"Tapi itu hari Senin, Kung." sanggahku.
"Iya, hari sekolah, Pak," tambah Ibu.
"Lha, memangnya kenapa? Kalian mau terjadi apa-apa kalau nggak sesuai dengan perhitungan hari baik?"
Ibu seketika diam, ia memandang ke arahku yang sudah benar-benar muak dengan aturannya. Tanpa ibu berkata-kata pun aku sudah sangat paham, ia memintaku untuk lagi dan lagi menerima semua yang Kakung katakan.
Acara pun akhirnya diadakan pada hari arahannya. Sesuai dugaan, tak semua teman-teman yang kuundang bisa datang. Selepas acara aku menangis sesenggukan. Kakung menghampiriku, mengelus kepalaku dengan lembut, namun itu semua tak bisa mengobati rasa kecewa yang kurasakan.
"Jangan nangis, Cah Ayu. Teman-temanmu yang nggak bisa datang itu berarti nggak menjadikanmu prioritas, nggak apa-apa yang datang sedikit, tapi jelas terlihat mereka memang benar-benar teman yang menghargaimu."
Bukan hanya kali itu, pesta ulang tahun yang kuadakan harus menunggu tanggal baik dari kakung. Bukan takut, hanya mengurangi keributan di rumah. Aku tahu bagaimana ibu akan kecewa jika aku membantahnya walaupun aku dan ibu sama-sama menolak keputusan kakung atas hidup kami.
*
Aku kenal dengan seorang pria bernama Hadi. Usia kami terpaut 3 tahun saja. Walau begitu, Mas Hadi memiliki kelebihan yang kurasa mampu menutupi segala kekuranganku. Hal ini juga sudah sesuai dengan arahan kakung: harus berdarah Jawa, usia lebih tua, dan punya mapan lahir batin. Atas dasar itu, aku memberanikan diri mengajaknya ke rumah untuk berkenalan dengan keluargaku.
Di penghujung Desember 2013 aku mengenalkannya dengan ibu dan kakung. Mulanya semua baik-baik saja, sampai setelah Mas Hadi pulang.
"Nduk, Kakung mau bicara sebentar?"