Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ini Curhatan Saya, Pak Presiden

1 Agustus 2011   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:12 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak lama kemudian sebuah mobil mewah berplat merah berhenti di dekatku, kaca mobil perlahan membuka dan tampaklah seorang laki-laki seumuranku dengan wajah garang beserta kumisnya. Nampaknya dia seorang pejabat dilhat dari dandanannya yang berjas itu.

Rupanya itu mobil jemputan si gadis kecil. Gadis kecil yang tadi kusapa berlari ke arah mobil itu, lalu mereka pun berlalu.

“Nah, lihat kamu Lis? Mobil dinas kok dipakai buat antar jemput anak, penyalahgunaan itu,” cacau Hadi setelah mobil tadi menghilang di belokan ujung jalan.

“Iya ya, padahal itu buat kerja, bukan buat kepentingan pribadi,”

Hadi terseyum melihat Ilis mulai sependapat dengannya,”Haha…. Akhirnya kau setuju denganku. Kapan ya punya mobil seperti itu, biar bisa bawa anak isteri pulang kampung.”

Aku tersentak. Aku belum pernah pulang kampung sejak menikah. Aku teringat orang tuaku yang tidak pernah tahu bagaimana rupa cucunya. Aku teringat isteriku.

Aku punya isteri, isteri yang cantik, sangat hormat padaku. Namanya Indah, seindah rupanya. Dia anak orang kaya, tapi rela hidup susah demi aku. Aku bahagia bisa memperistrinya, dia pun tak pernah mengeluh tentang keadaan hidup kami yang pas-pasan, dulunya.

Tahun ke enam pernikahan kami, Indah mulai berubah. Dia mulai jarang berbicara padaku, jarang tersenyum. Aku sempat bertanya padanya.

“Kenapa sayang? Akhir-akhir ini kelihatan lain?”

“Tidak apa-apa, kak. Cuma kurang enak badan.” sahutnya. Lalu berbalik meninggalkanku dengan dalih ingin memasak ke dapur.

Dan esok harinya adalah hari yang paling menyakitkan bagiku. Aku baru pulang menarik becak sore itu, agak lebih cepat karena hari mendung. Sesampainya dirumah, seperti biasa, aku langsung ke dapur karena Indah sudah menyediakan makan untukku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun