“Kenapa kau menghukumku selama ini mas?”
Belum sempat ku ketuk pintu kamar bunda, namun suara tangis dan percakapan itu terdengar dari balik pintunya. Aku biarkan tubuhku berdiri di depan pintu, entah mengapa hatiku masih ingin mendengar pertengkaran yang telah ku hafal dialognya, kalau saja ayah tak mungkin bisa mencintaiku sampai ajal menjemputnya sekalipun, karena aku adalah anak hasil perseligkuhan bunda di masa lalunya.
Tanpa harus ku beri isyarat Minah menjauh dari kamar bunda dan menungguku di depan kolam renang. “Aku tidak pernah menghukummu atas kesalahanmu tapi kesalahanmulah yang menghukum mu” ku dengar suara ayahku datar dan dingin.
“Dia anakku mas dan anakmu juga, sudah dua puluh empat tahun kau ikut mengasuh Radit, aku mohon mas. Bukalah hatimu buat Radit, aku tidak bisa lihat Radit hancur hanya karena kesalahanku. Aku mohon mas”. Suara bunda begitu mengiris batinku, aku tahu sudah bertahun-tahun dia hidup dalam rasa bersalah, dia telah bersekutu melawan perang dingin dalam hatinya.
“Tidaaaaaak. Jika kado itu yang kau minta”
Suara ayah mulai meninggi, ingin rasanya aku masuk dan menghentikan pertengkaran itu namun kakiku serasa begitu berat untuk ku langkahkan.
“Kenapa mas? Kenapaaaa kau tak bisa terima Radit?”
kali ini suara tangis bunda semakin nyaring, suara itu semakin membuat luka besar dalam dadaku. Ingin rasanya teriak sekuat mungkin, agar semua yang berkecamuk dalam dada dapat terbebas dari penjara hati.
“Kenapa? Kau masih tanya kenapa? Karena setiap melihat anak haram itu maka ku lihat lelaki bejat dalam dirinya dan terbayang wajahmu yang seperti wanita nakal, ingin rasanya membencimu tapi…..” Belum sempat ia selesaikan kata-katanya namun aku masuk tanpa permisi dan membuat gaduh.
Bruuuuukkk…. Arrgghhhhhh…… bruuuukkkk
“Kau bisa menghina ku, tapi jangan bunda. Bruuuuuukkk”