"Malam ini tim harus segera melakukan penyergapan ke rumah target operasi, sudah tak ada waktu lagi."
Kutarik napas dalam-dalam, aku tak ingin komandan mendengar nada suaraku berubah karena menahan sesak di dada.
"Yola? Masih di sana?"
"Siap, masih, Komandan!"
---- 4 ----
Dini hari, tepat pukul 2 pagi, rumah kumuh di pinggir rel kereta itu didobrak paksa. Empat orang timku memborgol tubuh laki-laki yang tadinya sedang tertidur lelap bersama gadis kecilnya. Bergegas aku menggendong Juwita yang terus memberontak. Juwita menangis histeris, ia terus berteriak memanggil laki-laki yang tengah memohon minta untuk dilepaskan.
"Ayah ... Ayah ... Jangan tinggalin Juwita, Ayah! Juwita sudah nggak punya ibu, jangan ambil ayah aku! Tolong aku, bapak-bapak. Tolong jangan bawa ayahku!!!"
"Juwita maafkan Ayah, Juwita maafkan Ayah ya, Nak!" tak hanya anaknya, pria itu pun menangis sejadi-jadinya.
Aku sengaja tak mengeluarkan suara sekecil apapun. Aku tak ingin Juwita tahu siapa aku dibalik seragam dan maskerku.
Ya, bukan tanpa sengaja aku mendekati Juwita. Ayah Juwita adalah seorang pengedar narkoba yang sudah lama menjadi incaran kami. Sudah lama pula aku mencari informasi tentang pria itu. Setelah kudapatkan data-datanya, akhirnya aku tahu dia memiliki seorang anak.