Mohon tunggu...
tintaungu
tintaungu Mohon Tunggu... Guru - Tenaga Pendidik Pada Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Atas

Menulis Fiksi maupun non fiksi Slogan : Menulislah, karena sejarah tidak akan pernah punah di tangan penulis Menulislah, agar orang tahu siapa kamu di masa lalu Menulislah, agar kelak hanya ragamu yang terkubur di perut bumi, tetapi karyamu tetap membumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ikhlas Tak Berbatas

19 Juni 2022   19:54 Diperbarui: 19 Juni 2022   20:34 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berlahan senjak beranjak pergi, malam mulai menyapa.  

Pepohonan yang tumbuh rimbun di area perkuburan semakin menambah pekatnya suasana malam.  Adzan isya mulai menggema di masjid.   Hujan sejak siang tadi masih menyisakan gerimis yang masih saja enggan tuk berhenti.  

Langkahku seolah berat untuk meninggalkannya, berat untuk beranjak darinya, meski raganya telah terkubur di perut bumi dan dunia telah berbeda.  Sekujur tubuh basah kuyup dan menggiggil kedinginan. 

Berita yang seketika mengubur dalam-dalam impianku untuk membangun rumah tangga bersamanya.  Secerca harapan hadir seketika, tatkala biduk rumah tangganya berakhir dengan perpisahan untuk selamanya.  

Sasa, gadis yang begitu aku kagumi sejak masih seragam putih biru kini telah terbaring untuk selamanya. Kekaguman yang tak pernah sempat untuk terucap.  Aku mengutuk takdir, empat waktu shalat begitu saja kulewatkan. 

Aku, Aaz Fabian, terlahir sebagai anak tunggal dari  seorang pengusaha kaya raya dan memiliki paras menawan.  Namun, aku berbeda dari remaja pada umumnya. Melewati masa remaja hingga beranjak dewasa tak sedikitpun aku berniat untuk membalas cinta dari beberapa gadis-gadis yang secara terang-terangan menyimpan rasa padaku.  

Tak dapat kupungkiri, alasan hanya demi Sasa.  Sasa Mikayla Adrian, gadis dengan paras ayu yang kukenal sejak masih bocah.  Anak dari seorang single mother yang keseharian sebagai seorang buruh cuci dan kerap kali menitipkan kue pada warung-warung.  Aku dan Sasa dipertemukan di bangku taman kanak-kanak yang sama hingga perguruan tinggi yang sama meski dengan program studi yang berbeda.

 Melewati masa seragam merah putih hingga putih biru bersama dalam ikatan persahabatan.  Mengagumi sosoknya sejak mengenal getar-getar cinta.  Meski rasa kekagumanku hanya sekedar aku pendam sendiri.  Tak pernah terbersit keberanian untuk mengungkapkan rasa padanya.  Hingga berlanjut ke jenjang putih abu-abu,   

Sasa aktif pada eskul rohis menjadikannya lebih banyak mengenal ilmu agama.  Sasa pun mulai menjaga jarak sejak memutuskan untuk hijrah ketika memasuki semester dua kelas X MIPA 2.   Pagi itu suasana berbeda, Sasa datang dengan seragam tidak seperti biasanya, tetapi dengan menggunakan hijab segitiga panjang menjuntai dan tak ada seragam ketat.  Balutan kostum yang longgar menutupi tubuhnya,  Sasa terlihat begitu anggun.

            "Sa, kamu sehat-sehat aja kan?" Sembari menjulurkan tanganku ke keningnya, tetapi Sasa menghindar.

            "Maafkan aku Az," ujar Sasa sambil membelakangiku dan berlahan menjauh.

            "Sa, kamu kenapa?" Aku menarik tangan kanannya, tetapi Sasa pun menepisnya.

            "Kuharap kamu bisa menjaga jarak yah, bantu aku menjadi lebih baik lagi." Sasa pun bergegas meninggalkanku yang hanya bisa berdiri mematung. 

            Hingga berlanjut keperguruan tinggi,  Sasa jauh lebih menutup diri.  Komunikasi sangat terbatas dan hanya pada persoalan kampus.  Pada semester lima, Sasa dipersunting oleh Akbar Abdillah, seorang tenaga pengajar muda sekaligus aktivis dakwah di kampus. Impian untuk memiliki Sasa seutuhnya kini luluh lantah.  Akbar Abdillah, sosok pria yang  memiliki keberanian lebih dariku untuk membuktikan rasa cintanya pada sosok Sasa.  Wanita satu-satunya yang berhasil memikat hatiku kini telah milik orang lain.  Lirik lagu Lyodra terlanjur mencintaimu sayup sayup terdengar, entah mengapa aku begitu rapuh kehilangan sosok Sasa.

            "Seegois apapun diriku,  aku masih takut untuk kehilanganmu, percayalah. Tapi ketika hatimu telah milik orang lain        cara terbaik untuk mencintaimu adalah dengan mengikhlaskan. Pergilah!" bisikku lirih sambil mencoba memejamkan mata berharap dapat tertidur dengan lelap.

Hari berlalu, pekan berganti, tahun demi tahun terus berjalan.  Kehadiran Ibu yang selalu menguatkan langkahku, menyadarkanku bahwa Sasa memang mungkin bukan ditakdirkan untukku.  Demi Ibu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk lebih dekat kepada-Nya dan mengikhlaskan Sasa untuk menjadi milik orang lain. 

Kini aku telah menyelesaikan pendidikan S2 di University of Oxford Inggris dan kembali ke Indonesia untuk mengembangkan perusahan milik orangtua.   Di usia ke-25 tuntutan demi tuntutan orangtua padaku untuk segera memiliki pasangaan hidup. 

Namun, aku masih saja betah dengan kesendirian. Hidup di luar negeri ternyata tak mampu menghapus bayang-bayang dan kenangan tentang Sasa,  meski sepotong kabar pun tak pernah lagi aku dengar darinya.   

Jam menunjukkan pukul 24.02 WITA, tetapi mataku masih saja enggan untuk terpejam.  Iseng-iseng kubuka media sosial facebook dan mencoba mencari nama Sasa Mikayla Adrian.  Akun milik Sasa seketika membuatku tercengang.  Ucapan belasungkawa dari beberapa teman facebook Sasa menghiasi akun miliknya.  

Mataku semakin enggan terpejam hingga terdengar suara azan di masjid, waktu shalat Subuh telah tiba.  Bergegas aku menyingkap selimut yang masih menutup tubuhku dan beranjak dari pembaringan.  

Shalat Subuh segera kutunaikan di sebuah masjid yang tidak jauh dari kediamanku.  Sejenak aku larut dalam untaian doa, tak lupa kuselipkan nama Sasa di bait doaku.

Mentari telah tersenyum di ufuk timur.  Dengan menggunkan Honda Jazz berwarna silver segera aku melaju di atas aspal yang masih sepi dengan pengendara.  Memang masih terlalu pagi, cuaca masih terasa dingin, tetapi rasa penasaran yang mengantarkanku ke sebuah alamat yang tertera pada profil facebook milik Sasa.  

Sebuah rumah cukup mewah dengan nuansa putih ungu menghiasi seluruh tembok rumah.  Terlihat begitu asri dengan beberapa pohon palem yang belum begitu tinggi, beberapa bongsai, tanaman obat, dan berbagai jenis bunga menghiasi pekarangan rumahnya.  

Tampak seorang wanita dengan menggunakan hijab panjang dan dua orang balita sedang menyiram tanaman, di samping mereka seorang bayi yang di letakkan di sebuah kereta dorong.

            "Assalamu'alaikum." ucapku

            "Wa'alaikumussalam warahmatullah. Maaf, anda siapa dan cari siapa yah?"

            "Sasa kan?" tanyaku

            Perempuan berhijab panjang pun mengamatiku dari ujung kaki hingga ujung rambut.  Balutan busana casual yang melekat di tubuhku mungkin membuatnya pangling.

            "Sa, kamu benar-benar tak mengenaliku lagi? Kita baru berpisah lima tahun lalu loh.  Ini aku, Aaz."

            "Aaz Fabian? Maaf, aku benar-benar pangling.  Masuk yuk, Ibu ada di dalam,"

            Sebuah ruang tamu yang cukup luas dan terkesan mewah.  Dengan langkah tergopoh-gopoh seorang perempuan yang sudah cukup tua menghampiri, segera aku mencium tangannya. 

            "Bu, masih ingat ini Aaz, teman kecil Sasa  Ibu masih ingat kan?" ujar Sasa memperkenalkanku pada Ibunya.

            "Aaz, anaknya Pak Adrian?"

            "Iya, Bu,"

            "Nak Aaz, apa kabar? Sudah punya anak berapa sekarang?" Ibu Sasa pun memberondongku dengan pertanyaan, dan aku hanya tertawa kecil.

            "Sa, turut berduka cita yah, aku  baru tau semalam kalau suami kamu telah meninggal.  Maaf ya, selama ini aku benar-benar memutuskan komunikasi di antara kita,"

            "Nggak apa-apa, Az.   Oh, iya, kamu belum jawab pertanyaan Ibu,"

            "Hmmm ... kabar aku baik dan aku belum menikah sampai sekarang,"

             Perbincangan kami pun mengalir.  Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 WITA.  Rasanya aku sudah bertamu cukup lama dan aku pun pamit untuk pulang.

Waktu bergulir, komunikasiku pun kembali terjalin.  Getaran-getaran cinta yang tak pernah sempat kuungkap sejak masih putih biru, tidak pernah pudar begitu saja, meski Sasa telah dengan status barunya sebagai seorang single mother Pernikahan dengan Akbar Abdillah, Sasa melahirkan dua anak perempuan, Ziza dan Zizi serta satu orang anak laki-laki yang masih berumur 3 bulan, Ziyad Abdillah.  Hari-hari berlalu, anak-anak Sasa begitu dekat denganku. 

            "Om, mau nggak jadi papanya, Za?"

            Pertanyaan Ziza seketika membuatku terdiam, sejenak kuhela napas panjang.  Kutatap bola mata bocah 4 tahun, mata yang begitu indah.  Kuraih tubuh mungilnya dan mendekapnya dalam pelukan.

            "Andai kamu tau Nak, sejak masih seragam putih biru aku memendam rasa pada Ibumu." gumamku.

Ziza dan Zizi tidak hanya dekat denganku, tetapi juga dengan keluarga besar.   Kehadiran dua sosok  bocah perempuan dengan segala tingkah polosnya menjadi hiburan tersendiri bagi kedua orangtuaku.   Berbeda dengan Ziyad yang masih usia tiga bulan, Sasa masih tidak mengizinkanku untuk membawanya ke mana-mana. 

Keputusanku sudah bulat untuk untuk mengikat hubungan dengan Sasa dalam ikatan pernikahan.  Gayung bersambut, rasa yang kupendam selama ini tidak bertepuk sebelah tangan.  Namun, Sasa mengajukan syarat untuk tidak mengadakan resepsi, hanya ijab kabul.

Hari yang kunantikan tiba, ijab kabul akan di laksanakan secara sederhana di sebuah masjid yang hanya dihadiri kalangan keluarga.  Acara berlangsung penuh hikmad, raut wajah bahagia terpancar tatkala ijab kabul telah selesai di laksanakan.

  Namun, takdir tak dapat di elakkan.  Sasa  dilarikan ke rumah sakit hanya berselang 5 jam setelah pelaksanaan ijab kabul. Seketika tubuh terasa lunglai saat mengetahui Sasa telah mengembuskan napas terakhir tanpa ada satupun riwayat penyakit dan hanya sempat mengucap kalimat menitip anak-anaknya padaku.

            "Tuhan, hanya takdirkan untuk mengenalmu dan memilikimu hanya untuk sekejap.  Tenanglah di alam sana, aku pasti akan menjaga Ziza, Zizi, dan Ziyad." bisikku lirih sambil mengecup keningnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun