Jumat, 13 Oktober 1989, aku lahir di sebuah klinik sederhana dalam kondisi kurang baik. Sempat mengalami aspirasi meconium atau keracunan ketuban.
Entah karena faktor kelahiran yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja, aku jadi sering mengalami sakit. Dokter bilang hal itu juga bisa berpengaruh pada tingkat kecerdasan yang rendah. Tapi lain menurut kakung---ayah dari ibuku, kondisiku dipengaruhi wetonku.
Terlahir dalam keluarga berdarah Jawa membuatku harus mengikuti semua aturan yang berlaku sejak jaman leluhur. Apalagi saat Kakung masih ada. Segala hal selalu dikaitkan dengan adat. Hal yang kadang bertentangan dengan mau ibuku.
Siang itu ibu pulang ke rumah dengan wajah muram. Kakek menyambut di ruang tamu, sementara aku mengintip dari jendela kamar.
"Nggak usah ditekuk wajahmu, Sur. Nilai rapor anakmu jelek, kan?" tanya Kakung sinis.
Ibu tidak mengangguk, tak pula menggelengkan kepalanya. Aku pun sudah tahu, hal ini pasti terjadi lagi dan lagi. Rasanya sudah belajar mati-matian tapi tetap saja nilaiku selalu anjlok. Bahkan, ibu sudah mendaftarkanku di tempat kursus yang biayanya bahkan lebih besar dari SPP bulananku. Belajar kelompok bersama teman-teman juga kulakukan. Tapi, jangankan masuk 10 besar, tak ada tinta merah yang wali kelas pakai untuk mengisi raporku saja sudah alhamdulillah.
"Sudah Bapak bilang berkali-kali, memang modelannya akan begitu. Nggak usah kecewa, apalagi mutung, manusia sudah ada porsinya, sejak lahir pun bapak sudah bisa melihat masa depan anakmu akan jadi seperti apa,"
"Ya, tapi saya tetap mau Amara dapat nilai bagus, Pak. Saya mau Amara itu nanti bisa jadi orang,"
"Apa sekarang bukan orang? Sudah, cepat masak saja, Bapak sudah lapar. Anakmu juga sudah dari tadi nggak sabar mau ngitung jumlah nilai merah di rapornya," ledek Kakung yang tertawa sampai batuk-batuk.
Sebenarnya aku kesal mendengar ia selalu meremehkanku, tapi apa aku bisa mengubahnya dengan prestasiku yang tidak pernah ada?
*
Ibu sedang ada arisan di rumah Bu RT sore itu, sehingga aku punya kesempatan berdua saja hanya dengan kakung. Dari dulu kakung selalu bilang ia sudah tahu bagaimana masa depanku, aku merasa sepertinya aku harus cari tahu apa yang melatarbelakanginya mengatakan itu.
"Kung, Amara mau tanya, boleh?"
"Kenapa, Nduk?"
"Kenapa Kakung selalu bilang sudah tahu bagaimana masa depanku?"
"Hitungan wetonmu menunjukkan itu. Makanya Kakek nggak pernah memaksa seperti ibumu supaya prestasimu bagus, memang sudah bawaanmu begitu," pungkasnya.
"Jumat Wage itu sering sial, kurang cerdas. Makanya Kakung dan ibumu harus benar-benar menjagamu,"
Aku terdiam, dibuat skak mat oleh kakek sendiri itu rasanya seperti tersambar petir di musim kemarau berkepanjangan.
*
Seminggu sebelum ulang tahun ke-17, aku dan ibu sudah sepakat akan merayakannya di hari Sabtu, karena bertepatan dengan tanggal kelahiranku 13 Oktober. Daftar nama teman-teman yang akan ku undang sudah kuserahkan pada ibu. Namun tiba-tiba kakung muncul dengan kata-katanya yang membuatku kesal setengah mati.
"Nggak boleh Sabtu, Sur. Buat di hari Senin saja, sudah Bapak hitung-hitung sesuai weton Amara, hari baiknya di tanggal 15 Oktober."
"Tapi itu hari Senin, Kung." sanggahku.
"Iya, hari sekolah, Pak," tambah Ibu.
"Lha, memangnya kenapa? Kalian mau terjadi apa-apa kalau nggak sesuai dengan perhitungan hari baik?"
Ibu seketika diam, ia memandang ke arahku yang sudah benar-benar muak dengan aturannya. Tanpa ibu berkata-kata pun aku sudah sangat paham, ia memintaku untuk lagi dan lagi menerima semua yang Kakung katakan.
Acara pun akhirnya diadakan pada hari arahannya. Sesuai dugaan, tak semua teman-teman yang kuundang bisa datang. Selepas acara aku menangis sesenggukan. Kakung menghampiriku, mengelus kepalaku dengan lembut, namun itu semua tak bisa mengobati rasa kecewa yang kurasakan.
"Jangan nangis, Cah Ayu. Teman-temanmu yang nggak bisa datang itu berarti nggak menjadikanmu prioritas, nggak apa-apa yang datang sedikit, tapi jelas terlihat mereka memang benar-benar teman yang menghargaimu."
Bukan hanya kali itu, pesta ulang tahun yang kuadakan harus menunggu tanggal baik dari kakung. Bukan takut, hanya mengurangi keributan di rumah. Aku tahu bagaimana ibu akan kecewa jika aku membantahnya walaupun aku dan ibu sama-sama menolak keputusan kakung atas hidup kami.
*
Aku kenal dengan seorang pria bernama Hadi. Usia kami terpaut 3 tahun saja. Walau begitu, Mas Hadi memiliki kelebihan yang kurasa mampu menutupi segala kekuranganku. Hal ini juga sudah sesuai dengan arahan kakung: harus berdarah Jawa, usia lebih tua, dan punya mapan lahir batin. Atas dasar itu, aku memberanikan diri mengajaknya ke rumah untuk berkenalan dengan keluargaku.
Di penghujung Desember 2013 aku mengenalkannya dengan ibu dan kakung. Mulanya semua baik-baik saja, sampai setelah Mas Hadi pulang.
"Nduk, Kakung mau bicara sebentar?"
"Iya, Kung. Bagaimana?"
"Dari tanggal lahirnya, Hadi nggak cocok sama kamu, nggak usah dilanjut hubungan kalian."
"Apa sampai urusan jodoh saja harus dicocokkan dengan weton?"
"Justru itu terpenting, lihat ibumu, belum genap usiamu sebulan, bapakmu meninggal. Itu karena ibumu nggak nuruti hitungan wetonnya,"
Aku melirik ibu, baru kali ini aku melihat satu-satunya orang yang selalu membelaku seakan tak punya tenaga untuk membantah ayahnya.
"Apa sebaiknya aku nggak usah menikah? Atau Kakung saja yang mencarikanku jodoh?"
"Sabar, kamu masih 24 tahun, nikmati masa mudamu, jodoh itu datangnya dari Gusti, ndak usah kesusu,"
Air mataku seketika mengalir deras, aku tak mampu lagi menahan segalanya. Bagiku, kakung sudah sangat keterlaluan. Jika katanya rejeki, jodoh dan maut itu di tangan Tuhan, itu tak berlaku di rumah ini, semuanya ada di tangan kakekku.
*
13 Oktober 2022
Setelah mengalami tahun-tahun yang tak selalu sesuai keinginan, baru kali ini aku bisa merasa jadi diri sendiri yang seutuhnya.
Perayaan ke-33 tahun usiaku dirayakan tepat pada 13 Oktober. Aku merayakan dengan suka cita. Teman-temanku yang hampir semuanya perempuan menyalamiku lalu menikmati santapan yang disiapkan. Sudah kubayangkan bagaimana ini akan sangat menyenangkan sampai keputusan hukuman mati itu datang.
"Mimpimu jadi kenyataan sekarang, kau boleh mengambil keputusan semamumu, sampai datangnya waktu itu." Bu Anggun, kepala sipir itu berbisik di telingaku, sebelum aku meniup lilin berjumlah 33 di atas sebuah tart yang sudah disiapkan para pengurus lapas perempuan.
Kakung? Kalian tentunya sudah tahu di mana ia berada saat ini. Tak perlu tebak-tebakan untuk menjawabnya, kan?
Sayangnya, selama hidupnya ada satu hal yang kakung lupa sampaikan padaku tentang wetonku, bahwa  pemilik weton Jumat Wage adalah seorang pendendam.
Bekasi,
13 November 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H