Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK Setop Program Kartu Prakerja, Pura-pura atau Kura-kura?

19 Juni 2020   18:35 Diperbarui: 19 Juni 2020   18:45 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPK minta Program Kartu Prakerja gelombang keempat dihentikan dulu hingga evaluasi dan perbaikannya tuntas. Kata KPK, ada 4 hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah, salah satunya, "metode pelaksanaan program pelatihan berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara."[1]

Andai yang menulis berita itu seorang narablog spesialis politik, judul berita akan cadas. "Baui 4 Gelagat Tak Beres Kartu Prakerja, KPK Minta Pemerintah Hentikan untuk Pemeriksaan."

Saya tidak hendak mengulas perbedaan gaya menulis jurnalis pada straight news, yang memang harus datar tanpa libatkan emosi pribadi, dengan bloger yang memang lebih kental sentuhan personalnya.

Saya hendak mengulas rasa dongkol dan curiga kepada KPK. Kok baru sekarang KPK minta setop dan evaluasi? KPK ini kura-kura atau pura-pura sih?

CNN Indonesia (16/06/2020) memberitakan pernyataan jubir KPK tentang 4 hal kurang beres dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja.

Pertama soal proses pendaftaran calon peserta yang tidak divalidasi dengan nomor induk kependudukan dan peserta dalam whitelist kementerian tidak terdaftar pada laman program Kartu Prakerja.

Kedua, penentuan platform penyedia jasa kursus online Kartu Prakerja tidak memiliki dasar hukum dan tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa; serta berpotensi konflik kepentingan.

Ketiga, banyak konten kursus yang tidak layak jual, baik karena kualitas dan signifikansi materinya, maupun karena materi-materi sejenis tersedia gratis di internet.

Keempat, "metode pelaksanaan program pelatihan berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara."

Saya heran, mengapa baru sekarang, setelah 3 gelombang berjalan, KPK ambil tindakan?

Padahal 4 poin yang disampaikan KPK itu sudah masyarakat bicarakan jauh-jauh hari, sebelum transfer dana gelombang pertama.

Apakah KPK berpura-pura baru membuka mata? Atau KPK memang sudah jadi kura-kura?

Kura-kura maksudnya apakah KPK era baru --kepemimpinan baru dan pembatasan-pembatasan baru di masa UU KPK hasil revisi-- ini memang sudah selamban ini kerjanya?

Soal apa sebab menjad lamban, saya tidak tahu. Apakah karena para pimpinan KPK kini kurang kapasitas? Atau karena model kerja KPK dalam batasan UU hasil revisi membuat lembaga ini lebih lambat dalam berpikir dan bertindak?

Atau apakah mungkin sebabnya seperti prasangka dan kecemasan publik, yaitu relasi individu-individu KPK dengan kelompok-kelompok kepentingan?

Saya tidak akan menduga-duga. Yang jelas, jika soal ini ditanyakan kepada anak-anak STM, sangat mungkin mereka menjawab, "Kami bilang juga apa, Om. Makanya dulu kami ngotot tolak revisi UU KPK."

Seperti saya katakan di atas, poin-poin indikatif problem dalam penyelenggaraan Kartu Prakerja yang disampaikan KPK itu sudah dibicarakan masyarakat jauh-jauh hari. Saya menulis 6 artikel di Kompasiana selama April-Mei yang membahas kekurangan-kekurangan program ini di tataran praktik. Lihat misalnya artikel "Ketika Sri Mulyani Ngotot Kartu Prakerja Subsidi Startup Kursus Online".

Dalam artikel-artikel tersebut, saya memang tidak secara khusus dan tersurat menyoroti dugaan korupsi.

Ketika menulis artikel "Belva Mundur, Tidak Selesaikan Masalah Kartu Prakerja", saya tidak menyangka penetapan mitra pelaksana (platform digital) Kartu Prakerja tanpa melalui pelelangan.

Itu sebabnya saat itu saya bukan menulis soal problem korupsi melainkan aspek etik. Pelibatan perusahaan milik staf khusus presiden dalam pelelangan jasa kursus digital Kartu Prakerja tidak etis sebab membuka peluang kecurangan akibat konflik kepentingan.

"Ada pihak lain yang lebih salah dibandingkan Belva. Pihak ini adalah orang-orang yang mengurus proyek Kartu Prakerja. Seharusnya mereka sudah paham pakemnya, bahwa perusahaan-perusahaan  jasa kursus dan les digital yang punya relasi intim dengan---apalagi bagian dari---kekuasaan seharusnya tidak diundang untuk turut mengajukan penawaran."

Demikian tulis saya saat itu karena sama sekali tak menduga penentuan 7 platfrom dilakukan tanpa proses pelelangan. Baru beberapa hari kemudian saya membaca informasi tentang tidak dilakukannya pelelangan seperti lazimnya pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Baiklah. Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah memungkinkan pemilihan penyedia jasa dilakukan melalui penunjukan langsung. Tetapi penunjukan langsung pun memiliki syarat-syaratnya agar proses dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Saya kira prinsip terpenting dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah bahkan lembaga swasta adalah mendapatkan barang/jasa terbaik dengan harga termurah.

Membeli barang/jasa lebih mahal dengan kualitas lebih buruk adalah kerugian. jika dilakukan dengan sengaja, penyelenggaraan program yang berdampak kerugian negara patut digolongkan tindakan korupsi. Sengaja artinya sudah tahu risiko kerugiannya tetapi tidak mengantisipasi.

Adanya sejumlah kelas kursus kartu Prakerja yang materi-materi sejenisnya tersedia gratis di internet menunjukkan bahwa pemerintah dan rakyat (penerima manfaat) merugi sebab harus membayar barang /jasa yang seharusnya bisa diperoleh dengan nol rupiah.

Bentuk lain ketiadaan standar dalam pemilihan mitra adalah jomplangnya harga antara paket kursus sejenis (tema sama pengelola beda).

Misalnya untuk kursus jurnalistik. Platform milik Stafsus Presiden menawarkannya seharga Rp 220an ribu. Sementara platform lain --yang ketika itu belum jadi mitra program Kartu Prakerja-- memasarkan kursus sejenis hanya dengan Rp 70an ribu. Padahal versi lebih murah ini justru digawangi mantan wartawan senior koran cetak terbesar dan pendiri platform blog keroyokan terbesar.

Saya cek, setelah jadi mitra Kartu Prakerja, kursus jurnalistik Rp 70an ribu itu sudah dijual Rp 240an ribu. Mungkin demi penyesuaian dengan harga kompetitor. Yang jelas pascaprogram Kartu Prakerja harga kursus-kursus online naik.

Proses terbalik, bolehkah dianggap wajar?

Di masa-masa awal dahulu, saat polemik masih segar-segarnya, pemerintah sudah mengakui tidak ada tender-tenderan dalam penentuan mitra. Bahkan penentuan mitra tidak memiliki dasar hukum. Prosesnya pun terbilang sangat cepat dan by-pass perundang-undangan.

Direktur Komunikasi Program Kartu Prakerja Panji Winanteya Ruky mengatakan, diskusi antara pemerintah dan pemilik platform sudah diadakan sebelum Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja dibentuk.

"Saat itu diskusi dipimpin oleh Kemenko (Perekonomian) dan KSP (Kantor Staf Presiden). Manajemen Pelaksana baru dibentuk 17 Maret," kata Panji, dikutip Kompas.com (22/04/2020).

Ini lucu (baca: tidak beres).

Perpres 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja, Pasal 19 ayat 2 mengatur fungsi Manajemen Pelaksana, yaitu pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, teknologi, data, dan infrastruktur; penyelarasan program Pelatihan di kementerian / lembaga; pelaksanaan kemitraan dengan pelaku usaha; pelaksanaan kerja sama dengan Platform Digital; penyediaan informasi pasar kerja; pelaksanaan pengembangan produk Pelatihan; dan pengembangan proses bisnis dan sistem operasi.

Sementara Pasal 19 ayat (4) menyatakan,

"Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pelaksanaan kerja sama Manajemen Pelaksana dengan Platform Digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian."

Jika mengacu pada Perpres 36/2020, rangkaian kegiatan yang benar urutan kronologisnya adalah:

  1. Menko Perekonomian menerbitkan Peraturan Menteri yang mengatur "mekanisme tata kerja Tim Pelaksana dan Manajemen Pelaksana" (ketentuan Pasal 24) dan "kriteria dan tata cara pelaksanaan kerja sama Manajemen Pelaksana dengan Platform Digital" (Ketentuan Pasal 19) ->
  2. Manajemen Pelaksana dibentuk (berdasarkan Peraturan Menko Perekonomian) ->
  3. Manajemen Pelaksana menyelenggarakan fungsinya --termasuk pelaksanaan kerja sama dengan Platform Digital-- berdasarkan Permenko Perekonomian.

Mata rantai ketiga, rangkaian pelaksanaan kerja sama dengan Platform Digital akan mantap jika dilaksanakan dalam urutan transaksi: 1) Manajemen Pelaksana membuat pemetaan calon mitra (list besar); 2) menyeleksi calon mitra yang memenuhi standar kelayakan (assessment yang menghasilkan selective list); 3) melibatkan calon mitra dalam pertemuan membahas syarat-syarat (drafting MoU); dan terakhir 4) menggadakan penandatanganan MoU antara pemerintah dengan calon mitra yang menyangkupi ketentuan-ketentuan dalam MoU.

Dalam kenyataan, rangkaian transaksi peristiwa atau kegiatan terbalik, menjadi:

  1. Kemenko Perekonomian dan Kantor Staf Presiden (KSP) membuat diskusi dengan calon mitra ->
  2. Manajemen Pelaksana dibentuk (17 Maret) ->
  3. MoU dengan 8 platform (20 Maret) ->
  4. Menko Perekonomian menerbitkan Permenko 3/2020 (diundangkan 27 Maret 2020).

Manajemen Pelaksana dibentuk 10 hari mendahului Permenko diundangkan. MoU diadakan 7 hari mendahului Permenko.

Lucu, bukan?

Hemat saya, dalam manajemen proyek, asumsi utama yang harus digunakan adalah hasil yang baik (berkualitas dan akuntabel) hanya diperoleh melalui proses yang benar.

Benar menurut apa? Benar menurut juklak-juknis yang disusun dengan mengacu kepada perundang-perundangan yang mendasarinya.

Bagaimana bisa proses pelibatan mitra dan MoU dijamin bebas korupsi sehingga pada ujungnya menghasilkan barang/jasa terbaik (trade off harga dan kualitas di titik optimum) jika Permenko yang mengaturnya justru terbit kemudian?

Terhadap praktik terbalik seperti ini, seharusnya KPK sudah otomatis berprasangka "berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara."

Jadi yang wajar itu, KPK rekomendasikan moratorium program Kartu Prakerja sebelum penyaluran dana gelombang pertama. Kalau setelah 3 gelombang berjalan baru disuruh setop, kura-kura merangkak dari Tugu Tani ke Monas pun sudah tiba dari kemarin-kemarin.

Cepatan kura-kura donk, tak pakai pura-pura pula.

Tambahan: Salah Ngeles

Pada Maret lalu, kalangan profesional masyarakat sipil menyindir Program Kartu Prakerja dengan cara menyelenggarakan platform kursus tandingan di website Prakerja.org.

Kelas-kelas online di Prakerja.org gratis dan diklaim memiliki kualitas setara kursus-kursus pada platform mitra Kartu Prakerja yang makan APBN.

Menanggapi kehadiran Prakerja.org, Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja (PMO) Denni Puspa Purbasari menggelar konferensi pers virtual.

"Sifat Kartu Prakerja ekosistemnya inklusif. Kalau ada teman-teman yang punya modul lebih bagus untuk dibagikan ke peserta, ditulis harganya Rp 0 atau Rp 1 itu bisa. Jadi tidak perlu bersitegang gratis-tidak gratis dan murah-mahal," kata Denni Puspa Purbasari, dikutip Tempo.co [19/5/2020]

Menurut Denni Puspa, hak memilih pelatihan online, mau yang mahal atau murah, diserahkan kepada masing-masing peserta. Ia beralasan, pemerintah tidak melakukan pengadaan mitra Kartu Prakerja sebab pemerintah mengucurkan anggaran langsung kepada masyarakat.

Penjelasan seperti ini bikin mules.

Argumentasi Mbak Denny Puspa hanya benar jika masyarakat boleh membelanjakan dana Kartu Prakerja yang diterimanya kepada lembaga atau bahkan individu penyedia kursus manapun, tidak dibatasi hanya pada platform tertentu.

Kenyataannya, alokasi Rp 1 juta biaya kursus bukan ditransfer ke rekening penerima melainkan tertanam sebagai deposit pada platform kursus yang ditentukan pemerintah. Dana itu akan terpotong sbesar harga paket kurus yang telah diselesaikan penerima program.

Selain itu, kemunculan platform gratis berkualitas serupa menunjukkan bahwa negara seharusnya bisa menghemat anggaran besar-besaran jika mewadahi para praktisi pendidikan digital dalam proyek bersama.

Contoh pelembagaan pendidikan tersier yang matang adalah seperti yang diakukan Jacinda Arden dan pemerintahan Partai Buruh-nya di Selandia Baru, seperti yang saya bahas dalam "Ketika Sri Mulyani Ngotot Kartu Prakerja Subsidi Startup Kursus Online". Selain lebih menjamin kualitas dan lebih klop kebutuhan industri, biayanya pun lebih murah.

Jadi bukan ugal-ugalan melepaskan program Kartu Prakerja ke mekanisme pasar seperti saat ini.***

Artikel ini di-back up di blog pribadi: Coffee4Soul.club

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun