Dalam dekade terakhir, pendidikan di Indonesia tampak mengalami fenomena yang mengkhawatirkan: involutif -- di mana ada kesan bahwa sistem pendidikan terus bergerak, tetapi sebenarnya berjalan merumit kedalam dan cenderung mundur.
Salah satu manifestasi dari masalah ini adalah gejala megalomania, atau ambisi besar yang tidak diiringi oleh upaya substantif. Sindrom ini terlihat jelas dalam dua aspek: maraknya penggunaan istilah coach dalam pendidikan non formal, dan komersialisasi pendidikan yang kian masif.
Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, penting mengaitkannya dengan gagasan dari para tokoh pendidikan kritis, seperti Ki Hajar Dewantara, Benjamin Bloom dan Paulo Freire.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah kaprah berarti 'kesalahan yang umum sekali sehingga orang tidak merasakan sebagai kesalahan'. Salah kaprah berawal dari kurangnya pemahaman penutur/penulis terhadap kata yang digunakannya.
Dalam dunia pendidikan yang semakin digempur oleh tren modernisasi, istilah coach kian digunakan secara sembarangan. Pada dasarnya, coach berbeda dengan pendidik formal seperti guru dan dosen yang terikat pada standar akademis dan pedagogis yang jelas.
Namun, istilah ini kini dilekatkan pada individu yang kadang minim kompetensi dalam pendidikan formal, tetapi menawarkan solusi instan melalui seminar motivasi dan kursus cepat.
Ki Hajar Dewantara  menghapus penggunaan gelar sebutan termasuk gelar bangsawan sebagai bentuk simbolis dari kesetaraan di dunia pendidikan dan untuk mencerminkan filosofi inklusivitas di dalam gerakan Taman Siswa.
Ia meleburkan semua status sosial dalam sistem pendidikan yang ia dirikan, di mana tidak ada perbedaan antara bangsawan dan rakyat biasa. Hal ini terjadi pada tahun 1922, ketika ia mendirikan Perguruan Taman Siswa.
Keputusannya untuk melepaskan gelar "bangsawan" menegaskan bahwa semua orang tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau latar belakang memiliki hak yang sama dalam pendidikan.
Di Taman Siswa, guru dan murid dipandang setara, dan hal ini menjadi salah satu fondasi dari pendidikan yang inklusif, di mana akses terhadap ilmu pengetahuan tidak dibatasi oleh kelas atau status sosial.
Ki Hajar Dewantara (1922) dalam konsep "Pendidikan untuk Memerdekakan", Â menekankan bahwa pendidikan harus memerdekakan anak-anak dari belenggu ketidaktahuan dan dogma. Ini adalah dasar dari pendidikan kritis, di mana peserta didik didorong untuk berpikir mandiri, kritis, dan tidak hanya menerima pengetahuan tanpa mempertanyakan.
Benjamin Bloom (1956) seorang psikolog pendidikan yang terkenal dengan Taksonomi Bloom, menekankan pentingnya perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses pembelajaran.Â
Dalam pandangan Bloom, yang direvisi oleh Krathwohl (2021) menggaris bawahi bahwa pendidikan harus memfasilitasi perkembangan menyeluruh individu, mulai dari pemahaman dasar hingga evaluasi kritis. Penggunaan istilah coach yang dangkal, tanpa metodologi yang jelas, seringkali bertentangan dengan prinsip ini.Â
Coaching cenderung berfokus pada solusi cepat tanpa proses pemahaman mendalam, yang justru menjadi inti dalam kerangka belajar berbasis tujuan pendidikan yang terstruktur seperti yang dikemukakan oleh Bloom.
Sementara itu, Paulo Freire (1970), dengan pendekatan pendidikan kritis-nya, menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientization)---di mana peserta didik seharusnya tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi juga memahami konteks sosial dan politik dari pengetahuan tersebut. Dalam praktik coaching yang komersial, gagasan Freire ini terpinggirkan.Â
Coach sering kali hanya memberikan motivasi tanpa memupuk kesadaran kritis yang lebih mendalam. Di sinilah letak bahaya dari sindrom megalomania dalam dunia pendidikan non formal: berfokus pada hasil cepat dan pencapaian individual dengan proses instan tanpa memahami konteks dan struktur permasalahan yang melingkupi pendidikan dan bagaimana hal itu berhubungan dengan masyarakat secara lebih luas.
Sindrom Megalomania & Komersialisasi Pendidikan
Adler (1870--1937) seorang tokoh psikologi individual, memandang megalomania sebagai bentuk dari kompleks superioritas, yang merupakan mekanisme pertahanan psikologis untuk menutupi kompleks inferioritas.
Menurut Adler, orang dengan megalomania sering kali merasa tidak berharga di dalam diri mereka, sehingga mereka berusaha membangun citra superior untuk mengompensasi perasaan kurang berdaya.
Sindrom megalomania ini juga terlihat dalam aspek lain yang lebih sistemik, yaitu komersialisasi pendidikan. Banyak lembaga pendidikan menggunakan istilah pusat sebatas gimmick. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap warga negara, kini semakin dipandang sebagai komoditas industri komersial.Â
Biaya pendidikan yang tinggi dan menjamurnya sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan swasta yang menawarkan program premium seperti international class atau bilingual program adalah bukti konkret bahwa pendidikan telah menjadi komoditas. Penggunaan terminologi yang cenderung berlebihan digunakan sebagai gimmick marketing di dunia pendidikan non formal.
Paulo Freire dalam bukunya "Pedagogy of the Oppressed" menekankan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan individu, bukan justru menjadi alat opresi baru yang meminggirkan mereka yang kurang mampu. Komersialisasi pendidikan menciptakan hierarki baru di mana akses terhadap pengetahuan dan kesempatan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu membayar.Â
Ini bertentangan dengan gagasan Freire tentang pendidikan yang seharusnya memerdekakan dan inklusif. Pendidikan tidak boleh diperdagangkan atau diukur semata-mata berdasarkan kemampuan finansial, karena hal itu hanya akan memperdalam kesenjangan sosial yang sudah ada.
Benjamin Bloom, dengan teori mastery learning-nya, percaya bahwa semua siswa dapat mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi jika diberikan waktu dan dukungan yang memadai. Komersialisasi pendidikan yang berbasis pada keuntungan dan persaingan cenderung mengabaikan prinsip ini, menggantinya dengan sistem yang tidak memperhitungkan perbedaan individu.
Alih-alih memberikan akses setara kepada setiap siswa, pendidikan dijual dalam paket-paket elit yang hanya dapat diakses oleh sebagian kecil masyarakat. Ini menggerogoti prinsip pendidikan yang seharusnya berorientasi pada pengembangan semua individu secara optimal, seperti yang diusulkan oleh Bloom.
Involutif: Kemunduran Pendidikan yang Tersembunyi
Gejala megalomania dan komersialisasi pendidikan ini memperlihatkan betapa pendidikan kita sedang mengalami involutif ---berputar merumit kedalam tanpa arah yang jelas. Meski tampak ada pergerakan dengan istilah-istilah baru dan inovasi teknologi, namun pendidikan kita sebenarnya stagnan.Â
Dalam capaian skor Program for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia menunjukkan penurunan skor di semua bidang utama dibandingkan dengan 2018.
Berikut adalah rinciannya:
1. Matematika
Siswa Indonesia memperoleh rata-rata 366 poin, lebih rendah dari rata-rata OECD yang 472 poin. Hanya 18% siswa Indonesia yang mencapai tingkat kecakapan minimal (Level 2), jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 69%. Hampir tidak ada siswa Indonesia yang mencapai Level 5 atau 6, kategori siswa berprestasi tinggi.
2. Membaca
Rata-rata skor siswa Indonesia adalah 359 poin, dibandingkan dengan rata-rata OECD sebesar 476 poin.
3. Sains
Skor rata-rata Indonesia adalah 383 poin, juga di bawah rata-rata OECD yang 485 poin.
Performa siswa Indonesia lebih rendah di semua bidang ini dibandingkan rata-rata internasional, dan terdapat perbedaan signifikan dalam capaian berdasarkan status sosial ekonomi serta dampak penutupan sekolah selama pandemi.
Penggunaan istilah coach yang salah kaprah dan orientasi pendidikan berbasis pasar tidak memberikan solusi substantif atas tantangan pendidikan Indonesia. Sebaliknya, ini memperkuat sistem yang hanya melayani kepentingan segelintir pihak.
Jika kita memandang pendidikan dari perspektif Taksonomi Bloom yang menekankan pengembangan menyeluruh, dan pendidikan kritis ala Freire yang menekankan kesadaran sosial, jelas bahwa arah pendidikan Indonesia harus diperbaiki.
Pendidikan harus kembali kepada esensinya: membentuk individu yang mampu berpikir kritis, memahami kompleksitas dunia, dan berkontribusi bagi kemajuan masyarakat, bukan hanya untuk keuntungan individu atau institusi.
Sindrom megalomania dalam dunia pendidikan Indonesia adalah refleksi dari kegagalan kita memahami hakikat pendidikan sebagai proses yang membebaskan dan memanusiakan.Â
Penggunaan istilah coach yang dangkal dan komersialisasi pendidikan yang semakin masif hanya memperparah kondisi ini. Menghadapi fenomena ini, kita harus kembali kepada gagasan-gagasan mendasar dari tokoh-tokoh pendidikan kritis seperti Ki Hajar Dewantara, Benjamin Bloom dan Paulo Freire, yang menekankan pentingnya pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan membebaskan.
Pendidikan tidak seharusnya menjadi ajang persaingan atau komoditas yang diperjualbelikan. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi ruang untuk mengembangkan potensi setiap individu, menciptakan masyarakat yang adil, dan memajukan peradaban secara holistik.Â
Jika tidak, pendidikan kita akan terus mengalami involutif, Â mundur secara substansial meskipun tampak bergerak maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H