Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ini Curhatan Saya, Pak Presiden

1 Agustus 2011   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Abah, SPP bulan ini belum dibayar,”

Duh Gusti Allah, terasa ada yang mencabik-cabik hati ini mendengar suara polos anakku itu. Berkali-kali sudah dia mengatakannya padaku, tapi hanya selalu bisa aku tanggapi dengan tatapan mata kosong. Berilah aku rezeki, ya Allah. Biar barang berkurang sedikit beban pikiranku.

“Bah…” ulang anakku, pikirnya aku tak mendengar ucapannya.

“Iya, nak. Tunggu lah, abah cari duit dulu,” jawabku sembari melemparkan senyum padanya, senyum yang aku buat untuk sekedar menenangkan hatinya. Aku sendiri tahu bahwa hatiku sedang tidak tersenyum.

Jadilah pagi itu aku kembali menarik becakku ke jalan, pekerjaan yang sudah aku tekuni limabelas tahun terakhir ini. Hujan, panas, debu, tak kupedulikan demi untuk menghidupi keluargaku. Meskipun hasil dari menarik becak tidak seberapa, tapi toh tak ada pekerjaan lain yang bisa aku lakukan. Tak ada dengan hanya bermodal ijazah SD.

“Narik becak aja lah, Din. Kerja berdasi tidak butuh orang tamatan SD. Lah aku saja yang punya ijazah SMP tak pernah tembus,” kata Amat, kawan sekampungku, saat aku mengeluhkan susahnya mencari pekerjaan 15 tahun lalu. Saran Amat aku turuti dan ternyata aku betah menarik becak sampai sekarang.

***

Siang ini sangat terik, menambah legam kulit hitamku yang sudah bertahun-tahun terbakar sinar matahari. Badanku sudah mulai melemah, namun niat pulang cepat aku urungkan melihat penghasilan hari ini masih sedikit. Sulit mencari pelanggan di jaman seperti ini. Orang-orang sudah punya motor sendiri, anak-anak sekolah yang beberapa tahun lalu menjadi pelanggan setiaku pun mulai berkurang. Rata-rata mereka sekarang sudah naik motor ke sekolah, atau nebeng temannya yang pakai motor, beberapa bahkan diantar-jemput mobil pribadi.

Seperti biasa siang begini tongkronganku di bawah rimbunnya pohon mahoni di depan sebuah SMP, menunggu anak-anak pulang sekolah. Pohon Mahoni ini juga jadi tempat beberapa pedagang makanan kecil membuka jualannya. Aku kenal mereka lumayan lama karena sering memarkir becak di tempat mereka berjualan. Ada Acil Ilis yang menjual es kelapa, Mang hadi dengan pentol gorengnya serta beberapa pedagang tidak tetap yang kadang mampir kadang tidak.

“Aku kok merasa kasihan ya liat presiden curhat masalah gajinya,” kata Acil Ilis membuka pembicaraan.

“Yang di tv tadi malam kah?” sahut Mang Hadi. Acil Ilis mengangguk. “Halaaah, tidak naik gaji 7 tahun pun gaji presiden tetap banyak, Lis. Tidak usah simpati pada presiden lah, hidup kita aja yang dipikirkan,”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun