Mohon tunggu...
Dewy Trinra
Dewy Trinra Mohon Tunggu... -

Belum bisa mengdeskripsikan diriku sendiri tp yg aq tahu aku bahagia dengan kehidupanku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jutaan Cerita Cinta di Langit Jakarta

22 Agustus 2013   09:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:59 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jutaan Cerita Cinta Di Langit Jakarta

“Dia, bukan anakku. Jadi jangan paksa aku untuk sayang dengan anak itu”

“Kalau kamu tidak bisa mencintai dia, ceraikan aku”

“Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikanmu dan sampai aku meninggal sekalipun, aku tidak akan pernah sayang dengan anak itu”

***

Jakarta memang kota yang tak pernah tidur, sorotan gemerlap lampu di tiap sudut jalan, hiruk pikuk arus lalu lintas yang seakan tak pernah putus dan tentunya wanita malam yang cantik. Keindahan Jakarta dapat di temui saat malam semakin larut, saat langit semakin pekat dan udara semakin menembus pori-pori kulit. Aku masih menikmati segelas seloki minuman yang sedikit membuat tubuhku merasa ringan tanpa beban. Lampu pub yang gemerlap dan musik remix yang membangkitkan gairah untuk berdance di tengah keramain, ku isap kembali rokok di tanganku dan menikmati tiap tetes minuman yang telah ku pesan sambil memeluk wanita yang silih berganti datang padaku. Aku cumbu mereka di depan keramaian tanpa rasa malu dan mengajaknya berkencan menghabiskan malam.

Tiap malam ku lewatkan waktuku di pub yang berbeda di Jakarta, dan tiap malam pula aku menjadi tamu di hotel-hotel Jakarta dan tentunya membawa wanita cantik yang berbeda.

Hanya itu yang dapat membuatku merasa di butuhkan orang lain, di butuhkan wanita malam yang menjajahkan kecantikan tubuhnya demi rupiah. Telah ku datangi begitu banyak tempat hanya untuk mencari keramaian. Yah,  hanya untuk mencari keramaian. Aku merasa sendiri meski tiap malam aku berada di tengah kerumunan manusia yang gila akan dunia. Namun tetap ku temukan diriku sendiri dalam sepi.

***

28 Februari, hari ini adalah ulang tahun bunda. Sebelum jarum jam duduk manis pada angka dua belas, ku persiapakan party kecil buat bunda dihalaman belakang rumah, tepat di dekat kolam renang tempat favorit bunda menikmati senja sore. Minah, pembantu rumahku juga ikut membantu menyalakan lampion dan taburan bunga mawar putih di atas air kolam renang yang ku tulis Happy Birthday Bunda dan di sekeliling kolam renang ku pasang lilin kecil beraroma terapi untuk menciptakan kesan eksotik dengan alam.

Inilah saatnya, angka jarum jam telah menunjukkan pertengahan malam. Aku perlahan-lahan berjalan membawa kue ulang tahun mendekati kamar tidurnya.

“Kenapa kau menghukumku selama ini mas?”

Belum sempat ku ketuk pintu kamar bunda, namun suara tangis dan percakapan itu terdengar dari balik pintunya. Aku biarkan tubuhku berdiri di depan pintu, entah mengapa hatiku masih ingin mendengar pertengkaran yang telah ku hafal dialognya, kalau saja ayah tak mungkin bisa mencintaiku sampai ajal menjemputnya sekalipun, karena aku adalah anak hasil perseligkuhan bunda di masa lalunya.

Tanpa harus ku beri isyarat Minah menjauh dari kamar bunda dan menungguku di depan kolam renang. “Aku tidak pernah menghukummu atas kesalahanmu tapi kesalahanmulah yang menghukum mu” ku dengar suara ayahku datar dan dingin.

“Dia anakku mas dan anakmu juga, sudah dua puluh empat tahun kau ikut mengasuh Radit, aku mohon mas. Bukalah hatimu buat Radit, aku tidak bisa lihat Radit hancur hanya karena kesalahanku. Aku mohon mas”. Suara bunda begitu mengiris batinku, aku tahu sudah bertahun-tahun dia hidup dalam rasa bersalah, dia telah bersekutu melawan perang dingin dalam hatinya.

“Tidaaaaaak. Jika kado itu yang kau minta”

Suara ayah mulai meninggi, ingin rasanya aku masuk dan menghentikan pertengkaran itu namun kakiku serasa begitu berat untuk ku langkahkan.

“Kenapa mas? Kenapaaaa kau tak bisa terima Radit?”

kali ini suara tangis bunda semakin nyaring, suara itu semakin membuat luka besar dalam dadaku. Ingin rasanya teriak sekuat mungkin, agar semua yang berkecamuk dalam dada dapat terbebas dari penjara hati.

“Kenapa? Kau masih tanya kenapa? Karena setiap melihat anak haram itu maka ku lihat lelaki bejat dalam dirinya dan terbayang wajahmu yang seperti wanita nakal, ingin rasanya membencimu tapi…..” Belum sempat ia selesaikan kata-katanya namun aku masuk tanpa permisi dan membuat gaduh.

Bruuuuukkk…. Arrgghhhhhh…… bruuuukkkk

“Kau bisa menghina ku,  tapi jangan bunda. Bruuuuuukkk”

“Radiiiiiit, hentikan nak. Radiiiiiit, cukup” suara teriak bunda melerai tinjuku pada ayah yang telah mengasuhku selama dua puluh empat tahun tanpa cinta.

“Sekali lagi ku dengar kau memaki bunda, akan ku habisi kau” Teriaku sambil menunjuki wajahnya tanpa rasa sopan sedikitpun.

“Radiiit…..  dia ayahmu”

“Bunda cukup, apa dia masih pantas ku panggil ayah? Begitukah seoarang ayah? Dia bukan ayahku bunda, dia hanya seorang banci yang bersembunyi pada jabatan di balik dasinya” seketika ku rasakan rasa perih di pipiku, tamparan bunda sangat keras menyentuh wajahku.

“Aku hanya membela bunda, karena aku sangat sayang sama bunda. Ini pertama kalinya bunda memukul Radit. Maaf bunda kalau cara Radit salah” aku keluar dari kamar bunda yang telah berantakan.

“Radiit, tunggu nak. Maafin bunda. Radiiittt” ku dengar bunda memanggilku, mencoba menahan namun ku rasakan tubuhku begitu ngilu dan dadaku begitu sesak. Ku pacu motorku begitu cepat meninggalkan rumah mewah di kawasan pondok indah milik ayahku. Air mataku kering tertiup hembusan angin. Sakit… yah, sangat sakit. Itu yang ku rasakan bukan pada wajah bekas tamparan bunda namun batinku seolah tercabik-cabik.

Otakku seakan penuh dengan pertanyaan yang tak pernah bisa ku temui jawabanya. Kenapa, kenapa, dan kenapa? Terasa hanya kalimat itu yang tercipta dalam hatiku. Kenapa harus aku yang merasakan? Kenapa harus bunda yang berselingkuh? Kenapa ayah menbenciku? Kenapa ayah bertahan selama ini jika bunda pernah melukainya? Kenapa dan kenapa lagi?

Aku pacu motorku dengan kecepatan tinggi tanpa tahu arah tujuan yang pasti “Aaaarghhhhhhhhh” Teriakan beban itu keluar dan secepat kilat dilalap oleh hembusan angin yang begitu kencang membuat mataku begitu perih melawannya dan tiba-tiba dihadapanku melintas seorang wanita, spontan ku menekan rem motorku dengan erat dan berusaha menghindarinya, namun motorku oleng karena kecepatnku yang dari tadi dalam kecepatan tinggi “Plaaak……bruuukk” ku rasa gesekan aspal yang dingin di seputaran jalan Tendean mengikis kulit tangan dan kakiku. Aku berusaha membuka mata melihat disekelilingku namun kepalaku terasa sakit dan pandanganku memudar.

***

Entah berapa lama aku pingsan atau tertidur, namun saat terbangun ku temukan tubuhku terselimuti bad cover yang wangi dengan warna ungu yang soft, kamar yang tak ku kenal namun bisa ku tebak pemilk kamar ini seorang wanita pecinta warna purpel. Kamarnya tak besar namun begitu bersih dan wangi, tapi tak ku temukan siapa-siapa disini. Ku pandangi telapak tangan dan siku yang lecet dan begitu terkejutnya saat bad cover ku hempas dari tubuhku, aku hanya memakai celana pendek yang ku pakai sebagai pakain dalam, dan tersadar kalau tubuhku pun tak memakai kaos. “Siiaaal” amarahku mulai mengisi kepalaku saat tak ku temukan pakaianku di kamar itu, lalu ku balut kembali tubuhku dengan bad cover ungu.

“Selamat pagi” seorang wanita yang menurutku tak cantik namun wajahnya begitu lucu, tubuhnya tidak tinggi seperti wanita malam yang sering menemaniku melewati malam panjang.

“Apa yang loe lakuin? Gue fikir hanya cowok saja yang nakal ternyata wanita seperti loe juga bisa nakal”

Dia  tersenyum begitu manis dan seolah tanpa beban atau merasa malu telah melucuti pakaianku. “Maaf, semalam gue minta teman sebelah kamar lepasin kaos dan jeans loe, soalnya lutut loe banyak sekali ngeluarin darah, gue takut infeksi karena jeansnya kotor. Tenang aja teman gue cowok  kok”

“kenapa loe, bawah gue ke kost bukan ke rumah sakit? apa karena loe tahu gue anak orang kaya dan loe ingin dekat sama gue? Modus murahan” Aku tak terbiasa berbicara manis dengan orang lain selain bunda mungkin karena dalam kehidupanku tak pernah ada yang manis. Lagi-lagi dia hanya tersenyum geli dan ku lihat seragam yang di pakainya adalah seragam suatu pertelevisian swasta yang terkenal di Jakarta, seragam hitam yang elegan dengan logo corporate di kedua bahunya. Seragam magic, begitu kata kebanyakan orang di Jakarta saat melihatnya.

“Maaf ya, semalam itu yang nolongin loe teman-teman kantor gue. Kenapa gue bawah loe kesini, bukan ke rumah sakit itu karena uang gue sisa buat makan, loe tahukan rumah sakit di Jakarta bagaimana persyaratanya, dan gue juga lihat loe cuma lecet aja. Tapi kalau loe mau kerumah sakit gue anterin” dia lalu tersenyum lagi dan menyedorkan sarapan yang telah dibuatnya dan obat antibiotik . Aku merasakan wanita dihadapanku ini begitu tulus, senyumnya seperti menghangatkan hati.

“Terima kasih, maaf gue sudah salah paham. Gue, Radit” ku ulurkan tanganku yang masih perih

“Gue, Cinta.

***

Seminggu ini, aku tinggal dikamar kontrakan yang kecil, tak ada yang tahu kalau saja aku telah bersembunyi sejenak dari ribuan pertanyaan kenapa dalam kepalaku. Seminggu ini aku mengenal sosok wanita yang mungil dan seolah hidupnya dipenuhi rasa cinta seperti namanya, tak pernah ku dengar rasa keluh kesah keluar dari mulutnya. Sejenak ia mengajakku keluar dari zona nyaman, dari kerajaan yang menggungkung jiwaku dengan limpahan materi, dan menampar sifat aroganku karena merasa memiliki segalanya. Kami menikmati langit Jakarta di Bundaran HI berkumpul dengan ratusan remaja lainnya, lalu mencoba naik busway berdesak-desakan dengan pengunjung lain, merasakan sesak dalam satu angkutan umum dan makan di warteg samping kontrankannya.

Bersamanya ku rasa pertanyaan kenapa seketika hilang dalam fikiranku. Hari terakhir bersamaanya, kami ke Ancol sebelum aku harus kembali kerumah mewah yang terasa seperti panggung sandiwara dan penghuninya seperti aktor dan artis yang handal. Senja di langit Jakarta memang begitu cantik, meski Jakarta penuh dengan seribu macam masalah yang belum bisa di tuntaskan para algojo-algojo negeri ini. Aku ingin menikmati senja dari ketinggian bersamanya, bersama Cinta di gondola Ancol.

“Cin, maaf selama ini gue banyak repotin loe” perlahan ku lempar senyumku untuknya.

“Santai aja, besok-besok gue juga pasti butuh bantuan orang lain”

“Tapi seminggu ini loe jadi mengungsi dari kamar kontrakan loe sendiri buat gue”

“nga papa kok, gue masih milih loe tidur di kamar gue kebanding loe harus tidur di kamar hotel. Godaannya banyak, di kamar gue kan godaannya cuma nyamuk” leluconya membuatku menatapnya sangat kuat, seakan ia mampu membaca isi kepalaku pelan-pelan.

“Napa loe natap gue kaya gitu Dit? Loe marah ya? Maaf kalau gue salah ngomong, gue nga maksud kaya gt” Ku buang tatapan tajamku pada wajahnya yang mulai merasa bersalah. Lalu hening.

Ku pecahkan keheningan itu, perlahan ku ceritakan masalah keluarga yang begitu komplit. Bagaimana bundaku di jodohkan dengan ayahku karena materi lalu bunda berselingkuh dengan mantan pacarnya menghianati pernikahannya dengan ayah. Bagaimana aku tak pernah melihat wajah ayah kandungku karena ia meninggal sebelum aku lahir. Bagaimana bunda harus berusaha belajar mencintai ayah dan saat ia telah mencintai ayah, ayah tak pernah menerimaku sebagai anaknya, dan bagaimana hampir tiap hari aku harus mendengar ucapan ayah kalau dia tak pernah bisa mencintaiku. Bagaimana aku cari ketenangan dengan wanita setiap malam di pub dan melewati malam di kamar hotel, mencari hiburan agar aku tak pernah merasa sendiri dan tanpa terasa perlahan air mataku jatuh, memperlihatkan padanya kalau pria juga terkadang tak mampu menahan tangis. Ia memelukku di atas gondola di langit senja Jakarta. Aku tenang di dekapannya, meski telah ku rasakan beberapa dekapan wanita namun dengan cinta ku rasa ketenangan itu “Jangan harapain semua pertanyaan  kenapa yang ada di kepala loe bisa terjawab, biarkan waktu yang menjawab itu. Besok sebelum pulang apa loe mau nemanin gue ke keluarga gue?” aku hanya menggerakkan kepalaku mengisyaratkan jawaban iya untuknya.

***

Cipinang, 21 Februari 2012

Cinta adalah wanita yang unik yang pernah ku kenal, ia selalu memberikan sensasi yang berbeda saat bersamanya. aku menemaninya ke daerah kumuh di kawasan Cipinang Jakarta Timur. Daerah itu sangat kotor, air limbah yang penuh sampah dan rumah-rumah reok yang tak layak huni. Aroma bau busuk menusuk hidung dan mengocok lambungku, sehingga rasa mual menguasai perutku. Terlintas dikepalak, kenapa ia tak menggotong keluarganya tinggal di kontrakan, terlebih pekerjaannya yang menurutku cukup magic seperti seragam hitam-hitam yang di gunakannya saat ini” pertanyaan yang buru-buru ku buang dalam kepalaku.

Dari kejauhan sorak kebahagian anak-anak kecil memanggil namanya, seperti mereka baru saja bertemu dengan kakak yang lama mereka tunggu.

“Kakak catik….. kakak Cintaaa datang horeeee”

Ia tertawa lepas seakan tak mencium aroma bau yang sedari tadi telah menyiksa penciumanku, ia mengeluarkan setoples permen buat anak-anak kecil itu. Kami duduk di salah satu rumah warga yang reok di pinggir limbah yang di penuhi sampah. Cinta mengeluarkan buku-buku pelajaran, obat, dan baju-baju bekas dari tas yang ia bawah. Sejumlah warga seketika bergermbol mendatangi kami.

“Neng Cinta, mpok butuh obat, bapak lagi sakit”

“Neng Cinta, bapak baju bekasnya saja buat narik angkot”

“Kakak cinta aku udah bisa baca loh”

“Kakak Cinta…. Neng cinta….non cinta….cintaa….neng baik…. “

Perlahan ia berbisik padaku “Inilah keluargaku Dit” Seketika aku sadar kalau saja yang ia kunjungi bukan keluarga sedarahnya namun orang lain yang ia anggap keluarga. Untuk kesekian kalinya Cinta membuatku terdiam menatapnya, bagaimana mungkin hatinya begitu banyak di isi cinta. Ku lihat bagaimana caranya menciptakan cinta, menghidupkan hidupnya begitu berwarna, dia memiliki cinta yang begitu luar biasa, saat banyak orang hanya berharap di cintai namun Cinta mencintai orang lain tanpa mengharap ia akan dicintai.

“Dit… cinta tak harus datang dari sedarah, karena cinta hidup dalam hati bukan dalam darah. Jangan cari ketenangan dalam keramaian yang hampa karena yang loe temui hanya kesenangan sesaat. Belajarlah mencintai orang lain, namun jangan harapkan orang lain akan membalas cinta loe, karena jika loe tulus maka cinta akan berdiri disekeliling loe. Percayalah Dit”

Aku terdiam, membisu bukan karena aku tak mampu berkata sepatah kata buat Cinta namun inilah cinta yang sebenarnya. Ia baru saja mengajarkanku mata kuliah kehidupan yang berharga, jangan pernah tanya kenapa namun berbuatlah sesuatu buat orang lain sehingga kenapa akan terjawab dengan waktu. Aku mengharapkan ayah mmencintaiku namun aku tak pernah memberinya cinta. Aku mencari ketenangan dan kebahagian pada keramaian semu namun aku lupa, ketenangan akan datang saat kita mampu membuat orang lain tersenyum dengan hal-hal kecil. Aku mencari cinta di tiap malam namun cinta itu kini berdiri tepat dihadapanku.

***

Aku belajar memberi cinta pada ayah tanpa berharap ia harus menerimaku sebagai anaknya. Ku coba menjadi anak yang dapat ia banggakan kelak meski harapan itu terlalu tinggi. Aku menjadi supir pribadi ayahku sendiri, bukan karena ia tak dapat membayar supir pribadinya lagi, namun aku hanya ingin menjaganya karena dia adalah ayahku, meski dalam tubuhku tak mengalir darahnya. Namun aku percaya kata Cinta kalau cinta tak hidup dalam darah namun dalam hati. Saat ia tertidur memeluk buku tebalnya, ku selimuti ia agar tubuhnya tetap hangat. Saat ia mulai berburu dengan waktu, tergesah-gesah memasang tali sepatunya, aku duduk di bawah kakinya dan meraih tali sepatu itu, membantunya mengikatkan dengan rapi. Saat ia mulai lupa memasang dasi, ku bergegas memasangkan dasi pada jas mewahnya dan ku raih jemari tanganya, ku kecup dan menaruhnya di jidatku. Aku berbisik kecil “aku sayang ayah seperti aku sayang bunda”

Aku sangat merindukan Cinta, entah kapan perasaan itu muncul. Antara kami tak pernah ada kata I lov you  atau aku sayang kamu maukah kamu jadi pacarku? Hubungan kami berjalan seperti air saling melengkapi, saling mengisi dan saling menyangi. Setiap sudut kamar ku tempel kata-kata cinta agar ku rasa disekelilingku dipenuhi cinta seperti dirinya. “Cinta tak selamanya datang pada sedarah karena cinta hidup bukan pada darah namun pada hati”. “Ayah…. I love you”. “ Memeluk ayah seperti memeluk seisi dunia”. “jangan tanya kenapa biar kenapa terjawab dengan waktu”. “ Radit & Cinta” penggalan kata-kata itu terpajang di sudut kamarku tepat di samping foto bunda, ayah dan Cinta. Dan aku sering tertidur dibawah foto mereka.

“Maafin ayah, nak” suara ayah seakan tertahan menahan tangisnya dan aku seketika terbangun menyadari kalau saja itu bukan mimpi. Ayah pelan-pelan masuk dalam kamarku saat aku tertidur. “Ayah” ucapku lirih. Dia memeluk tubuhku sekuatnya, dan benar rasanya aku memeluk seisi dunia. Setelah sekian lama pelukan hangat itu ku miliki. “Maafin ayah selama ini menyia-nyaiakan Radit, padahal Radit adalah anak ayah. Maaf nak, ayah sibuk dengan masa lalu yang sudah memenjarakan hati ayah” isak tangis ayah membuat hatiku terasa di hujani ribuan metoer cinta. “Ayah tidak salah, aku sayang ayah” dan malam itu kami berdamai dengan hati dan masa lalu.

***

Jakarta, 09 Mei 2012

“Dit…. Ini pertama kalinya gue naik pesawat. Gue takut banget Dit”

“Tenang aja Cin. Santai aja naik pesawat itu kaya naik mobil aja kok, dinikati ya cantik” ku coba untuk menenagkan perasaannya. Ini pertama kalinya ia harus meliput bertia tentang joy flight pesawat mahal Sukhoi Superjet 100.

Dia memakai seragam magic hitamnya bersama rekan kerja seoarang kameramen. Ku tatap wajahnya, sungguh wanita ini sudah memenuhi hidupku dengan cinta, membuat hubungan ayah dan anak menjadi seperti keluarga. Mengubah semua sifat arogan dan nakal yang sudah lama mengakar dalam tubuhku. Dia membuat hidupku lebih hidup menghargai tiap waktu. Aku mencinta Cinta tanpa sebab, mengalir begitu saja tanpa kata.

Sesaat sebelum ia akan terbang bersama rekan kerjanya dan para undangan yang ikut terbang bersamaan  pesawat Sukhoi untuk joy flight, ia menyandarkan kepalanya pada bahuku, “Jangan takut ya Cin”

“Dit…. Apa loe sayang sama gue?”

“Kok, loe nanyanya gitu Cin?”

“Gue cuma pengen dengar Dit itu sebelum gue pergi ninggalin loe” lalu ia menatap wajahku begitu dekat dan bisa ku cium aroma bau parfum tubuhnya. Aku memeluknya erat dan mencium ubun-ubun kepalanya “Cepat pulang ya, dan bilangin sama pilotnya jagan lama-lama bawah cinta gue terbang, karena gue nungguin dia kembali. Gue sayang banget sama dia” dia tersenyum manis padaku ku lihat rona wajahnya penuh cinta. Itulah hari terakhir aku melihat cintaku, setelah dikabarkan kalau pesawat Sukhoi superjet 100 hilang kontek dengan Air Traffic Control. Seketika aku di liputi rasa cemas, takut, sekan jantungku perlahan berdenyut dengan lambat. Bagaimana dengan Cinta?

Aku ikuti setiap perkembangan berita tentang pesawat SSJ 100 yang membawa cintaku terbang bersama ratusan penumpang lainnya. Sulit menaruh harapan besar jika melihat evakuasi puing-puing pesawat SSJ 100 yang menghantam gunung salak, namun aku harapa masih ada keajaiban kecil untuk Cinta.

***

Tubuh masih terasa ngilu, hatiku tersayat, aku berjalan dan berdiri layaknya mayat hidup. Aku harus meyakinkan dan menguatkan hatiku kalau Cinta ikut menjadi korban dalam pesawat SSJ 100 di gunung salak.

Tepat tanggal 22 Mei di RS. Polri aku berdiri di depan jejeran peti-peti jenazah dengan foto para korban. Ku pandang satu peti jenazah yang di atasnya tepajang foto Cinta berseragam magic hitam itu, hatiku sesak menahan tangis. Berkali-kali ku cubiti tubuhku memastikan kalau ini bukan mimpi buruk.

Untuk pertama kalinya ku antar Cinta masuk tepat di gerbang perusahaannya. Ribuan rekan kerja berkumpul di halaman perusahaan untuk memberi penghormatan terakhir pada cinta. Rangkai bunga bela sungkawa, doa dan shalat jenazah untuk cinta dan rekan kerja seoarang cameramen. Dan aku tak dapat lagi menahan rasa sedih yang menyelimuti hatiku, dia pergi setelah mengisi banyak cinta di hatiku,di hati bunda, ayah, dan banyak orang lain. Hari ini seakan langit Jakarta ikut menangis atas kepergiaan Cinta. Ku bacakan sedikit cerita kami di hadapan ribuan karywan TV yang memiliki seragam magic itu.

“Cinta…

Banyak cerita cinta yang kau lukis di langit Jakarta ini, banyak tawa yang kau tularkan pada wajah-wajah sedih. Masih teringat jelas dalam benakku saat kau mengajaku ke daera kumuh dan bilang mereka keluargaku. Bagaimana kau bilang kalau cinta hidup bukan pada darah namun pada hati. Kau mengisi banyak cinta pada hati orang lain tanpa berharap orang lain akan membalasnya. Selamat Jalan Cinta doa kami melepas kepergianmu. Tenanglah dalam pelukanNYA, percayalah kau hidup dalam tiap cinta yang ada di bumi.

I love you, Cinta

Radit

Jakarta. 22 Mei 2012

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun