Ya Allah, ini mimpikah?
“Maafkan saya, Bu. Saya salah, saya khilaf saat itu. Saya benar-benar minta maaf,”
“Tidak apa-apa, Pak. Bapak lakukan itu pasti ada sebabnya kan? Sudah saya maafkan, setiap manusia pasti pernah salah,”
Rasa bersalahku semakin bertambah ketika tahu bahwa aku sedang ada di rumah sakit akibat dipukuli massa saat mencoba mencopet kemarin. Beruntung aku tidak dilaporkan ke polisi karena wanita ini meminta aku untuk di bawa ke rumah sakit saja. Biaya pengobatan pun dia yang membayar.
Ya Allah, seandainya semua hamba-Mu baik sepertinya.
***
Seminggu setelah kejadian itu, aku kembali menarik becak. Pekerjaan menjadi kuli angkut aku tinggalkan karena trauma akan kekhilafanku saat itu. Biarlah pekerjaan ini tidak seberapa menghasilkan, yang penting halal, batinku.
Malam ini, saat melihat wajah Siti yang tidur pulas tanpa beban, aku tiba-tiba menyadari satu hal. Aku tiba-tiba mengerti mengapa Indah meninggalkanku, hidup bersamaku memang sulit.
Aku teringat poster besar di depan SMP yang aku lihat tadi siang, poster besar seorang laki-laki gagah berpakaian rapi, dengan wajah wibawanya. Di bawah wajahnya terlihat tulisan besar ‘bersama kita bisa memajukan pendidikan’.
Dan tiba-tiba aku teringat perbincangan bersama Hadi dan Ilis, tiba-tiba juga aku ingin curhat.
Ah, pak Presiden. Gaji bapak memang tidak naik selama 7 tahun ini. Tapi gajiku sudah tidak mencukupi hidupku selama 15 tahun ini, Pak. Isteriku lari karena tak sanggup. Aku lihat isteri bapak masih setia. Bukankah berarti hidup bapak masih enak? Bisakah aku juga ikut berpidato di atas podium itu, Pak, agar bisa didengar oleh seluruh masyarakat negeri ini?