Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ini Curhatan Saya, Pak Presiden

1 Agustus 2011   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya Allah, ini mimpikah?

“Maafkan saya, Bu. Saya salah, saya khilaf saat itu. Saya benar-benar minta maaf,”

“Tidak apa-apa, Pak. Bapak lakukan itu pasti ada sebabnya kan? Sudah saya maafkan, setiap manusia pasti pernah salah,”

Rasa bersalahku semakin bertambah ketika tahu bahwa aku sedang ada di rumah sakit akibat dipukuli massa saat mencoba mencopet kemarin. Beruntung aku tidak dilaporkan ke polisi karena wanita ini meminta aku untuk di bawa ke rumah sakit saja. Biaya pengobatan pun dia yang membayar.

Ya Allah, seandainya semua hamba-Mu baik sepertinya.

***

Seminggu setelah kejadian itu, aku kembali menarik becak. Pekerjaan menjadi kuli angkut aku tinggalkan karena trauma akan kekhilafanku saat itu. Biarlah pekerjaan ini tidak seberapa menghasilkan, yang penting halal, batinku.

Malam ini, saat melihat wajah Siti yang tidur pulas tanpa beban, aku tiba-tiba menyadari satu hal. Aku tiba-tiba mengerti mengapa Indah meninggalkanku, hidup bersamaku memang sulit.

Aku teringat poster besar di depan SMP yang aku lihat tadi siang, poster besar seorang laki-laki gagah berpakaian rapi, dengan wajah wibawanya. Di bawah wajahnya terlihat tulisan besar ‘bersama kita bisa memajukan pendidikan’.

Dan tiba-tiba aku teringat perbincangan bersama Hadi dan Ilis, tiba-tiba juga aku ingin curhat.

Ah, pak Presiden. Gaji bapak memang tidak naik selama 7 tahun ini. Tapi gajiku sudah tidak mencukupi hidupku selama 15 tahun ini, Pak. Isteriku lari karena tak sanggup. Aku lihat isteri bapak masih setia. Bukankah berarti hidup bapak masih enak? Bisakah aku juga ikut berpidato di atas podium itu, Pak, agar bisa didengar oleh seluruh masyarakat negeri ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun