Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Non Mortuus Kartini

22 April 2018   02:03 Diperbarui: 15 Februari 2020   15:29 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari amp.thisisinsider.com dan dblindonesia.com

Badri ingat, pertama kali mengenal perempuan itu saat menghadiri kelas mata kuliah pilihan Kontroversi Ilmu Sosial. Itu dulu sekali, dua puluhan tahun lampau.

Badri baru menyadari kehadirannya saat tatap muka ketujuh, tepat sebelum ujian tengah semester. Pembahasan hari itu adalah interaksionisme simbolik. Si Gadis mengajukan pertanyaan tentang perbedaan antara Herbert Blumer dan Ralf LaRossa dalam soal asumsi-asumsi dari teori ini. Ketika dosen melemparkan kembali pertanyan ke forum, Badri acungkan jari dan menjelaskan bagaimana kedua pendapat itu sebenarnya tidak berbeda. Badri menarik lebih ke belakang dengan menyampaikan pendapat Herbert Mead.

Selepas kuliah, kebetulan seiring jalan dari gedung FSRD--Badri menuju sunken court, si gadis ke perpustakaan---Badri memberanikan diri berkenalan.

"Hai, baru lihat. Anak mana? Saya Badri"

"Gita. Ah, sudah sejak hari pertama, kok. Aku Astronomi 99."

"Oh. Gue Kimia '98. Kok bisa anak Astro jauh-jauh ambil ke seni rupa?"

"Cari yang asyik untuk genapi SKS. Yang nggak nabrak ya yang ini. Lagipula kuliahnya asyik. Cocok untuk unit kegiatanku."

"O ya? Gita aktif di mana?"

Dan bla bla bla bla bla, percakapan berlanjut ke sana kemari, tentang ini dan itu, dan sebagainya dan seterusnya.

Setelah pertemuan itu, Badri dan Gita sering berbincang, makan bersama di warung-warung tenda di bahu Jalan Ganesha, dan mendiskusikan buku-buku. Mereka juga sering berbaris bersama, jalan kaki dari Jalan Ganesha ke Gedung Sate, dalam sejumlah unjukrasa di masa itu. Menolak Sidang Istimewa MPR; menuntut penghapusan Dwi Fungsi ABRI; menolak UU Penanggulangan Keadaan Bahaya yang ketika itu dicurigai jadi jalan kembali militer ke panggung politik; menolak Orde Baru yang hendak menggulingkan Pemerintahan Gus Dur; menuntut pembubaran Partai Golkar; dan banyak tuntutan perjuangan lain yang mengemuka di masa itu.

Sepanjang pergaulan itu, Badri mengenal Gita sebagai gadis yang cerdas, berpikiran terbuka, dan berjiwa merdeka.

Badri dan Gita terlihat cukup sering berjalan bersama dan bercakap-cakap. Kawan-kawan mereka menyangka keduanya berpacaran. Tetapi tidak begitu. Belum sampai ke sana.

Badri tentu saja mau. Entahlah dengan Gita. Badri baru saja merencanakan mengungkapkan isi hatinya ketika Gita justru mulai jarang terlihat di tempat dan jam-jam yang biasanya.

Ketika itu belum ada telepon genggam. Hanya pager yang terlihat digenggam mahasiswa. Itupun hanya segelintir mahasiswa. Badri dan Gita tidak memilikinya.

Badri dan Gita memang masih berjumpa tetapi dengan intensitas dan frekuensi yang kian renggang. Awalnya Badri berpikir semester baru telah mengubah jadwal-jadwal mereka. Ketika Badri memiliki waktu senggang, Gita masih berada di ruang kelas. Ketika Gita memiliki jam kosong, Badri tenggelam dalam praktikum.

Kemudian kondisi memburuk. Gita sama sekali hilang. Seolah-olah sulur-sulur bougenvile telah menjerat dan membenamkannya ke pilar-pilar beton yang berbaris di beranda gedung-gedung dan koriodor antar-gedung.

Badri mencarinya ke sekretariat unit kegiatan mahasiswa tempat Gita aktif. Tak ada hasil. Gita sudah beberapa bulan tidak muncul, persis sejak perjumpaannya dengan Badri  merenggang. Demikian pula jawaban anak-anak Himastron, Himpunan Mahasiwa Astronomi.

Badri akhirnya menyerah. Posisi Gita pun tergantikan gadis teman seunit kegiatan Badri, Mita, anak Planologi.

Suatu ketika  Mita mengajak Badri makan di kantin kampus. Ini ulang tahun Mita. Saat makan Badri merasakan getaran, seolah dirinya sedang diperhatikan seseorang. Ia menoleh ke arah sumber getaran.

Dari pojok, sepasang mata yang ia kenal memandangnya. Hanya sepasang mata yang terlihat sebab seluruh wajah pemiliknya terkerudungi kain hitam, persis seperti gaya pakaian perempuan era Mesopotamia kuno atau para perempuan elit Mesir di zaman penyembahan Ra, Amun, Osiris, Isis dan para kerabatnya.

Badri ingin sekali menyapa tetapi ia menahan diri demi menghormati Mita. Apalagi Gita juga tampak menyembunyikan hasrat ingin menyapa. Mungkin ia sungkan pada teman makannya. Lelaki di depan Gita itu seorang aktivis dari organisasi mahasiswa relijius yang terkenal reaksioner. Menjadi tahulah Badri jika Gita telah menjadi anggota mereka.

Itu adalah terakhir kali Badri melihat Gita semasa kuliah.

***

Badri menikmati gemerlap lampu dipantulkan laut Pantai Kuta. Di genggamannya, Cuba Mojito telah tiga kali berganti cangkir. Malam ini Hypnotized, bar di lantai 2 Beachwalk itu tidak terlalu ramai.

Tiba-tiba seorang perempuan menarik kursi di depannya. "Grand Mimosa Champagne 4 dan seporsi Garlich Chiken Wings ya," seru perempuan itu kepada pelayan.

Badri belum bisa hilangkan keterkejutan ketika perempuan itu sudah duduk di depannya dan menyapa, "Kamu masih tampak seperti dulu. ... Kenapa? Kamu kaget atau lupa padaku?"

"Kamu ... Gitaaaa?"

"Aahhh, Kamu ingat rupanya? Bagaimana Kamu bisa berada di Kuta? Liburan? Istri dan anakmu di mana?"

"Aku transit. Akan terbang ke pasifik besok pagi. Kamu tinggal di Bali?" Badri sudah kembali menguasai diri.

"Tidak. Aku berlibur. Seorang diri."

"Eh, maaf, bukankah Kamu harusnya berpakaian lebih tertutup. Aku bisa kembali melihat seluruh wajahmu, sama seperti tahun pertama kita berjumpa." Badri teringat bagaimana terakhir kali ia melihat Gita.

"Masih. Kini hanya di lingkungan keluargaku. It's a long story. Santai saja, Brur. Malam kita masih panjang. Akan kuceritakan semua. Kamu tidak buru-buru, kan?"

Badri pasrah.

Gita merogoh tasnya, mengeluarkan dua batang seperti lintingan tembakau. Dari aromanya, Badri tahu apa itu. "Kamu mau?" Ia sodorkan satu pada Badri.

"Ehem ... nggak  lah."

"Owh come on, ini Kuta, Man."

"Nggak. Aku punya long flight besok."

Gita menyimpan kembali sebatang dan menyalakan yang sebatang lagi. Ia pun mulai bercerita.

"Suamiku menikah lagi. Tiga kali. Aku tidak merestuinya. Pada pernikahan yang kedua terpaksa aku restui sebab ia memiliki alasan kuat. Pernikahan kami tidak membuahkan keturunan. Hihihihihihi."

Badri tahu tertawa Gita bukan datang dari hati yang bahagia. Nada bicara dan gestur membisikkan hati yang hancur. Tertawa yang barusan itu hanya reaksi syaraf yang diprovokasi asap yang dihisapnya.

"Tetapi istri kedua pun tak kunjung hamil. Menjadi tahulah diriku jika masalah terletak pada dirinya. Ia menolak dugaan itu, membela diri dengan alasan ilmu kedokteran yang ada adalah ilmu kaum kafir. Maka ia masih pakai alasan mencari keturunan ketika mengambil istri ketiga. Hihihihihihihihi."

"Minta air kemasan dua botol, ya," pinta Badri pada pelayan yang lewat.

"Aku keberatan. Secara tegas menyatakan ketidak-setujuanku. Tetapi ia ngotot dan keluarga besar kami turut mendesakku. Kata mereka jika tanpa restuku, hubungan suamiku dengan perempuan itu akan menjadi zina. Jika suamiku berzina, ia berdosa. Suami berdosa berarti istri pula berdosa. Aku lelah berbantah-bantahan dengan keluarga besar. Maka biarlah kumengalah saja."

"Ehem. Eeee ... aku bisa turut merasakan kegundahanmu, Gita. Aku tak hendak lancang menyarankanmu mengajukan cerai. Mungkin Kamu bisa mengalihkan semua pedih itu dengan menyibukkan diri dalam karir."

"Hualah! Aku sudah berkali-kali minta izin untuk bekerja. Tetapi ia menolak. Ia beralasan gajinya sebagai komisaris BUMN cukup untuk menghidupi semua istri. Kamu tahu, partainya berhasil menanamkan infiltran di hampir semua BUMN. Sebagai petinggi partai, ia berada di BUMN yang basah. Berlimpah proyek pengadaan daging sapi di sana."

"Lalu apa yang kiranya bisa Kamu lakukan untuk mengalihkan perhatian dari ... maaf ... kepahitan hidupmu?"

"Yaaaa ... aku berfoya-foya. Berlibur ... menghabiskan uang. Aku merasa ini caraku balas dendam. Sesering mungkin kulakukan. Ia tampaknya tak peduli lagi aku mau apa dan di mana. Selama aku tetap tampil sebagai istri soleha di hadapan kolega, kawan separtai dan kerabatnya, puaslah dirinya."

"Syukurlah jika telah Kamu temukan penawarnya." Badri enggan memberi nasihat lebih banyak. Sejujurnya ia belum paham mengapa Gita tidak minta cerai saja. Tetapi ia menahan diri bicarakan itu sebab menurutnya tidak pantas itu ia sarankan atau tanyakan.

"Entahlah. Aku tetap saja merasakan kepedihan. Aku telah korbankan segalanya. Usia, kecerdasan, cita-cita, segalanya ... demi pengabdian kepadanya, kepada keyakinan-keyakinannya. Aku merasa tak punya jalan pulang ... tak bisa memulai  dari awal lagi. Hhhhh ...  mungkin hanya kematian yang bisa membebaskanku."

"Buang jauh-jauh pikiranmu dari sana. Itu sama sekali bukan jalan keluar. Aku yakin Kamu akan mengatasi masalah ini. Tetaplah menjadi kuat."

Gita merapatkan posisi duduknya ke arah Badri lalu menyandarkan kepala di bahu lelaki itu.

"Eeeee ... Gita, aku ingin menemanimu lebih lama. Tetapi beberapa jam lagi aku harus terbang. Mungkin sebaiknya aku mengantarmu pulang sekarang. Di mana Kamu menginap?"

"Baiklah. Sayang sekali. Aku di Sheraton. Hanya beberapa langkah dari sini. Sebaiknya kita bertukar nomor telepon. Mungkin jika Kamu transit di sini lagi nanti, kita masih bisa bertemu."

"Baiklah."

Setelah membayar tagihan, Badri menuntun Gita, mengantar perempuan malang itu ke penginapan.

"Kamu yakin nggak mau naik dulu ke kamarku? Aku punya koleksi kopi enak di atas. Yellow Cattura dari Colol, dikirimkan seorang kenalan dari Manggarai Flores." Gita enggan segera melepas pergi kenangan yang baru saja kembali ke dalam hidupnya.

"Jangan Gita. Aku takut terjadi sesuatu. Aku telah beristri-anak."

"Haaah ... lelaki yang baik. Berikan aku sekedar pelukan perpisahan jika begitu."

Keduanya berpelukkan. Badri merasa pelukan itu seperti pelukan dua sahabat yang baru berjumpa lagi setelah perang memporak-porandakan kampung halaman dan memisahkan keduanya bertahun-tahun tanpa kabar. Hanya tinggal keduanya yang selamat. Sebuah pelukan seakan mewakili segala kesedihan dan kerinduan yang hendak dibagi.

***

Pukul 12.30. Badri mendarat di Ngurah Rai. Penerbangan 12 jam yang melelahkan. Setelah melewati konter imigrasi dan mengambil bagasi, ia buru-buru memesan taksi menuju salah satu hotel di Kuta. Ia harus menginap sehari lagi sebelum terbang ke kota asal.

Dalam taksi, Badri mengaktifkan kembali nomor seluler Indonesia. Nada notifikasi berturut-turut terdengar. Banyak sekali pesan yang menunggu diterima selama lebih dari dua pekan ini. Ia membaca satu per satu.

Pesan ketujuh belas datang dari Gita. "Selamat tinggal, Badri. Maaf kita tak sempat bertemu lagi. Aku pergi."

Ah, rupanya Gita telah menyelesaikan liburannya. Semoga ia segera dapat mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaannya.

Badri hendak menyimpan telepon ke tas ketika matanya menabrak lembaran Tribun Bali yang terselip di kantung kursi. Wajah di halaman depan sepertinya ia kenal meski tampak bengkak. Ia meraih koran itu.

"Sudah Tiga Hari, Jenasah Perempuan Korban Bunuh Diri Belum Dijemput Keluarga." Astagaaaaa. Gita!

Menurut berita, Gita meloncat dari tebing setinggi 50 meter di Pantai Balangan, Desa Ungasan, Kuta Selatan. Hingga 3 hari jenasahnya masih berada di ruang mayat Rumah Sakit Sanglah sebab keluarga di Jakarta yang dihubungi pihak rumah sakit mengaku tidak mengenali Gita.

"Pak, kita ubah arah, ya. Kita terus ke Denpasar, ke Rumah Sakit Sanglah."

***

"Apa nama almarhumah yang hendak diukir pada nisan, Pak?" tanya juru makam Setra Bugbug Desa Adat Denpasar.

"Non Mortuss Kartini. Ya, ukirkan itu pada nisannya, Pak."

Jenasah Gita telah dibaringkan di dasar makam. Sebelum makam kembali ditimbun, sebuah upacara sederhana dibuat. Hanya Badri, supir taksi, penggali makam, dan seorang Prejuru Banjar Desa Adat hadir di sana.

Badri memberikan pidato akhir untuk menghormati jenasah.

"Perempuan-perempuan hebat lahir, berjuang, lalu kalah. Mereka dikalahkan tradisi, keluarga, masyarakat,  institusi-institusi kuno, adat dan paham tua. Kartini meninggal empat hari setelah melahirkan bayinya dengan selamat. Gita meninggal tanpa pernah menjadi ibu. Tetapi seperti Kartini pernah berjuang dan menyerah, Gita juga pernah menjadi perempuan mahadirka sebelum akhirnya kalah. Perempuan-perempuan hebat senantiasa dilahirkan sejarah, tetapi sejarah adalah cerita kekalahan mereka dan kemenangan laki-laki. Ini dunia lelaki. Maka sejarah selalu history, bukan herstory. Kartini mati dan terlahir kembali, Kartini abadi. Selamat jalan. Non Mortuss Kartini. Kartini-Kartini abadi."

***

Tilaria Padika

22042018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun