kontrak musyarakah (menjalankan kemitraan) antara kedua pihak yaitu orang yang mempunyai modal dan orang mudharib untuk menjalankan usaha yang halal. Keuntungan yang dihasilkan oleh mudharabah dibagi sesuai kesepakatan yang sudah disetujui antara kedua belah pihak dan mudhurib tidak dibebani sesuatu dari kerugian yang terjadi di luar faktor kelalaiannya karena dia telah ikut serta dalam mudharabah dengan kerja, waktu dan pikiran. Dengan demikian terdapat perbedaan antara mudharabah dengan obligasi karena keuntungan dalam mudharabah tidak dijamin dan kerugian dibebankan kepada yang mempunyai modal.

2.Ulama yang berpendapat bahwa obligasi bisa membawa kemanfaatan dan membantu pemerintah. Pendapat ini tidak sah karena kasus yang sudah dijelaskan dalam bab pendahuluan ini memberi sebuah bukti bahwa obligasi bisa membawa kehancuran ekonomi negara dan utang sebesar Rp450 triliun bisa menjadi Rp14.000 triliun. Hal ini jelas membawa kesengsaraan kepada orang banyak dan Islam tidak menyetujui adanya kezaliman.

3.Ulama yang berpendapat bahwa bunga yang diberikan kepada pemegang obligasi ialah sama saja dengan hadiah dan hibah dari pemerintah yang diberikan kepada penduduknya yang rasional. Pendapat ini juga tidak sah karena Undang-undang yang mengatur masalah obligasi menganggap bahwa bunga yang tercantum dalam obligast wajib dibayar oleh pihak yang mengeluarkannya dan melarang pihak yang mengeluarkan obligasi untuk menolak pembayarannya. Ini tidak bisa dibandingkan dengan hibah dan hadiah yang tidak mengikat orang yang menjanjikannya. Lebih jauh lagi sebenarnya bunga yang dibayar oleh pemerintah dan perusahaan atas obligasi yang dikeluarkan lalah tambahan yang sudah disyaratkan dalam akad utang (obligasi) sebagai ganti.

4.Ulama yang berpendapat bahwa terjadinya on-taradi antara kedua belah pihak yang membuat transaksi ini sah dari segi syari'ah Islam. Pendapat ini tidak sah karena an- taradi atas sesuatu yang haram tidak menghalalkannya dan banyak transaksi yang diharamkan oleh syari'ah terjadi atas an-taradi.

5.Ulama yang berpendapat bahwa obligasi yang menjanjikan hadiah adalah halal. Pendapat itu tidak benar karena hadiah itu ialah pengganti bunga yang diberi berdasarkan undian dan memasukkannya ke dalam masalah yang lebih rumit yaitu maysir (judi) yang dilarang oleh Islam dan tidak ada satu mazhab fiqh yang menghalalkan judi.

BAYAL-DAYN DALAM FIQH KLASIK DAN PERBEDAANNYA DENGAN OBLIGASI

Bay'al-dayn (jual utang) sebuah istilah yang dikenal dalam buku fiqh klasik dianggap oleh banyak ulama temporer sama dengan obligasi. Menurut penulis pendapat itu tidak benar karena terdapat perbedaan yang mendasar antara transaksi bay'al-dayn dengan obligasi konvensional maupun obligasi syari'ah. Untuk lebih memahami dua transaksi tersebut maka penulis akan membahas bay'al-dayn yang terdapat dalam fiqh klasik dan obligasi syari'ah, dari pembahasan ini diharapkan akan bisa menarik kesimpulan bahwa dua transaksi tersebut berbeda dan tidak bisa dihubungkan.

Bay al-dayn:

Bay'al-dayn (jual utang) bisa dilakukan dengan dua cara yaitu: (pertama) menjualnya kepada debitur secara langsung dengan melunasi utangnya di saat jatuh tempo atau menunda pembayaran utangnya pada waktu yang disepakati antara kreditur dan debitur; (kedua) menjual utang tersebut kepada orang lain.

Cara yang pertama diperbolehkan oleh para ulama fiqh dengan syarat yaitu: tidak terjadi riba dan garar dalam melunasi atau menunda utang tersebut dan tidak terjadi penambahan Jumlah utang sebagai syarat untuk menunda pelunasan utang tersebut. Cara yang kedua tidak diperbolehkan oleh Abu Hanifah, Ahmad Bin Hambal dan Imam Syafi'), tetapi Imam Malik memperbolehkannya kalau sudah memenuhi delapan syarat yang menjamin tidak terjadinya riba dan gurur yaitu:

1.Bahwa debitur harus berada di kota untuk diketahui keadaan ekonominya, apakah dia kaya atau miskin.

2.2 Baliwa debitur harus sudah mengakui utangnya untuk mencegah terjadinya konflik atau mengingkari utang tersebut

3.Bahwa debitur dikenal dengan ketaatannya kepada hukum syari'ah Islam.

4.Tidak menjual utang emas dengan perak dan perak dengan emas untuk mencegah terjadinya kerugian salah satu pihak karena perbedaan harga dua jenis barang tersebut.

5.Bahwa dijual dengan jenis yang sama ataupun lain jenis tetapi harus dengan nilai yang sama, tidak boleh ada tambahan atas nilai aslinya.

6.Tidak ada permusuhan antara orang yang sudah membeli utang tersebut dan debitur.

7.Bahwa utang itu diperbolehkan untuk dijual sebelum menerimanya oleh syari'ah.

8.Dijual dengan tunai. Karena kalau tidak dilunasi waktu penjualan maka akan menjadi jual utang dengan utang dan itu tidak diperbolehkan oleh syari'ah.

Bay'al-dayn tidak sama dengan obligasi syari'ah.

Obligasi mudharabah atau lebih dikenal di beberapa negara di Timur Tengah dengan nama obligasi muqaradah, kata ini sesunguhnya diambil dari kata grad (mengutangi orang lain) dan ialah akad mudharabah. Mudharabah yang didirikan atas dasar suatu perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama bertindak sebagai penyandang dana dan pihak kedua sebagai pengelola usaha, maka pembagian laba dari hasil usaha tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Apabila usaha tersebut rugi maka pemilik dana (rabbul maal) akan kehilangan dana sesuai kerugian sedangkan pengelola kehilangan waktu, pikiran, dan tenaga.

Obligasi mudharabah didefinisikan sebagai "obligasi yang mempunyai nilai nominal yang sama dan telah dikeluarkan atas nama pemiliknya sebagai pengganti atas uang yang sudah diberikan kepada mudharib untuk memanfaatkan uang tersebut dalam melaksanakan proyek investasinya sesuai dengan syari'ah serta memperoleh hasil investasi yang dipakai untuk melunasi nilai nominal obligasi tersebut dan sisanya dibagi antara mudharib dan pemilik obligasi tersebut sesuai dengan persentase pembagian yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak".

Dari pembahasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak terdapat kaitan antara bay'al-dayn dengan obligasi syari'ah, jelas terdapat perbedaan yang besar yaitu:

1.Obligasi syari'ah dianggap sebagai sebuah pengakuan oleh mudharib bahwa pemegangnya memiliki bagian di dalam proyek yang sedang dilaksanakan dan memberinya hak untuk mendapatkan bagian dari hasil proyek tersebut sesuai dengan kesepakatan dalam akad obligasi. Lain halnya dengan utang karena kreditur tidak bisa mendapatkan nilai tambahan atas utangnya sehingga kalau terjadi seperti itu dianggap riba.

2.Obligasi syari'ah bisa dijual dengan harga lebih dari nilai nominal, karena pemegang obligasi tersebut menjual bagiannya pada proyek yang sedang dilaksanakan dengan harga pasar yang ditentukan oleh permintaan, tingkat keuntungan yang diharapkan, Jenis investasi, dan lain-lain lebih memberi keleluasaan, dengan kata lain sama saja dengan saham. Lain halnya dengan utang yang tidak bisa dijual lebih dari nilai aslinya karena akan masuk ke dalam riba.

Kesimpulan :

Dari hasil pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagi berikut :

1.Fatwa para ulama mengharamkan obligasi konvensional karena obligasi itu utang yang berbunga, dan termasuk kedalam riba Al nasia yang secara jelas diharamkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

2.Bay'al-dayn tidak memiliki keterkaitan dengan obligasi syariah, karena keduanya memiliki perbedaan yang besar diantaranya.

3.Dalam berjalannya instrumen obligasi terdapat dua lembaga yang memonitor dan mengawasi.

4.Perbankan syariah sangat terbuka untuk menerbitkan obligasi syariah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun