"Saya pastikan tak sampai 2 minggu, Pak."
Telepon kumatikan. Juwita masih duduk manis di kursi angkringan.
"Aku pulang dulu ya, Bu. Ibu hati-hati jaga warungnya, ya." pamit Juwita.
Sedikit kecewa terasa karena aku masih belum puas bercengkrama dengannya. Namun, tempat Juwita memang bukan di pinggir jalan seperti ini. Seharusnya ia ada di rumah, sekolah, atau tempat-tempat yang lebih nyaman untuk anak seusianya.
----2----
Angkringan kututup lebih cepat dari biasanya. Aku berencana untuk berjalan melewati pemukiman tempat tinggal Juwita. Sebuah rumah kecil di pinggir rel kereta. Rumah yang bisa terbilang kumuh untuk ditinggali seorang anak yang tak punya ibu.
Aku hanya mengamati rumah Juwita dari jauh, dengan sedikit harapan anak itu akan keluar rumah walau sebentar. Namun sayangnya, semua tak sesuai rencana. Hingga tengah malam, rumah itu tetap tertutup rapat.
----3----
Ponselku sudah berdering kesekian kali. Bukannya tak mendengar, hanya sengaja mengulur waktu agar aku benar-benar siap mengangkatnya.
"Yola, kamu tahu kewajibanmu?" tanya suara di seberang sana. Penelepon yang sama seperti dua hari sebelumnya.
"Siap, tahu, Ndan."