Badri pasrah.
Gita merogoh tasnya, mengeluarkan dua batang seperti lintingan tembakau. Dari aromanya, Badri tahu apa itu. "Kamu mau?" Ia sodorkan satu pada Badri.
"Ehem ... nggak  lah."
"Owh come on, ini Kuta, Man."
"Nggak. Aku punya long flight besok."
Gita menyimpan kembali sebatang dan menyalakan yang sebatang lagi. Ia pun mulai bercerita.
"Suamiku menikah lagi. Tiga kali. Aku tidak merestuinya. Pada pernikahan yang kedua terpaksa aku restui sebab ia memiliki alasan kuat. Pernikahan kami tidak membuahkan keturunan. Hihihihihihi."
Badri tahu tertawa Gita bukan datang dari hati yang bahagia. Nada bicara dan gestur membisikkan hati yang hancur. Tertawa yang barusan itu hanya reaksi syaraf yang diprovokasi asap yang dihisapnya.
"Tetapi istri kedua pun tak kunjung hamil. Menjadi tahulah diriku jika masalah terletak pada dirinya. Ia menolak dugaan itu, membela diri dengan alasan ilmu kedokteran yang ada adalah ilmu kaum kafir. Maka ia masih pakai alasan mencari keturunan ketika mengambil istri ketiga. Hihihihihihihihi."
"Minta air kemasan dua botol, ya," pinta Badri pada pelayan yang lewat.
"Aku keberatan. Secara tegas menyatakan ketidak-setujuanku. Tetapi ia ngotot dan keluarga besar kami turut mendesakku. Kata mereka jika tanpa restuku, hubungan suamiku dengan perempuan itu akan menjadi zina. Jika suamiku berzina, ia berdosa. Suami berdosa berarti istri pula berdosa. Aku lelah berbantah-bantahan dengan keluarga besar. Maka biarlah kumengalah saja."