Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Juwita dan Aku yang Dipanggilnya Ibu

1 September 2023   00:34 Diperbarui: 1 September 2023   00:36 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadis kecil itu selalu terlihat malu-malu jika tanpa sadar pandangan kami tertaut. Rambut pendeknya yang kerap lepek terlihat kemerahan di bawah terik matahari. Sebuah botol plastik bekas kemasan air mineral yang diisi setengah genggam beras dianggapnya sebagai alat musik kecrek. Dia menyanyikan banyak lagu yang sesungguhnya tak sesuai usia. Namun, demi mengisi perut kosongnya gadis itu terus bernyanyi walau kadang nadanya ke sana -- sini.

Gadis itu bukan satu-satunya anak kecil yang sejak pagi bahkan hingga malam hari bergantian mengamen di lampu lalu lintas ini. Biasanya ada enam, tujuh, bahkan sepuluh orang lagi bersamanya mengamen di sini. Namun tidak setiap hari seperti Juwita. Mungkin mereka berpindah lokasi tergantung keinginannya.

Di usia semuda itu mereka sudah mengerti caranya berbagi rejeki. Secara bergantian mereka menunjukkan kemampuan bernyanyi di depan puluhan mobil dan motor yang berhenti saat lampu merah menyala. Ada yang memberi karena kasihan, ada pula yang dari kendaraan mereka hanya memperhatikan. Sebagai anak-anak, mereka juga punya perasaan. Kadang senyum tetap mengembang, kadang cemberut tanda kekecewaan.

Namanya Juwita, kutaksir usianya baru 7 tahun. Namun, tiap kali kutanya, ia selalu mengganti jawabannya. Kadang 9 tahun, kadang 10 tahun. Untung saja dia tidak mengaku-ngaku jika usianya 17 tahun. Entah, dulu pun aku sering ingin cepat besar, ingin cepat dianggap dewasa. Padahal, saat sudah seusia ini, aku ingin kembali pada usiaku yang belum sampai 2 digit. Usia yang selalu membuatku dijaga.

----1----

Sore itu Juwita mengenakan gaun pesta. Dari jauh aku sudah menangkap kedatangannya. Walaupun warnanya sudah kelihatan lusuh dan beberapa bagian lepas jahitannya, anak itu tetap cantik. Dengan langkah pelan ia mendekatiku

"Aduh, cantik sekali kamu hari ini," godaku.

Juwita mengulum senyum, manis sekali.

"Bajunya bagus, tapi kayaknya sudah sempit?" ujarku sembari mengikat tali gaunnya yang menjuntai.

"Aku kan hari ini ulang tahun, Bu." ucapnya Juwita spontan.

"Oh, ya? Yang ke berapa? 15 tahun? 16 tahun?"

Juwita terkekeh. Ia tahu aku benar-benar sedang meledeknya. Belum sempat ia menjawab tanyaku, lampu merah menyala. Saatnya Juwita konser sore ini. Tak seperti biasanya, para pengamen cilik yang lain tak terlihat batang hidungnya.

Samar-samar kudengar suara nyaring Juwita menyanyikan lagu selamat ulang tahun milik band Jamrud. Salah seorang temannya bertepuk tangan di sebelahnya.

Seketika ada pedih terasa di sudut hati. Anak sekecil Juwita berusaha menghibur dirinya sendiri di hari bahagianya.

Lampu lalu lintas kembali hijau, Juwita dan seorang temannya melipir ke angkringan yang baru kubuka. Tempat ini yang membuatku bisa mengenalnya.

Ku biarkan para pengamen cilik itu mengambil apa yang mereka mau. Dulu ibu mengajarkanku untuk berbagi dan pemahaman tentang itu kubawa hingga kini.

"Juwita mau kado apa dari Ibu?" tanyaku.

"Ibu mau kasih aku apa?" ia balik bertanya.

"Juwita mau baju? Sepatu atau boneka?"

Gadis berlesung pipi itu terdiam, namun bola matanya berputar ke sana-sini. Awalnya kukira ia tengah berpikir keras untuk memilih salah satu dari kado yang kutawarkan.

"Aku mau sekolah lagi, Bu." Jawabnya mantap seraya menatap mataku lekat.

Rasanya seperti ditampar kenyataan. Ulu hatiku terasa nyeri. Kenapa aku hanya menawarkan hal-hal receh seperti tadi jika ternyata harapan Juwita lebih menyenangkan setelah kudengar.

"Terakhir sekolah Juwita kelas berapa?" tanyaku antusias setelah diam beberapa saat.

"TK B, Bu. Terus nggak ke SD. Soalnya Ibu aku meninggal. Ayah juga jarang pulang. Nggak ada yang urus aku. Aku aja kalau makan suka dikasih sama ibunya si Nizam," jawabnya sambil menunjuk teman yang duduk di sebelahnya.

Aku benar-benar benci suasana seperti ini. Bukan  benci pada kisah sulit Juwita, melainkan benci pada kemanjaanku saat kecil dulu. Benar jika ibu pernah bilang bahwa aku ini kurang banyak bersyukur.

"Ibu punya anak, nggak?" pertanyaan polos mengalir dari gadis kecil yang mulai mengunyah lontong isi daganganku.

"Ibu belum menikah, masih sibuk kerja," jawabku.

"Mau aku kenalkan sama Ayah, nggak?" lagi-lagi ucapan Juwita terdengar menohok. Namun, yang kali ini justru membuatku kehabisan kata-kata.

Tiba-tiba ponselku berdering. Aku menjauhkan diri dari Juwita.

"Bagaimana?" terdengar suara pria yang amat kukenali.

"Beri saya waktu 3 hari lagi."

"Sudah hampir dua minggu,"

"Saya pastikan tak sampai 2 minggu, Pak."

Telepon kumatikan. Juwita masih duduk manis di kursi angkringan.

"Aku pulang dulu ya, Bu. Ibu hati-hati jaga warungnya, ya." pamit Juwita.

Sedikit kecewa terasa karena aku masih belum puas bercengkrama dengannya. Namun, tempat Juwita memang bukan di pinggir jalan seperti ini. Seharusnya ia ada di rumah, sekolah, atau tempat-tempat yang lebih nyaman untuk anak seusianya.

----2----

Angkringan kututup lebih cepat dari biasanya. Aku berencana untuk berjalan melewati pemukiman tempat tinggal Juwita. Sebuah rumah kecil di pinggir rel kereta. Rumah yang bisa terbilang kumuh untuk ditinggali seorang anak yang tak punya ibu.

Aku hanya mengamati rumah Juwita dari jauh, dengan sedikit harapan anak itu akan keluar rumah walau sebentar. Namun sayangnya, semua tak sesuai rencana. Hingga tengah malam, rumah itu tetap tertutup rapat.

----3----

Ponselku sudah berdering kesekian kali. Bukannya tak mendengar, hanya sengaja mengulur waktu agar aku benar-benar siap mengangkatnya.

"Yola, kamu tahu kewajibanmu?" tanya suara di seberang sana. Penelepon yang sama seperti dua hari sebelumnya.

"Siap, tahu, Ndan."

"Malam ini tim harus segera melakukan penyergapan ke rumah target operasi, sudah tak ada waktu lagi."

Kutarik napas dalam-dalam, aku tak ingin komandan mendengar nada suaraku berubah karena menahan sesak di dada.

"Yola? Masih di sana?"

"Siap, masih, Komandan!"


---- 4 ----

Dini hari, tepat pukul 2 pagi, rumah kumuh di pinggir rel kereta itu didobrak paksa. Empat orang timku memborgol tubuh laki-laki yang tadinya sedang tertidur lelap bersama gadis kecilnya. Bergegas aku menggendong Juwita yang terus memberontak. Juwita menangis histeris, ia terus berteriak memanggil laki-laki yang tengah memohon minta untuk dilepaskan.

"Ayah ... Ayah ... Jangan tinggalin Juwita, Ayah! Juwita sudah nggak punya ibu, jangan ambil ayah aku! Tolong aku, bapak-bapak. Tolong jangan bawa ayahku!!!"

"Juwita maafkan Ayah, Juwita maafkan Ayah ya, Nak!" tak hanya anaknya, pria itu pun menangis sejadi-jadinya.

Aku sengaja tak mengeluarkan suara sekecil apapun. Aku tak ingin Juwita tahu siapa aku dibalik seragam dan maskerku.

Ya, bukan tanpa sengaja aku mendekati Juwita. Ayah Juwita adalah seorang pengedar narkoba yang sudah lama menjadi incaran kami. Sudah lama pula aku mencari informasi tentang pria itu. Setelah kudapatkan data-datanya, akhirnya aku tahu dia memiliki seorang anak.

Sengaja kubuka warung angkringan di dekat tempat Juwita menjajakan suara indahnya. Sengaja aku membuatnya nyaman bercerita. Sengaja aku buat chemistry di antara kami. Namun, dari semua kesengajaan yang kubuat, ada 1 hal yang muncul secara tak sengaja, Juwita anak kecil pertama yang bisa membuatku bangga dipanggil Ibu.

-Selesai-

Selamat Hari Polisi Wanita ke-75

1 September 2023

Esthi Bhakti Warapsari


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun