"Iya, deh! Dasar anak manja!"
"Kan manjanya sama Mama sendiri! Hehehheee...!"
Masih terngiang betapa riang gembiranya Viko pulang sambil membawa pulang rapor ranking satunya.
Kini tiada lagi suara merdu itu. Tiada lagi yang menyapanya setiap pagi, siang, dan malam dengan begitu manja. Tiada lagi yang mengambilkan air untuknya mandi setiap hari. Tiada lagi yang memijatnya saat lelah seharian bekerja. Anak yang demikian disayanginya kini terbujur kaku di hadapannya. Bahkan memanggilnya "mama" untuk terakhir kali pun sudah tidak bisa. Sebuah perpisahan yang tak terperihkan.
Kak Hengky mencoba mendekati sang ibunda dan memberi salam penghormatan. Namun, sang ibu sudah tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hanya diam menahan rasa perih yang tak terlukiskan oleh sembilu duka yang menghunjam terlalu dalam. Luka itu mengoyak hati dan jiwanya hingga tercabik-cabik. Tiada duka yang lebih pedih bagi seorang ibu dari duka kehilangan buah hatinya.
Suara yang terpendam dalam duka itu baru meledak saat jenazah akan diberangkatkan ke pemakanan.
"VIKOOOOOO...... Anakku...! VIKOOOOOO.....Anakkuuuu!! VIKOOOOOOOO.....!!"
Empat puluh hari kemudian.
Kak Eddy dan beberapa pengurus Kwarcab mendatangi rumah almarhum dan bertemu langsung dengan Sang Ibu.
"Ibu, kami mohon maaf tidak kuasa melindungi Viko. Dia meninggal sehabis sholat magrib di hari suci Nabi. Insya Allah, husnul khotimah!"
"Kak Eddy, terima kasih sudah ikut mendidik anak saya. Dia begitu bangganya menjadi seorang pramuka. Tuhan lebih sayang dengan dia. Wajahnya masih tersenyum manis saat jenazahnya tiba di rumah. Aku sudah ikhlaskan."