Adalah hal yang wajar jika seseorang mengeluh tentang pekerjaannya. Saya juga pernah berada di posisi yang demikian. Namun menjadi tidak wajar saat seseorang mengeluh karena dia bekerja.Â
Hal inilah yang saya sadari beberapa bulan selama masa pandemi ini. Saya melihat banyak orang kehilangan pekerjaan dan saya melihat diri saya yang masih bekerja. Lalu saya pun kemudian menyadari beberapa hal yang sering saya lakukan:
Pertama, suatu hari saya sering mengeluh karena pekerjaan saya. Saya mengeluh karena saya merasa pekerjaan saya tidak cocok dengan saya.
Waktu itu saya masih bekerja di industri perbankan. Saya merasa kultur dan jobdesk yang diberikan pada saya tidak sesuai dengan karakter saya.Â
Setelah bertahun-tahun memaksakan diri mengerjakannya, karena tidak diiringi rasa senang. Saya pun sadar kalau saya tidak akan pernah sukses di bidang tersebut.
Karena tidak ada rasa senang sama sekali, maka hasilnya tidak maksimal. Karena hasilnya tidak maksimal, maka hasil kerja saya kalah dengan hasil kerja orang lain. Saya pun menjadi tidak kompetitif, ini adalah kondisi di mana saya mengeluh karena pekerjaan saya, saya mengeluh karena profesi saya.
Kedua, saya mulai malas dan mengeluh karena bekerja. Karena merasa tidak cocok dengan pekerjaannya, saya mulai merasa bekerja itu hal yang menyebalkan. Harus bangun pagi, mandi pagi padahal cuaca lagi dingin sekali, harus panas-panasan, macet-macetan, dan harus stres begitu sampai di tempat kerja. Akhirnya saya sampai pada titik di mana saya menyimpulkan bahwa bekerja bukanlah sesuatu yang akan saya lakukan lagi.
Saya memutuskan untuk merancang usaha sendiri, hingga memutuskan untuk menjadi konten kreator. Kendalanya adalah saya belum tahu mau usaha apa, dan kalau jadi konten kreator saya juga belum tahu harus membuat apa.
Ada beberapa usaha yang muncul di kepala, tapi butuh modal yang tidak sedikit. Beberapa bank memang datang menawarkan pinjaman, tapi jumlahnya tanggung dan terlalu berisiko.
Untuk usaha yang belum matang idenya, belum pasti hasilnya, menerima pinjaman dari bank dengan bunga tinggi sama saja dengan bunuh diri secara ekonomi.
Lagipula di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, rasanya bukan waktu yang tepat untuk membuka usaha dengan strategi yang standar. Misal, sewa toko lalu letakkan dagangan begitu saja.Â
Saya rasa model bisnis seperti itu tidak cukup. Kecuali menjual makanan, seperti membuka warteg makan misalnya.
Tapi intinya, pada titik itu saya bingung untuk membuka usaha apa agar tak perlu lagi bekerja. Lalu jika menjadi konten kreator di YouTube misalnya, katakanlah saya tahu harus membuat video apa, tapi faktanya butuh modal juga.
Kalau pun menggunakan kamera smartphone dalam proses rekamannya, saya tetap butuh jaringan internet yang kencang agar proses produksinya lancar. Minimal untuk mendownload footage, mendownload backsound, hingga mengupload video yang sudah dibuat.
Katakanlah sudah di upload ke YouTube, channel tersebut tidaklah langsung menghasilkan uang. Harus mencari 1000 subscriber dulu, lalu harus menunggu sampai waktu tonton di channel kita mencapai 4000 menit. Barulah channel diajukan untuk dimonetisasi.Â
Itu pun harus menunggu beberapa bulan, diterima atau ditolak pihak YouTube. Bahkan setelah dimonetisasi, channel belum tentu menghasilkan uang karena semua tergantung jumlah views video-video yang diupload.
Namun karena sudah muak dengan pekerjaan saya, sayapun tetap memutuskan untuk resign. Sialnya saat saya resign, seminggu kemudian isu covid-19 merebak dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan.
Pemberitaan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun mulai tersiar di mana-mana."Mampus gua", waktu itu saya dan semua orang pasti memang tak pernah menyangka bahwa ada virus yang namanya covid-19 dan merusak tatanan dunia. Lalu banyak orang harus kehilangan pekerjaannya.
Sebulan menenangkan diri di rumah, mencoba mencari pemasukan dari usaha keluarga dan menulis di Kompasiana. Lalu saya menyadari efek psikologi yang harus saya syukuri jika saya bekerja, yaitu ketenangan diri akan kepastian penghasilan tiap bulan yang bisa saya dapatkan.Â
Hal ini pasti tidak disadari oleh mereka yang tidak pernah menganggur atau pun kerja serabutan dengan penghasilan yang tidak jelas tiap bulannya.
Itu kenapa saya menemukan prinsip, "Mengeluhlah karena pekerjaan, bukan karena bekerja".Kalau pekerjaanmu memang sudah mentok, yasudah gantilah pekerjaannya, bukan berhenti bekerja atau malah jadi malas bekerja.Kecuali kamu memang bisa menghasilkan uang secara mandiri tanpa tergantung pada sebuah perusahaan atau lembaga.Â
Maka inilah yang ingin saya sampaikan, bersyukurlah jika teman-teman saat ini memiliki sebuah pekerjaan. Kalau pekerjaan itu seratus persen tidak cocok dengan kita, silahkan cari pekerjaan lain atau beradaptasilah. Minimal cari pekerjaan yang lima puluh persennya cocok dengan kita.Â
Dalam arti begini, mungkin kerja di sini gajinya pas-pasan tapi lingkungannya menyenangkan. Atau, kerja di sini gajinya besar tapi kultur perusahaannya penuh tekanan. Setidaknya ada satu hal positif dan dapat dijadikan pegangan, yaitu jangan mencari pekerjaan yang seratus persen cocok dengan kita.
Pekerjaan yang seratus persen tidak cocok pasti banyak, tapi pekerjaan yang seratus persen cocok itu mustahil. Kalau pun ada, pasti hanya dimiliki segelintir orang saja.
Apalagi di tengah situasi pandemi covid-19 seperti sekarang ini. Orang berbondong-bondong mencari kerja, di tengah pandemi seperti sekarang ini, orang berprinsip yang penting kerja, tidak perduli apa pekerjaannya. Itu karena mencari kerja sangat sulit. Tidak ada pandemi saja sulit, apalagi pandemi.Â
Saya mengenal banyak orang yang sudah punya pekerjaan cukup bagus, cukup cocok dengan pekerjaannya tapi mengutuki dirinya yang bekerja. Alasannya,"Pengen usaha sendiri, kalau bekerja bakal gini-gini aja", salah gak sih? Tentu tidak.Tapi janganlah kesadaran berdikari sendiri tersebut lahir dari spirit mengutuki diri karena masih bekerja dengan orang lain.
Saya punya banyak teman yang dulu bekerja, lalu memutuskan merintis usaha, namun usahanya tidak jalan, akhirnya memutuskan kembali bekerja.Â
Mereka yang pernah mengalami hal ini pasti punya persepsi yang jauh lebih dewasa tentang arti bekerja.
Biasanya bahasanya begini,"Ternyata enakan kerja ya, hasilnya pasti."Â
Ya iyalah, saya sendiri sangat bersyukur punya pekerjaan dan alasannya antara lain:
Pertama, saya masih menikmati datang ke kantor, tentu kantor yang berbeda, bukan lagi di dunia perbankan yang menyebalkan dan kaku (ingat yang saya bilang, mengeluhlah tentang pekerjaannya, cari kerja lain, bukan mengeluh karena bekerja).
Saya belum siap untuk kembali merintis usaha dan menjalani hari-hari sepi karena tak bertemu rekan sebaya setiap harinya.Â
Saya belum siap duduk, menjaga kios, sepi pembeli, gabut, dan stress karena seharian tidak berbicara dengan orang.
Kedua, uang bukanlah segalanya. Saat saya merintis usaha, saya berniat menghasilkan uang lebih besar dari yang saya dapatkan dibanding bekerja. Tapi seperti yang saya tulis di atas, saya kesepian karena tidak banyak aktivitas yang dilakukan selain menunggu dan menjaga dagangan.Â
Saya berharap kebebasan, namun nyatanya, memiliki usaha sendiri membuat kita lebih terikat dibanding bekerja, karena segala sesuatu saya lah penanggung jawabnya.
Lalu saya menyadari satu hal, bahwa ada hal yang sama pentingnya daripada sekadar menghasilkan uang, yaitu kesehatan mental.Â
Dengan bekerja, sekalipun ada tekanan saya merasa lebih segar.Bekerja membuat saya memastikan bahwa masih ada disiplin dalam diri saya.
Karena saya wajib mandi, wajib pergi ke kantor dan sampai jam delapan, wajib bikin laporan, wajib belajar produk baru, dan seterusnya...
Bekerja membuat saya dapat memastikan bahwa masih ada peta dan rambu-rambu yang harus saya ikuti setiap harinya. Hal ini membuat hidup saya lebih terarah, dan saya sangat mensyukurinya.
Ketiga, hal yang sangat saya syukuri saat bekerja adalah, sama seperti kebanyakan pengusaha amatir gagal lainnya. Dengan bekerja saya memperoleh penghasilan pasti setiap bulannya.Â
Di tengah pandemi seperti ini bisa punya kepastian finansial seperti itu rasanya melegakan sekali. Memang jumlahnya tidak besar dan tidak bisa membuat saya kaya. Tapi saya punya harga diri karena tidak menyusahkan hidup orang lain.
Saya punya kebanggan karena saya tidak bergantung pada orang lain. Bahkan hebatnya otak saya seperti mendadak jenius karena saya bisa merencanakan apa saja dan memimpikan apapun dengan sikap yang penuh harapan.
Saya tahu bahwa dengan bekerja saya dapat membagi penghasilan saya untuk kehidupan. Mana untuk hidup saat ini, besok, dan lusa. Berapa banyak yang harus dialokasikan untuk jangka pendek dan berapa duit untuk jangka panjang.
Memiliki pekerjaan membuat hidup lebih bergairah. Pekerjaan yang menghasilkan uang seperti bahan bakar yang membuat kita berdaya guna dan tak mudah putus asa.
Keempat, siapa bilang untuk memiliki kegiatan lain yang menghasilkan kita harus kehilangan pekerjaan? Justru saat saya kehilangan pekerjaan, otak saya buntu untuk melakukan terobosan menghasilkan karena sudah lebih dulu was-was tentang hari yang akan datang. Ketenangan hati adalah kunci untuk mendatangkan inspirasi.
Dengan hati yang tenang, ide baru bermunculan, dorongan untuk menghasilkan lebih merayapi diri. Tapi bagaimana hati bisa tenang jika kamu tidak bekerja, tidak punya penghasilan, sementara ada pengeluaran yang harus dibayarkan?
Tentu semua yang saya katakan ini tidak berlaku dan cocok untuk semua orang. Kalau kamu anaknya Chairul Tanjung atau pemilik Bank BCA, mungkin tulisan ini tidak relevan.Â
Kalau kamu punya banyak uang dan orangtuamu masuk sepuluh besar orang terkaya versi majalah Forbes, mungkin kamu tetap harus melakukan sesuatu, hanya saja mungkin alasannya lah yang berbeda.
Maka tulisan ini saya persembahkan untuk kamu yang merasa senasib dan seperjuangan dengan saya, untuk kamu kelas pekerja yang saat ini merasa gundah gulana.
Sekali lagi saya berpesan," Mengeluh karena pekerjaan boleh, tapi jangan mengeluh karena bekerja". Kalau tidak cocok sama sekali cari pekerjaan lain, dan bukannya malah berhenti bekerja lalu membenci dunia kerja.
Bersyukurlah karena di luar sana banyak orang yang ingin bekerja apa saja, tapi tidak punya peluang dan kesempatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H