Ki Hajar Dewantara (1922) dalam konsep "Pendidikan untuk Memerdekakan", Â menekankan bahwa pendidikan harus memerdekakan anak-anak dari belenggu ketidaktahuan dan dogma. Ini adalah dasar dari pendidikan kritis, di mana peserta didik didorong untuk berpikir mandiri, kritis, dan tidak hanya menerima pengetahuan tanpa mempertanyakan.
Benjamin Bloom (1956) seorang psikolog pendidikan yang terkenal dengan Taksonomi Bloom, menekankan pentingnya perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses pembelajaran.Â
Dalam pandangan Bloom, yang direvisi oleh Krathwohl (2021) menggaris bawahi bahwa pendidikan harus memfasilitasi perkembangan menyeluruh individu, mulai dari pemahaman dasar hingga evaluasi kritis. Penggunaan istilah coach yang dangkal, tanpa metodologi yang jelas, seringkali bertentangan dengan prinsip ini.Â
Coaching cenderung berfokus pada solusi cepat tanpa proses pemahaman mendalam, yang justru menjadi inti dalam kerangka belajar berbasis tujuan pendidikan yang terstruktur seperti yang dikemukakan oleh Bloom.
Sementara itu, Paulo Freire (1970), dengan pendekatan pendidikan kritis-nya, menekankan pentingnya kesadaran kritis (conscientization)---di mana peserta didik seharusnya tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi juga memahami konteks sosial dan politik dari pengetahuan tersebut. Dalam praktik coaching yang komersial, gagasan Freire ini terpinggirkan.Â
Coach sering kali hanya memberikan motivasi tanpa memupuk kesadaran kritis yang lebih mendalam. Di sinilah letak bahaya dari sindrom megalomania dalam dunia pendidikan non formal: berfokus pada hasil cepat dan pencapaian individual dengan proses instan tanpa memahami konteks dan struktur permasalahan yang melingkupi pendidikan dan bagaimana hal itu berhubungan dengan masyarakat secara lebih luas.
Sindrom Megalomania & Komersialisasi Pendidikan
Adler (1870--1937) seorang tokoh psikologi individual, memandang megalomania sebagai bentuk dari kompleks superioritas, yang merupakan mekanisme pertahanan psikologis untuk menutupi kompleks inferioritas.
Menurut Adler, orang dengan megalomania sering kali merasa tidak berharga di dalam diri mereka, sehingga mereka berusaha membangun citra superior untuk mengompensasi perasaan kurang berdaya.
Sindrom megalomania ini juga terlihat dalam aspek lain yang lebih sistemik, yaitu komersialisasi pendidikan. Banyak lembaga pendidikan menggunakan istilah pusat sebatas gimmick. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar bagi setiap warga negara, kini semakin dipandang sebagai komoditas industri komersial.Â
Biaya pendidikan yang tinggi dan menjamurnya sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan swasta yang menawarkan program premium seperti international class atau bilingual program adalah bukti konkret bahwa pendidikan telah menjadi komoditas. Penggunaan terminologi yang cenderung berlebihan digunakan sebagai gimmick marketing di dunia pendidikan non formal.