Mohon tunggu...
TONI PRATAMA
TONI PRATAMA Mohon Tunggu... Administrasi - Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Daerah Bangka Selatan

Saya mulai fokus menulis sejak tahun 2023 dengan menerbitkan 2 buku solo dan belasan buku antologi. Salah satu karya saya berupa novel diterbitkan penerbit Bhuana Ilmu Populer (BIP) Gramedia Group. Prestasi yang pernah saya raih yaitu juara 1 lomba menulis cerita rakyat yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Arsip Bangka Belitung tahun 2023. Menulis dan membaca tentu menjadi kegiatanku saat waktu luang. Semoga bisa terus berkarya, karena ada kalimat yang sangat menginspirasiku: JIKA KAMU INGIN MELIHAT DUNIA MAKA MEMBACALAH, JIKA KAMU INGIN DILIHAT DUNIA MAKA MENULISLAH!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Persahabatan Sejati di Batu Belimbing

9 Agustus 2024   08:05 Diperbarui: 9 Agustus 2024   08:13 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Persahabatan Sejati di BATU BELIMBING

            "Abing, cepat! Sebentar lagi tuh!"

            "Iya, Belim! Ayo...!"

Kedua bocah itu berlari, seolah mengejar sesuatu yang berharga. Telapak kaki mereka sudah kebal terhadap kerikil-kerikil sepanjang jalan setapak.

Dua orang sahabat itu tinggal di sebuah kampung di tepi pantai Toboali. Satunya bernama Belim dari suku Melayu. Sedangkan satunya lagi dipanggil Abing, seorang anak dari suku Tionghoa.

Mereka tumbuh bersama dan memiliki ikatan selayaknya saudara. Kebiasaan yang selalu dilakukan bersama setiap sore adalah menikmati turunnya sang surya di ufuk barat.

Tempat terbaik mereka untuk mengagumi indahnya alam itu berupa sebuah batu besar.  Batu itu menghadap langsung ke arah matahari terbenam. Batu granit besar nan gagah menjadi saksi persahabatan Belim dan Abing.

Setibanya di atas batu,

"Yeah! Aku menang hari ini!"seru Belim.

"Huh! Baru menang sekali aja sudah bangga!"ledek Abing.

"Setidaknya lariku pernah mengalahkan kaki panjangmu itu. Wek...!" Belim menjulurkan lidahnya.

"Iya, deh! Lihat aja besok!" tantang Abing sambil mencolek hidungnya yang tidak gatal.

Si Belim dan si Abing duduk bersantai, menikmati angin semilir yang halus menyentuh kulit. Sinar sang surya perlahan meredup, menyisakan warna jingga memenuhi angkasa raya.

"Bing, kenapa ya kulitmu bisa putih gitu, sedangkan aku dekil kayak gini?"tanya Belim iseng.

"Mungkin dulunya ibuku sering makan buah kelapa,"jawab Abing sekenanya saja."Maksudmu ibuku kebanyakan makan buah buni, gitu? huhuhuu...,"jerit Belim seraya menutup wajahnya pura-pura terkejut dan sedih.

"Hahaha... bisa jadi! Tidak apa-apalah kulit hitam, yang penting gigi masih putih!" ledek Abing lagi.

Mereka tertawa bersama.

"Belim, menurut kamu, kenapa warna langit selalu jingga saat matahari akan terbenam?"giliran Abing yang memberi pertanyaan.

"Mungkin karena banyak udang sungkurnya di laut,ya?" jawab Belim seenaknya.

"Haaa...apa hubungannya dengan udang sungkur? Kalau menurut aku sih karena selimut Tuhan warna jingga. Hawa malam kan dingin, Tuhan pasti pakai selimutnya juga kalau mau tidur," celoteh si Abing sok tahu.

"Wah, sembarangan! Sekalian aja kamu bilang Tuhan pakai piyama. Lagian, emang Tuhan sempat tidur? Ada-ada saja kau, Bing! Haaa..haa..!" tawa Belim pecah mendengar candaan Abing.

Kedua sahabat itu begitu akrabnya bercengkerama setiap sore. Di alam pikiran Belim dan Abing cilik dunia begitu indah dan sempurna. Imajinasi kekanakan mereka berkembang seiring waktu menjadi akal pikiran dewasa yang bijaksana.

Waktu berlalu begitu cepat dan puluhan tahun berlalu sekejab mata.  Belim dan Abing telah tumbuh dewasa. Suatu ketika, terjadi wabah penyakit di kampung mereka.

Banyak warga yang jatuh sakit. Gejalanya demam tinggi disertai batuk yang berkepanjangan. Ada juga yang mengalami sesak nafas secara tiba-tiba.

Wabah itu cepat sekali menular. Hanya dalam hitungan minggu, hampir seluruh warga kampung sudah tertular.

Semua ramuan obat belum ada yang dapat menyembuhkan para warga yang sakit. Korban jiwa mulai berjatuhan terutama orang tua dan anak-anak. Keadaan sangat memprihatinkan!

Bang Belim dan Ko Abing pun tak luput dari serangan penyakit aneh tersebut. Keduanya menderita demam tinggi sudah beberapa hari. Nafsu makan pun hilang sehingga mereka tampak lebih kurus dari biasanya.

Oh,Tuhan! Bagaimanakah cara menyembuhkan wabah ini?

Suatu malam, keduanya mendapat mimpi yang sama. Mereka didatangi seorang tabib sakti di seberang lautan. Tabib itu menyatakan dapat menyembuhkan penyakit yang sudah merajarela.

Tanpa berpikir panjang, kedua sahabat itu pun langsung berlayar dengan perahu milik Bang Belim. Mereka bertekad untuk mencari tabib sakti yang hadir dalam mimpi mereka.

"Ayo kita cari tabib sakti itu!"

Setelah berlayar seharian, mereka berhasil menemukan tabib sakti itu. Sang tabib bangun dari semadinya dan menyambut kedatangan keduanya. Ia lalu memberikan mereka obat berupa sejenis buah berbentuk unik.

Buah tersebut bergurat-gurat dan harum baunya. Jika dilihat dari sisi atas, buah itu tampak seperti bentuk bintang. Buah yang belum pernah dilihat sebelumnya di kampung mereka.

"Bawalah pulang buah ini sebanyak yang kalian mampu!" pesan tabib itu.

"Jika Tuhan berkenan, maka niscaya akan menyembuhkan penduduk desa kalian. Ingat, satu butir buah hanya dapat menyembuhkan satu orang saja! Khasiatnya baru muncul setelah dipetik sehari semalam!" lanjut tabib itu.

Kedua sahabat itu pun segera memetik buah yang tumbuh demikian banyaknya di pulau itu. Sebagian besar buah yang ada sedang matang di pohon dengan begitu ranum. Mereka mengisi penuh keranjang bambu yang dibawanya.

"Terima kasih, Tabib yang baik hati! Kami akan mengingat pesan dari Tabib," kata Bang Belim dan Ko Abing seraya berpamitan untuk kembali ke kampung halamannya.

Setibanya di kampung, Bang Belim dan Ko Abing disambut para warga. Kedua sahabat itu segera membagikan buah unik tersebut ke warga kampung yang sakit.

Sungguh ajaib! Penyakit yang diderita warga langsung sembuh seketika setelah memakan buah ajaib itu. Kuasa Tuhan sungguh luar biasa!

"Terima kasih Tuhan! Terima kasih, Bang Belim dan Ko Abing!" banyak warga yang bersyukur telah sehat kembali.

Buah itu hampir habis dibagikan, hanya tersisa dua buah saja. Cukup untuk menyembuhkan kedua sahabat tersebut. Namun ternyata masih ada warga yang belum mendapatkannya.

"Abing, bagaimana menurutmu, Kawan?" tanya Bang Belim bimbang.

"Makna hidup bukan diukur dari panjangnya usia, tapi dari manfaat hidup kita,"jawab Ko Abing bijaksana.

"Aku setuju, Sobat. Wabah ini datang seolah untuk menunjukkan apa tujuan kita terlahir di sini. Saatnya kita genapi takdir kita ini!" kata Bang Belim setuju dengan pendapat Ko Abing.

"Belim, terima kasih sudah menjadi sahabatku! Kamu adalah sahabat sejati yang menemani sampai akhir."

"Sama-sama Bing, jika ada kehidupan mendatang, kita janji ketemu lagi, ya."

"Tapi nanti aku ingin minta sama Tuhan, biar terlahir tidak sedekil sekarang nih."

"Kamu pilih saja ibu yang suka makan bengkuang. Hahahaa...!"

Akhirnya, Bang Belim dan Ko Abing merelakan dua buah terakhir itu untuk seorang ibu dan anaknya.

"Cepat dimakan buahnya, Bu! Ibu harus segera sembuh!"bujuk Bang Belim.

"Bagaimana aku tega memakan buah yang tersisa ini, Bang?Abang sendiri juga sakit, kan?"ujar ibu itu bercucuran air mata.

"Anak Ibu masih sangat membutuhkan kasih sayang. Ibu harus merawatnya dengan baik. Makanlah, Bu! Kami berdua tidak apa-apa!"Ko Abing ikut membujuk.

"Sungguh mulia hati kalian berdua! Ayo, Nak, ucapkan terima kasih kepada dua abang ini!" kedua anak beranak itu hampir bersujud menyatakan terima kasihnya yang tak terhingga.

"Jangan, Bu! Hanya Allah SWT yang pantas kita sembah dan muliakan!"

Sang ibu dan anak pun memakan buah terakhir pemberian Bang Belim dan Ko Abing dengan berurai air mata. Kedua sahabat itu tersenyum menahan haru.

"Kamu hebat, Belim!" bisik Ko Abing.

"Berkat sahabat yang hebat seperti dirimu, Bing!" balas Bang Belim.

Bang Belim dan Ko Abing pun tidak tertolong dan meninggal dengan wajah bahagia. Mereka telah menang akan maut karena meraih makna hidup yang sesungguhnya. Hidup mereka menjadi berguna bagi orang lain.

Keduanya wafat pada hari yang sama. Seluruh warga kampung meratapi kepergian kedua sahabat itu. Mereka semua telah berhutang budi jasa kepada Bang Belim dan Ko Abing.

Sebelum meninggal, kedua sahabat itu memeberikan sebuah pesan terakhir. Mereka berdua meminta untuk dimakamkan berdampingan. Tempat peristirahatan terakhirnya ditunjuklah dekat tempat mereka berdua selalu menikmati matahari terbenam.

Warga kampung pun memenuhi permintaan terakhir kedua pahlawan mereka itu. Dengan deraian air mata, para warga melepas kepergian kedua sahabat itu. Bang Belim dan Ko Abing telah pergi untuk selamanya.

Tujuh hari setelah kedua sahabat itu dimakamkan, terjadi fenomena alam yang aneh. Ribuan burung walet tiba-tiba terbang dan bermain di atas langit kampung mereka, seolah-olah memberitahukan sebuah kabar gembira. Burung-burung itu bernyanyi dan menari memenuhi langit. Sebuah atraksi yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Tiba-tiba seseorang berteriak, "Ada batu besar di makam Bang Belim dan Ko Abing!"

Maka, seluruh warga kampung berbondong-bondong menuju tempat kedua sahabat itu dimakamkan. Aneh bin ajaib! Entah dari mana bisa muncul sebuah batu raksasa di atas makam Bang Belim dan Ko Abing.

"Masya Allah! Allah Maha Besar!"seru warga kampung.

Yang lebih ajaibnya lagi, batu besar itu berbentuk menyerupai buah ajaib yang menyembuhkan seluruh warga kampung itu. Sepertinya alam pun tergugah dengan kokohnya persahabatan Bang Belim dan Ko Abing. Batu tersebut melambangkan betapa besar dan kuat ikatan persahabatan keduanya.

Oleh warga kampung, buah ajaib itu diberi nama sebagai buah BELIMBING. Nama itu merupakan gabungan nama kedua sahabat sejati itu. Batu raksasa yang muncul secara ajaib juga diberi nama yang sama: BATU BELIMBING.

Batu Belimbing terletak berdekatan dengan batu besar. Batu besar tempat Bang Belim dan Ko Abing menikmati indahnya matahari terbenam. Seolah mereka berdua akan menikmati kenangan itu hingga kekal abadi.

Sedangkan perahu yang dipakai keduanya dulu juga sudah berubah menjadi batu. Batu itu dikenal sebagai Batu Perahu. Letaknya di tepi pantai dengan pasir yang putih nan indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun