"Ehem. Eeee ... aku bisa turut merasakan kegundahanmu, Gita. Aku tak hendak lancang menyarankanmu mengajukan cerai. Mungkin Kamu bisa mengalihkan semua pedih itu dengan menyibukkan diri dalam karir."
"Hualah! Aku sudah berkali-kali minta izin untuk bekerja. Tetapi ia menolak. Ia beralasan gajinya sebagai komisaris BUMN cukup untuk menghidupi semua istri. Kamu tahu, partainya berhasil menanamkan infiltran di hampir semua BUMN. Sebagai petinggi partai, ia berada di BUMN yang basah. Berlimpah proyek pengadaan daging sapi di sana."
"Lalu apa yang kiranya bisa Kamu lakukan untuk mengalihkan perhatian dari ... maaf ... kepahitan hidupmu?"
"Yaaaa ... aku berfoya-foya. Berlibur ... menghabiskan uang. Aku merasa ini caraku balas dendam. Sesering mungkin kulakukan. Ia tampaknya tak peduli lagi aku mau apa dan di mana. Selama aku tetap tampil sebagai istri soleha di hadapan kolega, kawan separtai dan kerabatnya, puaslah dirinya."
"Syukurlah jika telah Kamu temukan penawarnya." Badri enggan memberi nasihat lebih banyak. Sejujurnya ia belum paham mengapa Gita tidak minta cerai saja. Tetapi ia menahan diri bicarakan itu sebab menurutnya tidak pantas itu ia sarankan atau tanyakan.
"Entahlah. Aku tetap saja merasakan kepedihan. Aku telah korbankan segalanya. Usia, kecerdasan, cita-cita, segalanya ... demi pengabdian kepadanya, kepada keyakinan-keyakinannya. Aku merasa tak punya jalan pulang ... tak bisa memulai  dari awal lagi. Hhhhh ...  mungkin hanya kematian yang bisa membebaskanku."
"Buang jauh-jauh pikiranmu dari sana. Itu sama sekali bukan jalan keluar. Aku yakin Kamu akan mengatasi masalah ini. Tetaplah menjadi kuat."
Gita merapatkan posisi duduknya ke arah Badri lalu menyandarkan kepala di bahu lelaki itu.
"Eeeee ... Gita, aku ingin menemanimu lebih lama. Tetapi beberapa jam lagi aku harus terbang. Mungkin sebaiknya aku mengantarmu pulang sekarang. Di mana Kamu menginap?"
"Baiklah. Sayang sekali. Aku di Sheraton. Hanya beberapa langkah dari sini. Sebaiknya kita bertukar nomor telepon. Mungkin jika Kamu transit di sini lagi nanti, kita masih bisa bertemu."
"Baiklah."