Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Weton Jumat Wage

13 November 2023   14:50 Diperbarui: 16 November 2023   19:11 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumat, 13 Oktober 1989, aku lahir di sebuah klinik sederhana dalam kondisi kurang baik. Sempat mengalami aspirasi meconium atau keracunan ketuban.

Entah karena faktor kelahiran yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja, aku jadi sering mengalami sakit. Dokter bilang hal itu juga bisa berpengaruh pada tingkat kecerdasan yang rendah. Tapi lain menurut kakung---ayah dari ibuku, kondisiku dipengaruhi wetonku.

Terlahir dalam keluarga berdarah Jawa membuatku harus mengikuti semua aturan yang berlaku sejak jaman leluhur. Apalagi saat Kakung masih ada. Segala hal selalu dikaitkan dengan adat. Hal yang kadang bertentangan dengan mau ibuku.

Siang itu ibu pulang ke rumah dengan wajah muram. Kakek menyambut di ruang tamu, sementara aku mengintip dari jendela kamar.

"Nggak usah ditekuk wajahmu, Sur. Nilai rapor anakmu jelek, kan?" tanya Kakung sinis.

Ibu tidak mengangguk, tak pula menggelengkan kepalanya. Aku pun sudah tahu, hal ini pasti terjadi lagi dan lagi. Rasanya sudah belajar mati-matian tapi tetap saja nilaiku selalu anjlok. Bahkan, ibu sudah mendaftarkanku di tempat kursus yang biayanya bahkan lebih besar dari SPP bulananku. Belajar kelompok bersama teman-teman juga kulakukan. Tapi, jangankan masuk 10 besar, tak ada tinta merah yang wali kelas pakai untuk mengisi raporku saja sudah alhamdulillah.

"Sudah Bapak bilang berkali-kali, memang modelannya akan begitu. Nggak usah kecewa, apalagi mutung, manusia sudah ada porsinya, sejak lahir pun bapak sudah bisa melihat masa depan anakmu akan jadi seperti apa,"

"Ya, tapi saya tetap mau Amara dapat nilai bagus, Pak. Saya mau Amara itu nanti bisa jadi orang,"

"Apa sekarang bukan orang? Sudah, cepat masak saja, Bapak sudah lapar. Anakmu juga sudah dari tadi nggak sabar mau ngitung jumlah nilai merah di rapornya," ledek Kakung yang tertawa sampai batuk-batuk.

Sebenarnya aku kesal mendengar ia selalu meremehkanku, tapi apa aku bisa mengubahnya dengan prestasiku yang tidak pernah ada?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun