Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Thanksgiving Day

23 November 2023   17:28 Diperbarui: 23 November 2023   17:44 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://www.cnbctv18.com/

Tak ada tempat yang tak sibuk di kota ini. Semua dengan sukacita menyambut kedatangan hari Kamis keempat di November tiap tahunnya. Walau bukan kebudayaan asli, namun beberapa negara sudah menjadikan perayaan Thanksgiving Day --yang asli Amerika Utara itu-- sebagai salah satu alasan untuk berpesta. Orang-orang akan menghentikan semua aktivitas untuk berkumpul lintas generasi.

Akan selalu ada kalkun panggang dan pai labu di meja-meja tiap rumah yang merayakannya. Semua tamu harus datang kemudian pulang dengan perut kenyang.

Sejak pagi, keluarga petani kaya, Abid Konrad, mulai sibuk menyambut perayaan Thanksgiving Day. Sorina Konrad, anak gadisnya, bahkan sudah menghabiskan lima belas menitnya untuk memeriksa barang belanjaannya dari Dejvice Square, sebuah pasar tua di Praha.

Sorina selalu menikmati waktunya selama berada dalam dapur. Indra penciumannya cukup tajam menangkap bumbu-bumbu masakan tanpa harus melihat dengan mata telanjang. Sebelum ibu mereka, Kamila, meninggal dunia, Sorina sudah memegang tanggung jawab untuk urusan isi perut mereka.

Sebelum kematiannya, Kamila memang sudah menghabiskan setengah tahun waktunya terbaring di ranjang. Mulanya, Kamila hanya merasakan demam biasa. Kemudian kondisinya semakin lemah. Seorang dokter pernah datang memeriksanya. Wanita malang itu didiagnosa mengalami kerusakan sumsum tulang.

Kepergiannya membuat banyak kerabat --bahkan yang tinggal sangat jauh--- datang untuk ikut berkabung. Dulu, Kamila wanita paruh baya yang sehat dan ceria. Tak kurang dari dua kali dalam sepekan, ia menyumbang makanan untuk acara-acara yang diadakan gereja.  

Ini perayaan Thanksgiving pertama tanpa ibunya, dan Sorina berusaha untuk tak canggung menyajikan masakannya untuk tamu-tamu keluarga mereka.

"Ada yang kurang?" tanya Abid Konrad saat mampir ke dapur.

"Kurasa tidak." balas gadis berambut coklat tua itu .  

"Kau memang selalu bisa diandalkan, Sayang." puji Abid Konrad. "Apakah Pedro akan datang?" tanya pria itu lagi.

"Pasti, dia akan membawakan strudl olahan ibunya,"

Setelah mendengar jawaban anak perempuannya, Abid Konrad pun berlalu.

Sejak bertunangan dengan Pedro, Sorina memang makin gemar berada di dapur. Orang tua Pedro adalah pembuat hidangan pencuci mulut yang cukup dikenal. Lebih dari 7 gerai dibuka untuk bisnis keluarga mereka. Sayangnya, Pedro sama sekali tak punya minat menjadi wirausaha. Ia lebih memilih menjadi anggota Polisi Kota Praha 1.

*

Pukul tujuh malam, semua tamu hadir sesuai jam undangan. Abid Konrad berdiri bersama Helenka, kekasih barunya.

"Di mana calon istriku, Tuan Konrad?" Pedro, muncul dari pintu belakang. Di tangannya terdapat sebuah kotak besar berisi strudl yang dibawakan ibunya.

"Sorina masih memilih pakaian. Jemputlah dia ke kamar, katakan sudah banyak tamu yang menunggu,"

Pedro menatap pasangan Abid Konrad dan Helenka sepersekian detik, kemudian bergegas menyusul Sorina ke kamarnya. Helenka bisa menangkap ekspresi Pedro yang tak suka padanya. Abid Konrad menyadari itu, "Semua akan baik-baik saja, kita semua akan menjadi keluarga bahagia."

 

*

"Sayang?" suara Pedro muncul dari balik pintu kamar Sorina yang sedikit terbuka.

"Sebentar, aku hampir selesai,"

Sorina nampak sangat cantik dengan gaun mini berkerah model-V warna hitam bermotif bunga-bunga kecil warna putih yang penuh. Rambutnya dijepit seadanya, dan riasan wajah yang terlihat sangat natural.

"Ini calon istriku, kan?"

Sorina mengigit ujung bibirnya, menahan malu. Seketika sebuah pelukan hangat mendarat di tubuh ramping gadis itu.

Sorina cepat-cepat melepaskan pelukan Pedro, "Sayang, bagaimana jika ada tamu yang melihat?"

"Cukup tunjukkan cincin kita, hanya menunggu waktu saja,"

Ekspresi Sorina berubah, rasa tak enak muncul tiba-tiba. Rencana pernikahan mereka memang cukup lama tertunda. Apalagi baru tahun kemarin ibunya meninggal dunia.

"Maaf, tidak, aku tidak punya maksud untuk menyindirmu, Sayang. Ok, lupakan tentang itu. Aku ada ide untuk menutup hari ini," Pedro mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sorina tak menjawab, hanya sorot matanya yang menyiratkan rasa ingin tahu.

"Truth or Dare, bagaimana?"

Beberapa saat Sorina diam. Kemudian mengangguk cepat tanda sepakat.

*

Sepanjang pesta, semua tampak bahagia. Pedro dan Sorina juga Abid Konrad dan Helenka nampak sedang melakukan double date yang disengaja. Walau ada beberapa tamu undangan yang menganggap kemunculan Helenka malam ini bukan waktu yang tepat, keluarga ini baru saja lepas dari masa berduka.

Satu per satu tamu undangan pulang. Beberapa orang tetangga baik membantu Sorina merapikan bekas pesta.

"Pedro, bisa temani Sorina sementara aku akan mengantar Helenka pulang?" tanya Abid Konrad.

"Apa kalian berdua akan melewati permainan seru malam ini?"

"Iya, Ayah, ini Thanksgiving. Kita masih punya banyak waktu. Paling tidak masih tersisa 2 jam sebelum tengah malam,"

"Permainan apa?"

"Kalian berdua pasti menyukainya,"

Abid Konrad menatap Helenka, wanita itu mengangguk setuju.

"Baiklah, demi anakku dan kekasihnya," pungkas Abid Konrad.

 

*

Karpet digelar di halaman belakang. Pedro muncul dengan sebotol besar wine produksi Templarske Sklepy, salah satu kilang anggur tertua di republik mereka. Kandungan alkohol 13,5% akan membuat permainan ini akan semakin seru.

Dua pasang kekasih beda generasi itu sudah duduk membentuk lingkaran kecil. Pedro mengeluarkan sebuah botol lagi, yakni botol kosong bekas bir yang kemudian diletakkannya di bagian tengah.

"Truth or Dare?" baru kali ini Helenka buka suara, matanya berbinar.

"Tepat!" balas Pedro dengan sekilas senyuman.

"Wow, sudah lama sekali aku tak memainkannya, Sayang," repons Helenka sembari memandang Abid Konrad sesaat. Hal itu mendapat lirikan sinis dari Sorina.

"Tapi ada peraturan tambahan. Karena tak banyak waktu, masing-masing dari kita mendapat jatah 1 kali truth dan 1 kali dare."

Kali ini mereka saling beradu tatap bergantian.

"Selama aku memainkan ini bersama teman-teman, lebih banyak yang memilih dare. Rasanya permainan akan sangat membosankan. Kadang kita perlu menceritakan rahasia-rahasia kita pada orang lain agar sedikit lega. Bukan begitu, Tuan Konrad?"

Selama beberapa saat tak ada respons, membaca situasi yang tiba-tiba membeku, tawa Pedro pecah mencairkan suasana.

"Santai, tuan dan nyonya-nyonya. Ini hanya permainan." Ucap Pedro sambil membuka tutup botol wine yang tadi ia bawa.

*

Abid Konrad mendapat hak istimewa memutar botol bir kosong untuk memilih siapa yang menjadi pemain pertama. Ternyata botol itu mengarah pada kekasihnya, Helenka.

"Apakah aku lebih menarik dari semua mantan pacarmu? Truth or Dare?" tanya Konrad.

"Truth! Ya, kau yang paling menarik, setelah bertemu denganmu, aku bahkan lupa bagaimana wajah mereka,"

Pedro tertawa melihat kelakuan sepasang kekasih yang tak lagi muda itu, sementara Sorina menahan muak dalam hati. Permainan pun dilanjutkan, giliran Helenka yang memutar botolnya. Kali ini mengarah pada Sorina.

"Kapan kau mengijinkan kami menikah Sorina?"

"Dare! Apa tantangan untukku?"

"Tuang 2 sloki wine dalam gelasmu, habiskan langsung."

Sorina terbelalak mendengar tantangan yang diberikan Helenka. Siapapun tahu gadis itu tak suka dengan wine. Pedro pun hampir emosi, namun ia sadar ada misi penting dibalik ini.

"Minumlah, Sayang. Hanya untuk malam ini,"

Sorina menenggak wine itu dengan cepat dan matanya mulai berair. Rasa asamnya begitu mengejutkan di lidah. Jika masih hidup, Kamila tak akan membiarkan ini terjadi pada anak gadisnya.

Setelah dipastikan wine dalam gelas gadis itu habis, semua bertepuk tangan, termasuk Abid Konrad walau senyumnya kecut.

Sorina mendapat gilirannya, ia memutar botol itu. Botol kembali mengarah pada Helenka.

"Sejak kapan kau mencintai ayahku?"

"Dare! Berikan tantangan saja, aku tak mau ayahmu besar kepala."

"Ambil foto mendiang ibuku di atas nakas kamar ayah, dan letakkan di sini. Aku ingin ia ikut bermain bersama kita."

Helenka berusaha sekeras mungkin menahan rasa terkejutnya. Ia menarik napas panjang perlahan agar tak terdengar siapapun. Namun, Abid Konrad menangkap kekasihnya yang diyakini tidak baik-baik saja.

"Tak perlu begini, Sorina. Ada apa denganmu, Sayang?"

"Itu konsekuensi dalam permainan ini, Ayah. Tak ada yang boleh mengubahnya."

"Tak apa-apa, Konrad sayang, aku akan melakukannya demi calon anak tiriku," Helenka meninggalkan senyum yang mengerikan lalu berjalan cepat menuju kamar kekasihnya.

Helenka kembali dengan sebuah pigura kecil di tangan kanannya lalu menyerahkannya pada Sorina.

"Pasang foto itu di antara kalian. Biar ibuku hangat berada di tengah-tengahnya."

Abid Konrad mengelus punggung kekasihnya, memintanya untuk sabar menghadapi sikap Sorina. Pedro tersenyum sinis melihat adegan ini.

Helenka mengambil kesempatan keduanya memutar botol kosong itu. Kini mengarah pada Pedro.

"Apa kau masih menghubungi mantan kekasihmu di belakang Sorina?"

"Truth! Iya, tentu saja. Pekerjaan dan profesi memungkinkan kami untuk tetap saling bicara."

Jantung Sorina seakan ingin lepas dari tempatnya. Rasanya tak ingin percaya dengan apa yang baru saja didengar.

"Giliranku, ya?" Pedro tak ingin ada drama setelah jawabannya barusan, ia langsung memutar botol itu. Sebagi polisi ia sudah terlatih membidik senapan, apalagi sekadar botol dalam permainan ini. Dan, tepat sasaran. Botol itu mengarah pada Abid Konrad.

"Aku rasa ingatanmu masih cukup baik untuk menjawab pertanyaanku, Tuan. Apa yang kau lakukan saat pihak rumah sakit menyarankan tindakan autopsi pada jasad istrimu?"

"Aku lupa, Dare!"

"Ingat, Tuan, masing-masing dari kita hanya punya 1 kesempatan truth dan 1 kesempatan untuk dare. Kau yakin mengambil dare di awal permainan?"

"Kau tak bisa memaksakan pilihanku, apapun yang terjadi itu konsekuensi."

"Baiklah, 5 sloki untukmu, Tuan."

Pedro menuangkan wine dalam gelas Abid Konrad yang wajahnya terlihat mulai berkeringat. Helenka nampak khawatir. Namun foto mendiang Kamila yang berada diantara dirinya dan Konrad membuatnya tak bisa mendekati pria itu.

Sorina kali ini diam, ia tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Pedro menyodorkan botol kosong itu pada Konrad, pria itu sepertinya mulai kehilangan konsentrasinya.  

Seketika muncul suara bel yang mengejutkan dari pintu depan, Pedro berdiri mendahului Sorina.

"Biarkan aku yang membukanya, aku mengundang teman-temanku, agar permainan ini semakin seru,"

Sorina memasang wajah bingung. Pedro tak mengatakan soal ini saat mereka bicara di depan kamarnya.

Tak seberapa lama, Pedro sudah kembali dengan seorang perempuan cantik dan anggun bersama seorang pria di sampingnya.   

"Maaf, aku mengundang mereka tanpa ijin pada kalian, ini Agata dan Marko."

Sorina dan ayahnya terkejut melihat wanita itu. Ia dokter yang memeriksa jasad Nyonya Kamila.

"Selamat malam Tuan Konrad, Sorina, apa kabar?" suara Agata terdengar seperti panggilan dari malaikat pencabut nyawa.

"Selamat malam, dokter. Apa kabar?" Suara Konrad terdengar sedikit terbata.

"Rupanya ingatan Anda masih baik, Tuan Konrad. Oh, ya, Agata, perkenalkan juga itu Helenka, calon ibu tiri Sorina." Kali ini suara Pedro semakin terdengar sinis.

Melihat kondisi semakin tidak kondusif, Konrad meminta agar mereka menyudahi permainan ini. Rasanya ia benar-benar ingin menghilang dari kelompok itu.

Pedro menolak, "Tinggal sebentar lagi, Tuan. Kita lanjutkan saja. Biar Agata dan Marko menikmati strudl yang tadi kubawa.

Konrad tak punya pilihan lain. Botol kosong itu diputarnya tanpa kekuatan. Botol itu kembali mengarah ketiga kalinya untuk Helenka. Namun perempuan itu sudah tak lagi punya kesempatan. 1 kali truth dan 1 kali dare sudah ia lakukan.

Konrad pun memutar lagi botolnya. Kali ini tertuju pada Pedro. Terlalu banyak hal dalam benak Konrad membuatnya justru tak tahu harus memilih yang mana.

"Apa tantangannya, Tuan?" Pedro mengingatkan.

Konrad tetap diam. Tak satu pun kalimat mampu keluar dari mulutnya.

"Ada apa denganmu, Pedro? Kau terlalu mendominasi permainan ini. Ku rasa hanya kau yang menikmatinya." Helenka menunjukkan rasa tak nyaman.

"Kau cerdas, Nona, oh, calon Nyonya Konrad. Walau kupikir permainan ini terlalu bertele-tele."

"Ini sekaligus menjawab pertanyaanmu tadi tentang mantan pacarku, Nona Helenka. Agata adalah mantan pacarku yang juga dokter yang memeriksa jasad Nyonya Kamila, mendiang istri Tuan Konrad. Aku memang tak pernah memberitahu pada Sorina tentang ini, karena aku tahu perempuan mana pun tak akan bisa menerima kekasihnya masih berhubungan dengan mantan kekasihnya, bukan?" sambung Pedro.

Pedro mendekatkan tubuhnya pada Sorina. Agata yang menyaksikan itu nampak biasa saja, karena memang antara keduanya kini hanya sebatas hubungan pekerjaan saja.

"Hari itu, hari di mana ia mengatakan padaku bahwa kerusakan sumsum tulang belakang pada Nyonya Konrad bukan hal yang wajar, aku meminta Agata untuk memberikan tawaran dilakukannya autopsi pada tubuh istrinya. Namun sehari menjelang pemakaman, Tuan Konrad mendatangi Agata dan menyampaikan tak perlu dilakukan autopsi pada jasad istrinya. Bukan hanya aku mengenal Nyonya Kamila dengan baik. Tapi karena aku juga polisi, aku meminta Agata diam-diam mengautopsi wanita malang itu. Dan kau tahu apa yang ditemukan? Kandungan polonium dalam tubuhnya. Menurutmu, apa Nyonya Kamila dengan sengaja mengonsumsi racun itu?"

Helenka terkejut mendengar semua yang diceritakan Pedro. Ia menatap wajah Konrad, berusaha menemukan penolakan atas apa yang Pedro katakan.

"Apa semua itu benar, Konrad?"

"Aku tak melakukan apapun pada Kamila." jawab Konrad dengan suaranya yang hampir terdengar seperti bisikan.

Marko, pria yang datang bersama Agata bangkit dari duduknya seraya meletakkan strudl yang masih tersisa setengah potong.

"Mari, Tuan. Anda bisa jelaskan semuanya di kantor kami." Ucap Marko sambil menunjukkan kartu tanda anggota kepolisian.

"Bukan aku, aku tak melakukan apapun pada Kamila!" Konrad terus membela diri. Pandangannya mengarah bergantian pada Helenka dan Sorina.

"Sorina?" tiba-tiba Konrad menatap tajam pada anak gadisnya.                    

Belum selesai otak gadis itu mencerna ucapan Pedro bahwa kekasihnya itu masih berkomunikasi dengan mantan kekasihnya, bahkan orang yang dimaksud itu adalah Agata yang juga menjadi tamu undangan malam ini.

"Dan Agata adalah dokter forensik yang melakukan autopsi pada jenazah ibu?" batin Sorina. Pedro bahkan melanggar protokol dengan menginstruksikan tindakan autopsi tanpa seizin pihak keluarga.

Panggilan dari Konrad tersebut menyadarkan Sorina dari lamunannya. Ia menyadari beberapa pasang mata yang mengarah padanya menantikan sebuah pengakuan.

"Iya, aku yang mencampurkan racun itu pada tiap makanan ibu. Aku tahu sudah sejak lama bahwa ayah berselingkuh. Aku tak mau ibuku dibohongi terus-menerus, aku hanya berpikir lebih baik ibuku mati dari pada akhirnya tahu bawa ayah tak lagi mencintainya."  

Selesai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun