Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ini Curhatan Saya, Pak Presiden

1 Agustus 2011   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun sore itu aku tak menemukan sejumput makanan pun di atas meja, begitu pula dengan Indah, juga Amir anak pertamaku. Aku bergegas ke kamar, Indah benar-benar hilang, meninggalkan aku dan Siti, anak kedua kami yang saat itu belum genap satu tahun.

Indah tidak pernah kembali, Amir pun tak pernah mencari bapaknya. Pastilah dia sudah besar sekarang.

***

Aku khilaf saat itu. Aku khilaf.

Aku baru sadar wanita itu terlalu baik untuk menjadi sasaran ketidakberdayaanku melawan nafsu.

Aku mulai merasa pendapatan dari menarik becak sudah tidak mencukupi untuk kehidupanku dan biaya sekolah Siti. Aku mencari pekerjaan tambahan tapi tidak meninggalkan pekerjaanku narik. Jadi subuh-subuh aku sudah keluar rumah untuk menjadi kuli angkut barang di pasar. Siti aku tinggalkan dengan alasan dia sudah bisa melakukan segalanya sendiri untuk pergi sekolah. Di pasar aku bisa mengangkut apa saja, mengangkutkan dagangan para penjual dari mobil ke pasar, atau pun mengangkat barang-barang belian ke mobil.

Subuh yang biasa itu, aku diminta untuk mengangkat beberapa karung hasil belian oleh seorang wanita paruh baya. Rupanya dia memborong sembako yang memang lebih murah daripada dibeli di pasar siang. Aku membawakan barang-barang itu ke mobil pick-up yang sudah menunggu di parkiran pasar. Sungguh banyak sekali barang-barang yang dia beli, pastilah orang kaya, pikirku.

Dan tiba-tiba saja pikiran itu melintas begitu saja, apalagi aku melihat ada kesempatan yang lumayan besar. Tanpa berpikir konsekuensinya lagi, aku langsung merebut tas berisi dompet dari lengan wanita itu, lalu lari sekuat tenaga ke seberang jalan menuju gang-gang kecil.

Aku mendengar teriakan wanita itu, aku mendengar suara jejak kaki orang-orang yang berlari ke arahku. Aku mendengar semuanya hingga aku menyadari perbuatanku dan menghentikan langkah tepat di permukiman warga. Lalu aku lupa kejadian setelah itu.

Saat aku bangun, aku merasakan perih luar biasa di sekujur tubuhku. Aku membuka mata dan mendapati wajah wanita itu sedang berada disamping ranjang tempat aku berbaring. Tubuhku refleks bangun, ingin berlari keluar ruangan, takut karena rasa bersalahku. Namun badanku tidak sanggup menuruti kehendakku. Sakit semua.

“Istirahat saja, Pak. Badan bapak belum pulih,” katanya sambil tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun