Sebuah Pelarian!
"Jadi, kita harus bersembunyi terus seperti ini?", tanyanya berbisik.
Mikael hanya diam dan tersenyum tipis. Dia merasa iba melihat gadis itu yang harus berendam didalam lumpur bersamanya. Bahkan Helen pun rela berkubangan tanah lempung sama sepertinya. Mereka harus menghindari drone-drone pemburu dengan mengelabui sensor panas mesin tersebut. Dengan cara inilah suhu tubuh Mikael dan Helen tak akan terdeteksi. Ia begitu mengenal mesin-mesin itu. Mereka tak akan mengenali objek buruannya jika objek tersebut tak bergerak dan bersuhu dingin.
"Graaooohhh", seekor panther menggeram di dekat Helen.
Helen hampir terpekik kaget. Beruntung tangan Mikael sigap membekap mulutnya. Mika menempelkan telunjuknya di depan bibir sembari menatap tajam gadis itu. Mika ingin mengisyaratkan padanya untuk tenang. Helen mengangguk pelan tanda mengerti. Pandangan mika sekarang dialihkannya pada kucing hitam itu. Otaknya sempat berpikir keras, bukan karena ingin menghindari ataupun mengusir binatang ini. Namun karena heran bagaimana hewan jenis harimau yang hampir punah itu bisa berada di hutan kalimantan ini? Tersesatkah? Sedikit disipitkannya mata kirinya. Sementara Panther itu menggeram dan sudah siap menerkam mereka.
Grusaakkk! Roaarrr!
Binatang buas itu melompat tinggi memamerkan gigi-gigi tajamnya. Sepasang taring panjang begitu runcing menyeramkan terpancang diantar rahang atasnya. Kedua tangan dan kakinya sedikit terbuka lebar dengan cakar-cakar yang putih mengkilat. Helen memejamkan mata, sepertinya ia terlalu lelah untuk berdiri dan lari. Meski dadanya bergemuruh kencang namun ia berusaha mengikuti saran Mika untuk tidak memunculkan satu gerakan sekecil apapun! Berbeda dengannya, Mikael justru masih mampu berpikir jernih dan tenang.
Trrzziing... trrzziiingg... trrzzziiiing...
Zerrpp... zerrppp... zzeerpphh...
Puluhan peluru menghujam binatang itu tanpa ampun. Ia hanya sempat meraung sejenak lalu terhempas ke lumpur tepat diantara Mikael dan Helen. Binatang na'as itu bersimbah darah, tak bernyawa lagi. Sempat mengejang sedikit namun segera meregang nyawa.
Derrtt.. dreerrtt... derrttt....
Sekali lagi drone bulat dengan senjata otomatis di sisi-sisinya menembaki jasad sang panther. Beberapa peluru nyaris mengenai Mika, bahkan ada yang berhasil menggores pinggangnya. Ia mengatupkan mulutnya dengan sekuat-kuatnya. Sementara Helen masih saja memejamkan matanya sembari berusaha menahan nafasnya. Meneguk liurnya untuk membasahi tenggorokan yang sepat.
Drone itu diam sejenak, beberapa berkas sinar merah ia arahkan pada jasad panther. Mika tahu jika mesin ini sedang menganalisis dan mendata korbannya. Memang ada perasaan gugup mendera dirinya, jangan-jangan drone itu mampu mengenali sosok-sosok yang sedang berbalut lumpur itu. Namun syukurlah, mereka luput dari deteksi. Setelah selesai drone itu mulai terbang menjauh.
Mika dan Helen sekarang bisa bernafas lega. Mereka saling pandang.sembari mengangkat kepala. Mika mengangguk, dan Helen mengerti apa yang diisyaratkan. Serentak mereka berdiri lalu berlari kecil menuju sungai yang berada beberapa puluh meter di depan sana.
"Ayo" bisiknya, "Pelan-pelan jangan sampai bersuara".
Helen mengangguk, badannya mulai ia beringsutkan kedalam sungai yang tampak keruh itu. Sempurna, ini akan menyamarkan tubuh keduanya. Mika bersusah payah menurunkan sebatang pohon ke dalam air. Pelan sekali, sehingga nyaris tak bersuara. Ia dan Helen memeluk pohon yang tidak terlalu besar itu. Syukurlah potongan pohon tersebut adalah jenis pohon yang dapat mengapung di dalam air. Akhirnya mereka pun bisa berenang ke muara tanpa terdeteksi oleh para drone pemburu yang beterbangan di udara. Dengan mengikuti arus sungai ini kami pasti akan baik-baik saja, pikirnya.
Mereka hanyut bersama arus yang tidak begitu deras. Diterangi bias sinar matahari senja yang sedikit menolong mereka untuk melawan hawa dingin sungai itu.
"Sebentar lagi malam", Helen bicara dengan nada setengah berbisik.
"Jangan kuatir kita akan melalui ini", Mikael menenangkannya.
Matanya menatap lembut Helen yang terlihat begitu sedih. Ingin rasanya Mikael memeluk Helen, setidaknya memberikan sesuatu yang dapat menghilangkan keresahan Helen. Namun untuk saat ini masih begitu sulit, Mika hanya bisa menggenggam punggung jemari Helen. Sekelumit senyum menggaris diantara bibir Helen yang basah. Wajahnya sudah lebih bersih ketika mereka terjun kedalam sungai itu.
Mikael memang berusaha tak ingin menampakkan kerisaunnya. Matahari yang terbenam memang sumber masalah baru yang akan mereka hadapi. Cuaca dingin, kegelapan yang pekat, dan yang terutama adalah para drone itu! Ia resah di saat malam tiba, maka drone-drone tersebut akan menambah metode deteksi untuk berburu. Metode deteksi yang bahkan mampu menemukan target dan sangat efektif dikala malam! Night Vision!
"Mika, kau dengar itu?", Helen kembali berbisik pada Mikael. Dengungan yang mirip sekelompok lebah terbang terdengar mendekati mereka.
"Ya", jawab Mikael singkat yang sekarang menyiratkan kewaspadaan.
"Siap menyelam?" lanjutnya pada Helen yang dibalas dengan anggukan kecil.
"Satu... Du... "
Belum sempat mika menghitung, tiba-tiba sebuah drone telah muncul tepat di depan mereka. Drone itu mengeluarkan sinar infra merahnya, berusaha untuk menganalisis target yang bergerak bersama sepotong pohon yang sedang mengapung.
"Sekarang!", Helen berteriak lalu menyelam.
Tanpa banyak protes Mika ikut menenggelamkan dirinya ke dalam sungai. Keduanya berusaha berenang secepatnya mengikuti arus sungai dibawah sana. Drone itu terkejut melihat gerakan seketika. Secara otomatis drone mulai menembaki ke arah pergerakan yang tiba-tiba. Peluru berhamburan mencabik-cabik batangan kayu tersebut. Meremukkannya dengan tampa ampun. Tanpa perikemanusiaan!
Sementara di udara datang menyusul lima drone lain yang terbang menukik dari atas mereka. Sembari menembaki target yang diserang drone pertama tadi dengan senjata otomatis mematikan. Drone-drone itu melesak masuk ke dalam air. Menyelam dan mengejar!
Mika dan Helen berjuang dan bertahan sekuat-kuatnya di dalam sana. Oksigen dalam paru-paru tinggal sedikit saja. Sementara hunjaman peluru tak tentu arah meluncur deras menerobos air. Mungkin Tuhan memang masih berpihak pada mereka, hingga tak satupun dari peluru tersebut yang berhasil mendaratkan diri pada tubuh keduanya.
Khekk... glup... Helen menelan sedikit air. Ia sudah tak sanggup lagi berada dibawah permukaan. Sembari meliuk ke atas ia memunculkan kepalanya diatas sungai yang mengalir itu.
"Ahhhh", Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu terbatuk-batuk akibat air yang tadi masuk mengganggu pernafasan di katup tenggorokannya.
"Mika!", ia menoleh kesana kemari mencari Mika. Memang sudah tidak ada satupun lagi drone yang mengejar mereka. Namun keresahannya yang tak kunjung menemukan Mika begitu membuncah dalam sanubarinya.
"Mikaaaaaeeelll", teriaknya panjang.
Groooaaaassshhhh...
Sial!
Sesosok drone muncul dari dalam air terbang ke udara. Mengangkut seorang manusia di belakangnya. Tiga drone lain ikut bermunculan satu persatu. Namun drone pertama tadi berbalik arah menembaki ketiga drone tersebut.
Dururuurruttt....Duurururuttt...
Ketiga drone tadi hancur berkeping-keping.
"Helen! Tunduk!", teriak seseorang yang bergelayut memegang kedua senjata berputar otomatis yang ada di kiri - kanan drone tersebut. Ternyata ia adalah Mikael!
Mikael merangkul drone itu dari belakang, ia berusaha bertahan dari rontaan drone yang ingin menjatuhkannya. Helen yang mendengar perintah Mika kembali menyelam. Lagi Mikael berhasil menggunakan amukan drone yang ditungganginya untuk menghancurkan drone lain yang muncul dari balik punggung Helen. Senjata drone tersebut berputar layaknya roda. Menghamburkan banyak amunisi logam dari moncongnya dengan tak terarah. Hingga akhirnya amunisnyapun habis.
"sial!", Mikael setengah berteriak.
Satu drone terakhir muncul dari dalam air. Ia terbang dengan cepat mendekati Mikael yang bergerak zig-zag diatas bersama drone yang ditungganginya.
"Mika awaaass", teriak Helen yang sudah muncul dari dasar sungai. Mika tak menjawab, karena memang tak akan sempat. Mungkin beberapa saat lagi ia akan menjadi manusia cincang pertama yang rajam oleh senjata api para drone di atas sungai.
"Pernah memeluk saudaramu?", Mikael bertanya pada drone itu. Ia mengutak-atik sesuatu di badan mesin itu lalu menjatuhkan dirinya dengan hanya memegang bagian kanan senjata drone tadi. Ia menghentakkan dirinya sekuat - sekuatnya lalu bergelantung pada senjata mesin. Tak ayal, Drone itu pun tersentak dan menikung tajam, Bersama lengkingan, Mikael melepaskan drone tersebut. Membuat mesin pembunuh itu berputar-putar dengan cepat menyambut drone terakhir yang terbang menuju Mikael.
"Zzdarrrr... Bzzzttt... Zzdaarrr!", suara ledakan keras terdengar. Kedua drone tersebut saling menabrak, meledak beruntun dan hancur berserakan. Ternyata drone terakhir terkena ledakan baterai drone tunggangan Mika sesaat setelah drone pertama ditembaki oleh drone terakhir.
Mika terjun bebas ke dalam sungai. Tenggelam sesaat lalu muncul kembali kepermukaan. Ia menenangkan sejenak nafasnya yang terputus-putus.
"Kamu tak apa?", Mika menanyakan kondisi Helen.
"Bodoh, seharusnya aku yang bertanya begitu!", Helen membentak mika, tangannya ia pukulkan keras diatas permukaan sungai. Kesal, kuatir, takut, gusar, dan protes.
"Baiklah, kuanggap itu ya!", Mika malah terkekeh.
Mentari sudah tenggelam. Kedua insan itu berusaha berenang ke tepian. Karena sudah tidak mungkin lagi mereka melanjutkan arung jeram-nya dengan keadaan dan kondisi seperti ini. Ingin rasanya cepat beristirahat namun semua sepertinya belum akan berakhir. Ledakan enam drone adalah seperti sinyal S.O.S yang akan memanggil lebih banyak drone lagi untuk datang menyerbu. Ini tak baik, sungguh tak baik! Sebenarnya pikiran Mika kalut, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkannya. Pikirnya masih ada sekitar 30 menit lagi hingga drone -drone lain yang menyusul dari markas musuh bisa tiba di tempat ini.
Belum sampai mereka ke pinggiran sungai. Sebuah cahaya terang bergerak dengan cepat dari arah hilir sungai.
"Sial! Speedboat!", Mika mengeluh ini adalah kemungkinan yang meleset dari perhitungannya. Ia sama sekali lupa memikirkan serangan musuh dari air!
"Ayo cepat, cepat, cepat!", Mika memburu kayuhan tangannya. Tiba ditepian mereka mencoba untuk berlari, namun sulit akibat genangan lumpur dibawah sana mengisap kaki mereka.
Susah payah mereka sampai di dataran kering, ternyata keduanya tak menemukan tempat untuk bersembunyi. Karena di sisi sungai itu ada sebuah tebing tinggi yang sulit untuk dipanjat. Kali ini keduanya terlihat pasrah. Lebih-lebih speedboat itu telah menerangi mereka dengan lampu sorot yang sangat menyilaukan.
Helen terduduk lesu diatas hamparan bebatuan di pinggir sungai. Ia memeluk kedua lututnya. Sedikit menggigil.
"Bagaimana ini?", wajah Helen sudah sangat lelah. Ia benar-benar bergantung pada pendapat Mikael. Mungkin saja pemuda itu masih memiliki ide gila yang mampu menyelamatkan mereka kali ini.
Mika tak menjawab Helen. Ia berpikir keras, berusaha mempertimbangkan segala bentuk tindakkan yang akan diambil beserta dengan konsekwensinya. Konklusi terliar berusaha ia temukan. Menyelamatkan Helen adalah suatu keharusan. Berapapun harganya ia akan membayarnya, termasuk mengorbankan nyawanya sendiri. Namun, satu-satunya hal yang dapat dilakukan saat ini adalah berjongkok di samping Helen lalu  menggenggam sebongkah batu di masing-masing kedua tangannya.
Ia berusaha untuk menyangkal hatinya yang berulang-ulang merecokinya dengan tanya:
"Inikah akhirmu Mikael?".
 To Be Continue...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H