Esoknya aku terbangun jam 6, dan seperti biasa, walaupun ini hari minggu, ayah dan ibu telah menghilang menjalankan kesibukan mereka masing-masing, yaitu bekerja. Aku tak mengerti pekerjaan apa yang mengharuskan mereka mengorbankan hari minggu mereka. Aku bertekad untuk tidak menjadi mereka di masa depan, setidaknya begitu pikirku. Aku berjalan ke dapur untuk mengisi perut yang keroncongan, kulihat bibi sedang mencuci piring.
"bi masak apa buat sarapan?"
"eh non hana... ada nasi goreng tuh, kesukaan non..."
"wah... asyik... telornya diceplok setengah mateng?"
"iya dong..."
"aduh... emang bibi itu terbaik sedunia deh..."
"makasih non...." Dia tersenyum lebar. Aku segera menyendok nasi goreng dalam porsi besar dan mulai melahapnya. Lalu aku teringat sesuatu.
"bi.. temen hana yang semalem pulang jam berapa ya?"
"temen cowo itu ya? Kalau tidak salah dia pulang jam setengah 12 deh, soalnya kan bibi yang kunci pintunya pas dia pulang, nah itu pas sinetron favorit bibi udahan. Jadi ya sekitar jam segitu non... kenapa emang?"
"oh.. gak papa, nanya aja." Jadi setelah dia kutinggal tidur, dia mengobrol dengan ayah atau ibu sampai setengah 12? Semalam aku sampai rumah sekitar jam 9 malam, artinya dia mengbrol dengan mereka sekitar 2 jam lebih. Jarang sekali orang tuaku mau mengobrol selama itu dengan teman-temanku, biasanya mereka hanya mau meluangkan waktu selama itu untuk kepentingan bisnis, atau denganku tentunya. Apa yang mereka bicarakan semalam? Apakah tentang diriku? Aduh... apa sih... kok jadi mikir kesitu. "bibi denger gak dia ngobrol sama ayah atau ibu?"
"sama dua-duanya non..."
"oh... Ngobrolin apa?"
"wah... bibi gak dengerin ya, kan gak sopan itu non...."
"iya ya..." aku nyengir.
Setelah selesai makan aku segera menelpon Zahra, tapi tidak diangkat, menyebalkan sekali, dia pasti masih tidur, dasar kebo. Aku pun menelpon rani, aku yakin dia pasti sudah bangun. Dibanding keluargaku dan Zahra, keluarga rani bisa dibilang cukup relijius, sembahyang subuh adalah rutinitas wajib mereka. Pernah suatu waktu aku menginap di rumahnya, aku terpaksa mengikuti kebiasaan mereka bangun jam 4 subuh. Itu adalah waktu mimpiku sedang indah-indahnya tau. Ya apa boleh buat, dimana tanah dipijak, disitu langit dijunjung.
Aku mencurahkan isi hatiku tentang semua kejadian merokok sampai makan malam bersama dan soal ayah ibu yang berbincang lama dengannya kepada rani. Sebagai sahabat, rani adalah pendengar yang baik dan sekali-sekali memberi komentar. Setelah berbicara selama hampir satu jam, Rani merasa bahwa aku memiliki ketertarikan padanya. Dari caraku berbicara tentangnya, ada terselip rasa kagum kata Rani, dan mungkin aku memiliki keinginan untuk mencari tahu lebih banyak tentang dia, mengenalnya lebih dekat. Benarkah? Mungkin, apakah kau tidak akan kagum pada orang yang rela mengorbankan dirinya demi dirimu? Apakah kau tidak kagum pada orang yang bisa membuat orang yang sangat kita kenal bertindak di luar kebiasaan?
Semenjak itu, aku jadi sering memperhatikannya, waktu di kelas dan di manapun aku bertemu dengannya. Dia memang menarik. Ada satu perbedaan mencolok dari dirinya dengan teman laki-laki lain yang naksir padaku. Umumnya, mereka yang melakukan PDKT padaku akan selalu mencoba terlihat dan terdengar hebat, mereka ingin aku kagum dengan kepintaran mereka, kekayaan mereka, atau kekerenan mereka dengan harapan nanti aku akan bersimpati pada mereka. Itulah masalahnya, kau tahu kan aku hampir memiliki segalanya, makanya hal-hal tadi tidak membuatku kagum sedikitpun. Tapi dia berbeda, walaupun aku tidak tahu sebenarnya dia melakukan PDKT atau tidak terhadapku, dia tidak pernah membuat dirinya terlihat dan terdengar hebat. Dia menjadi dirinya sendiri, lebih banyak diam, terkadang membuat joke yang biasanya garing, dan beberapa omong kosong tentang hal yang dia sebut hakikat atau berbicara tentang Tuhan. Tapi walaupun begitu, dia jarang menghakimi orang-orang lain seperti orang-orang relijius yang kutahu.
Yang kedua adalah cara dia memperlakukanku. Dia selalu perhatian pada hal-hal kecil tentang diriku, ketika aku mencoba alat make up baru, memakai aksesoris baru, merubah gaya rambut sedikit, dia pasti laki-laki pertama yang sadar, lalu mengomentarinya, terkadang juga dia memujiku, dan pujiannya tidak dipaksakan, dia jujur, karena kadang juga dia berkata itu kurang bagus atau tidak bagus, dengan cara yang halus sekali.
Yang lebih membuatku semakin simpati kepadanya adalah kemampuannya untuk peka pada hal yang bahkan tidak aku sadari. Suatu sore aku duduk di kantin sendirian, gelisah menunggu rapat osis. Dia menghampiriku dan membawakan secangkir cappuccino sachetan, untuk diriku.
"apa ini?"
"untukmu. Maaf, di kantin adanya cappuccino sachetan, bukan yang beneran"
"haha... terimakasih ya,"
"minum cappucino hangat saat gelisah itu sungguh nikmat. Apalagi jika ditambah sebatang rokok kretek." Candanya.
"kau benar sekali..." aku menyikutnya. "eh... kau tahu darimana aku suka minum capucino saat gelisah? Dan yang terpenting, kau tau dari mana aku sedang gelisah?"
"aku kan tahu hal-hal gaib." Dia tersenyum dan aku segera mencubitnya gemas.
Ternyata baru kemudian aku sadar bahwa ketika aku gelisah aku sering melakukan suatu hal berulang-ulang, yaitu menggigit-gigit bibir bawahku. Dan tahukah kau? Tidak ada yang menyadari itu bahkan kedua sahabatku serta orang tuaku. Hanya dia yang menyadarinya!
Dia juga bisa membuatku terpesona dengan keberaniannya. Suatu hari di kelas, saat itu adalah pelajaran Bahasa Indonesia, Pak Mulyana guru kami sedang mengambil nilai materi puisi. Setiap siswa diminta maju dan membacakan puisi hasil karya sendiri, sampai tiba saat bagiannya untuk maju.
Aku melihat Tuhan dalam dirimu
Hanya kaulah obsesiku dan ketenangan jiwaku
Hanya kaulah peneduh mataku dan detak jantungku
Aku melihat Tuhan dalam dirimu, apa yang harus kulakukan?
Â
 Lewat keharumanmu dan kata-katamu
 Tanpa kupinta, telah kudapatkan dunia ini
 Aku melihat Tuhan dalam dirimu, apa yang harus kulakukan?
Â
Engkau tinggal begitu dalam di lubuk hatiku
Hatiku yang menangis pun tersenyum
Aku melihat Tuhan dalam dirimu, apa yang harus kulakukan?
Â
Selama dia membacakan puisi itu, matanya terus melekat kepadaku, dan semua gestur tubuhnya diarahkan kepadaku. Tentu seisi kelas bahkan pak mulyana menyadari itu. Tidak kah dia merasa malu memperlihatkan itu di depan umum? Memang tidak ada namaku disitu, tapi secara halus puisi itu diutarakan untukku. Beberapa teman sekelasku berteriak dan bersuit, setelah dia selesai membacakan puisinya tersebut. Aku merasa malu, sekaligus suka.
Pak Mulyana, memuji puisinya sebagai puisi terjujur dan terdalam dari semua puisi yang dibacakan siswa di semua kelas yang dia ajar. Lalu caranya membawakan puisi pun dapat pujian luar biasa dari Pak Mulyana. Sedikit yang tahu bahwa sebenarnya itu bukan puisi yang dia buat sendiri, Rani memberitahuku bahwa itu adalah penggalan lirik lagu india yang dia ubah sedikit. Aku tertawa mendengarnya, puisi terbaik menurut Pak Mulyana itu ternyata plagiat dari lirik lagu india, dan tidak ada yang menyadarinya. Katanya dia lupa mengerjakan tugas puisi itu, lalu saat dia melihatku di kelas, dia teringat lagu india tersebut dan segera mencari terjemahannya di google dengan meminjam hape teman, lalu dia salin dengan memberikan sedikit perubahan.
***
Cinta tak tersurat di kertas
Kertas bisa dihapus
Tak terukir di batu
Batu bisa pecah
Ia terpatri di hati
Dan tetap di sana selamanya
"apa ini? puisi plagiat dari lagu india lagi?" tanyaku suatu hari ketika melihat-lihat tumpukan kertas berantakan di meja dekat ranjangnya.
"bukan... itu karyaku loh..."
"bohong, kamu kan gak pintar bikin puisi."
"haha... benar sekali, tapi itu bukan dari lagu india."
"lalu?"
"karya Jalaludin Rumi. Kenal gak?"
"hm.... Enggak."
"wah... sayang sekali."
"menurutmu, apa arti puisi ini?"
"menurutku...." Dia berpikir. "kita harus menempatkan cinta di tempat yang benar agar dia bisa ada terus selamanya. Yaitu di hati."
"bukankah semua cinta itu dari hati?"
"hm... kurasa hati yang dia maksud berbeda dengan hati yang kamu maksud."
"apa bedanya?"
"menurutku, mungkin hati yang dia maksud adalah hati suci bersih dari ego, dan nafsu, hati yang menjadi jendela kita melihat Tuhan. Itu lah tempat cinta yang tepat."
"aku agak bingung."
"coba baca yang ini." dia mencoba mencari selembar kertas dari tumpukan tak beraturan tersebut, aku harus membantunya menopang badannya agar dia tak terjatuh. Lalu dia menyerahkan secarik kertas kumal.
Semua cinta
Yang tak ditempatkan dalam cinta-Nya
Adalah rasa sakit
"hm.... Jadi?" aku menatapnya.
"jadi... hati tadi adalah hati yang mengingat-Nya. Kurasa begitu...." Dia mengerutkan dahi berpikir.
"aku bingung."
"kamu bingung?"
"iya...."
"sama dong..." aku segera mencubitnya lembut.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H