"oh... Ngobrolin apa?"
"wah... bibi gak dengerin ya, kan gak sopan itu non...."
"iya ya..." aku nyengir.
Setelah selesai makan aku segera menelpon Zahra, tapi tidak diangkat, menyebalkan sekali, dia pasti masih tidur, dasar kebo. Aku pun menelpon rani, aku yakin dia pasti sudah bangun. Dibanding keluargaku dan Zahra, keluarga rani bisa dibilang cukup relijius, sembahyang subuh adalah rutinitas wajib mereka. Pernah suatu waktu aku menginap di rumahnya, aku terpaksa mengikuti kebiasaan mereka bangun jam 4 subuh. Itu adalah waktu mimpiku sedang indah-indahnya tau. Ya apa boleh buat, dimana tanah dipijak, disitu langit dijunjung.
Aku mencurahkan isi hatiku tentang semua kejadian merokok sampai makan malam bersama dan soal ayah ibu yang berbincang lama dengannya kepada rani. Sebagai sahabat, rani adalah pendengar yang baik dan sekali-sekali memberi komentar. Setelah berbicara selama hampir satu jam, Rani merasa bahwa aku memiliki ketertarikan padanya. Dari caraku berbicara tentangnya, ada terselip rasa kagum kata Rani, dan mungkin aku memiliki keinginan untuk mencari tahu lebih banyak tentang dia, mengenalnya lebih dekat. Benarkah? Mungkin, apakah kau tidak akan kagum pada orang yang rela mengorbankan dirinya demi dirimu? Apakah kau tidak kagum pada orang yang bisa membuat orang yang sangat kita kenal bertindak di luar kebiasaan?
Semenjak itu, aku jadi sering memperhatikannya, waktu di kelas dan di manapun aku bertemu dengannya. Dia memang menarik. Ada satu perbedaan mencolok dari dirinya dengan teman laki-laki lain yang naksir padaku. Umumnya, mereka yang melakukan PDKT padaku akan selalu mencoba terlihat dan terdengar hebat, mereka ingin aku kagum dengan kepintaran mereka, kekayaan mereka, atau kekerenan mereka dengan harapan nanti aku akan bersimpati pada mereka. Itulah masalahnya, kau tahu kan aku hampir memiliki segalanya, makanya hal-hal tadi tidak membuatku kagum sedikitpun. Tapi dia berbeda, walaupun aku tidak tahu sebenarnya dia melakukan PDKT atau tidak terhadapku, dia tidak pernah membuat dirinya terlihat dan terdengar hebat. Dia menjadi dirinya sendiri, lebih banyak diam, terkadang membuat joke yang biasanya garing, dan beberapa omong kosong tentang hal yang dia sebut hakikat atau berbicara tentang Tuhan. Tapi walaupun begitu, dia jarang menghakimi orang-orang lain seperti orang-orang relijius yang kutahu.
Yang kedua adalah cara dia memperlakukanku. Dia selalu perhatian pada hal-hal kecil tentang diriku, ketika aku mencoba alat make up baru, memakai aksesoris baru, merubah gaya rambut sedikit, dia pasti laki-laki pertama yang sadar, lalu mengomentarinya, terkadang juga dia memujiku, dan pujiannya tidak dipaksakan, dia jujur, karena kadang juga dia berkata itu kurang bagus atau tidak bagus, dengan cara yang halus sekali.
Yang lebih membuatku semakin simpati kepadanya adalah kemampuannya untuk peka pada hal yang bahkan tidak aku sadari. Suatu sore aku duduk di kantin sendirian, gelisah menunggu rapat osis. Dia menghampiriku dan membawakan secangkir cappuccino sachetan, untuk diriku.
"apa ini?"
"untukmu. Maaf, di kantin adanya cappuccino sachetan, bukan yang beneran"
"haha... terimakasih ya,"