Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sindrom Megalomania dalam Dunia Pendidikan Indonesia yang Involutif, Komersialisasi dan Salah Kaprah Penggunaan Terminologi

30 September 2024   23:10 Diperbarui: 1 Oktober 2024   10:44 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (HERYUNANTO/KOMPAS)

Dalam dekade terakhir, pendidikan di Indonesia tampak mengalami fenomena yang mengkhawatirkan: involutif -- di mana ada kesan bahwa sistem pendidikan terus bergerak, tetapi sebenarnya berjalan merumit kedalam dan cenderung mundur.

Salah satu manifestasi dari masalah ini adalah gejala megalomania, atau ambisi besar yang tidak diiringi oleh upaya substantif. Sindrom ini terlihat jelas dalam dua aspek: maraknya penggunaan istilah coach dalam pendidikan non formal, dan komersialisasi pendidikan yang kian masif.

Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, penting mengaitkannya dengan gagasan dari para tokoh pendidikan kritis, seperti Ki Hajar Dewantara, Benjamin Bloom dan Paulo Freire.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah kaprah berarti 'kesalahan yang umum sekali sehingga orang tidak merasakan sebagai kesalahan'. Salah kaprah berawal dari kurangnya pemahaman penutur/penulis terhadap kata yang digunakannya.

Dalam dunia pendidikan yang semakin digempur oleh tren modernisasi, istilah coach kian digunakan secara sembarangan. Pada dasarnya, coach berbeda dengan pendidik formal seperti guru dan dosen yang terikat pada standar akademis dan pedagogis yang jelas.

Namun, istilah ini kini dilekatkan pada individu yang kadang minim kompetensi dalam pendidikan formal, tetapi menawarkan solusi instan melalui seminar motivasi dan kursus cepat.

Ki Hajar Dewantara  menghapus penggunaan gelar sebutan termasuk gelar bangsawan sebagai bentuk simbolis dari kesetaraan di dunia pendidikan dan untuk mencerminkan filosofi inklusivitas di dalam gerakan Taman Siswa.

Ia meleburkan semua status sosial dalam sistem pendidikan yang ia dirikan, di mana tidak ada perbedaan antara bangsawan dan rakyat biasa. Hal ini terjadi pada tahun 1922, ketika ia mendirikan Perguruan Taman Siswa.

Keputusannya untuk melepaskan gelar "bangsawan" menegaskan bahwa semua orang tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau latar belakang memiliki hak yang sama dalam pendidikan.

Di Taman Siswa, guru dan murid dipandang setara, dan hal ini menjadi salah satu fondasi dari pendidikan yang inklusif, di mana akses terhadap ilmu pengetahuan tidak dibatasi oleh kelas atau status sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun