Rasanya seperti ditampar kenyataan. Ulu hatiku terasa nyeri. Kenapa aku hanya menawarkan hal-hal receh seperti tadi jika ternyata harapan Juwita lebih menyenangkan setelah kudengar.
"Terakhir sekolah Juwita kelas berapa?" tanyaku antusias setelah diam beberapa saat.
"TK B, Bu. Terus nggak ke SD. Soalnya Ibu aku meninggal. Ayah juga jarang pulang. Nggak ada yang urus aku. Aku aja kalau makan suka dikasih sama ibunya si Nizam," jawabnya sambil menunjuk teman yang duduk di sebelahnya.
Aku benar-benar benci suasana seperti ini. Bukan  benci pada kisah sulit Juwita, melainkan benci pada kemanjaanku saat kecil dulu. Benar jika ibu pernah bilang bahwa aku ini kurang banyak bersyukur.
"Ibu punya anak, nggak?" pertanyaan polos mengalir dari gadis kecil yang mulai mengunyah lontong isi daganganku.
"Ibu belum menikah, masih sibuk kerja," jawabku.
"Mau aku kenalkan sama Ayah, nggak?" lagi-lagi ucapan Juwita terdengar menohok. Namun, yang kali ini justru membuatku kehabisan kata-kata.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku menjauhkan diri dari Juwita.
"Bagaimana?" terdengar suara pria yang amat kukenali.
"Beri saya waktu 3 hari lagi."
"Sudah hampir dua minggu,"