Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lalong Kades

1 Februari 2017   08:09 Diperbarui: 19 April 2020   09:58 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Kobus Demenuang, terpilih ketiga kali sebagai Kepala Desa Keretapi Blagu sudah harga mati. Ini target strategis, mimpi yang sudah ditulis besar-besar pada mandala diri yang lebar terpampang pada ruang keluarga.

Tidak tanggung-tanggung, seorang pelukis dari Bali didatangkan untuk memastikan papan visi itu terukir indah pada kanvas seukuran baligho calon anggota DPR.

Setiap malam, sebelum santap bersama, Pak Kobus akan memastikan seluruh anggota keluarga memandang mandala diri itu, agar terpatri di dalam batin dan pikiran istri, anak, kakak, adik, sepupu, paman, dan tiap-tiap sanak kerabat yang tinggal di rumahnya. Hal ini diulang kembali sebelum keluarga saleh itu bersembahyang bersama. Tiap-tiap malam.

Kebiasaan ini penting, agar setiap orang dalam keluarga memahami betul ke mana kita sedang menuju. Jika semua satu pemahaman akan tujuan, gerak langkah akan harmonis, meski tiap-tiap orang berimprovisasi,” penjelasan Pak Kobus kepada wartawan koran kecamatan.

“Tetapi bukankah Bapak telah memiliki segalanya?
Bisnis Bapak berkembang pesat selama dua periode menjabat kades. Dalam hitungan kami, 80 persen modal seluruh BUMDes di Keretapi Blagu berada dalam penguasaan pribadi Bapak. Hanya 15 persen milik pemerintah desa, dan 5 persen sisanya yang dikuasai publik desa.
Lagi pula perdes yang dibuat pada masa pemerintahan Bapak sendiri yang membatasi masa jabatan kades hanya boleh dua periode.”

Sang wartawan mencecar dengan pertanyaan yang seharusnya membuat Pak Kobus mengusirnya.

Tetapi Pak Kobus bukan politisi kacangan. Ia terpelajar.

Sebelum menjadi Kades, Pak Kobus adalah pekerja sosial pada sebuah organisasi nirlaba. Berkat politik balas budi negeri-negeri Eropa serta kepentingan mereka mendapatkan para pekerja terdidik dan orang-orang berjiwa entrepreneur di negeri sasaran pasar dan sumber bahan baku serta tenaga kerja berlimpah ini, Pak Kobus mendapatkan kesempatan studi ke luar negeri.

Tak heran jika dengan hati dan kepala dingin, serta senyum tergurat pada bibir tebal di bawah sebaris kumis yang juga tebal, jawabannya membuat sang wartawan mati kutu.

Anda salah mengira saya menjadi kades untuk menyokong kepentingan bisnis saya. Itu pandangan determinis ekonomi, reduksioner berbasis konflik kelas, seolah-olah orang kaya berpolitik hanya demi kepentingan melindungi bisnisnya.

Anda harus mencampur sedikit eksistensialisme, agar ngeh jika tiap-tiap individu memiliki motivasi yang khas, memiliki ruang untuk mengambil tindakan yang unik, yang tidak semata-mata ditentukan posisi sosialnya. Dalam hal ini, saya sebagai bagian dari kaum pemilik modal, bahkan yang terbesar di desa ini, tidak harus berpikir dan bertindak selayaknya kaum pemilik modal umumnya.”

Sang wartawan manggut-manggut. Ia tak benar-benar paham apa yang Pak Kobus sampaikan.

Selama menjadi wartawan, ia hanya dibekali pesan moral agar tampil kritis, yang ia terjemahkan sebagai banyak bertanya dengan nada menggugat.

Lagi pula tugas dari pemred adalah sekadar mewawancara dan cepat-cepat menulis profil sang bakal calon petahana, lalu menagih ‘uang terima kasih’ dari si narasumber segera setelah wawancara itu terbit.

Menangkap kebingungan lawan bicara, Pak Kobus melanjutkan.

Ibarat musik dan tari. Hidup itu bukan seperti tarian tradisional nenek moyang kita, yang sudah pakem dengan aturan-aturannya. Hidup itu lebih menyerupai berjoget di nightclub. Orang-orang bergerak seturut beat, tetapi tetap bebas memilih gaya… tapi ah, sudahlah! Adik tak perlu jadi terlalu paham.”

“Baik, Pak.” Si wartawan menarik napas lega.

Soal perdes batas periode jabatan Kades itu betul. Tetapi hukum harus disesuaikan dengan kondisi. Anda jangan ikut tertipu dengan ilusi law is supreme. Belum pernah ada itu. Hukum dibuat untuk memastikan order. Order itu dinamis sifatnya, berubah seturut kepentingan orang-orang yang berinteraksi di dalamnya.”

Pak Kobus berjeda sebentar. Ia menatap wajah si wartawan, sekedar memastikan apakah pria di depannya paham apa yang sedang ia sampaikan.

Tentu bukan kepentingan semua orang, karena pada dasarnya kepentingan orang-orang itu berbeda, bahkan bertentangan.

Nah order dibutuhkan agar perbedaan dan pertentangan itu tidak menjadi chaos. Karena itu dibutuhkan hukum, untuk menertibkan. Pertarungan antara kepentingan itu diberikan ruang, itu lah politik. Segera setelah salah satu pihak menang, memerintah, pihak itulah yang berhak memastikan order.

Jadi, hukum memang mengabdi pada kekuasaan. Bahkan pada masa primitif dulu, hanya para tetua, lelaki-lelaki utama, yang berembuk untuk menetapkan peraturan publik. Jika mufakat tak tercapai, jalan keluarnya tarung, perang.”

Jeda lagi. Pak Kobus membiarkan si Wartawan menyelesaikan mencatat, mengejar kata-katanya.

Pak Kobus memajukan posisi duduknya, menatap lekat-lekat pada biji mata lawan bicaranya, lalu bicara lebih lambat  dengan intonasi yang memberi tekanan pada setiap kata yang ia anggap penting.

Maka sebagai pihak yang mengemban amanat rakyat, sebagai kades, sebagai representasi utama dari kelompok yang menang di desa ini, saya berhak untuk menyesuaikan hukum yang berlaku. Sekarang sedang digodok perdes baru, dan akan segera saya informasikan pada Adik jika sudah ditetapkan nanti.”

Sang wartawan tak sempat mencatat seluruh penjelasan Pak Kobus. Beruntung telepon genggam yang ia pakai sebagai alat rekam baru kehabisan baterai setelah teguk terakhir kopinya.

Ia buru-buru pamit, berjanji akan segera mengantar edisi yang memuat profil dan wawancara Pak Kobus segera setelah terbit. Tak lupa, ia ulangi lagi pesan pemred agar Pak Kobus menyiapkan tanda terima kasih.

Sepergi si wartawan, Pak Kobus merenungkan kembali apa yang telah ia sampaikan.

Benar bahwa tak ada niat menguntungkan bisnisnya dengan mempertahankan jabatan kades. Baginya, kemajuan bisnis adalah konsekuensi dari kekuasaannya, bukan tujuan.

Pak Kobus sadar penuh, satu-satunya motivasi untuk kembali berkuasa adalah mengabdi kepada rakyat desa. Tetapi rakyat bukan himpunan tunggal. Rakyat adalah interaksi dari kelompok-kelompok, yang kadang komponen-komponenya ada yang beririsisan, ada pula yang sama sekali terlepas pisah, bahkan berbenturan.

Karena rakyat bukan suatu himpunan tunggal, adalah dongeng para filsuf semata tentang pemerintahan yang bisa mewadahi kepentingan seluruh rakyat. Para filsuf itu berseru tentang apa yang seharusnya, das sollen, normatif. Karena seruan itu sering kali datang dari dunia idealis abstrak mereka, banyak yang tak pernah dan tak akan mungkin mewujud konkrit dalam dunia nyata, menjadi das sein.

Contohnya awal tahun lalu, waktu Pak Obet dan kelompokya, ratusan petani penggarap berunjukrasa ke balai desa dan nyaris bikin huru-hara.

Para penggarap itu menuntut agar Ia mengeluarkan Perkades tentang sistem paron lahan.

Poin tuntutan mereka tiga butir saja.

Satu, tuan tanah wajib memberikan kesempatan kepada petani penggarap yang telah mengerjakan lahan selama lebih dari 30 tahun untuk membeli tanah garapannya. Dua, harga jual tanah dibatasi dalam nilai yang wajar agar terjangkau para penggarap. Dan tiga, agar sistem bagi hasil 2 banding 1, lebih besar kepada penggarap, bukan separuh-separuh seperti yang selama ini berlaku di Desa Keretapi Blagu ini.

Dalam hati kecilnya, Pak Kobus dapat memahami tuntutan para penggarap.

Bagaimana pun juga ia keturunan penggarap. Sebelum Pak Kobus menjadi Kades, ayah dan ibunya juga pengarap, anggota kelompok Pak Obet. Ia tahu betul, betapa pahit banting tulang puluhan tahun hanya untuk membuat para tuan tanah kian kaya raya.

Tetapi Pak Kobus tidak bisa begitu saja memenuhi tuntutan penggarap. Kekuasaannya memiliki keterbatasan. Yang pertama, ada hukum suci kehidupan sosial yang tidak boleh dilanggar, yaitu hak milik pribadi dan tata-tertib pasar. Ia harus menghargai hak para tuan tanah atas ribuan hektar lahan yang mereka warisi dari nenek moyang.

Bagi Pak Kobus, para tuan tanah tidak bisa dipersalahkan atas keberuntungan itu.

Bukan kehendak para tuan tanah jika nenek moyang mereka menjadi orang-orang pertama yang datang ke wilayah Keretapi Blagu dan mengklaim penguasan atas sejauh mata memandang hamparan lahan.

Karena berhak atas kepemilikan pribadi itu, para tuan tanah memiliki wewenang penuh atas peruntukan lahan dan menetapkan harga jual atas lahan tersebut. Jika mereka ingin menjualnya, dan harga yang diberikan para penggarap cocok, bolehlah keluarga penggarap menikmati memiliki lahan sendiri. Jika tak, siapa dapat memaksa?

Itu lah hukum pasar, yang menurut Pak Kobus diterima sebagian terbesar umat manusia saat ini. Melanggarnya berarti otoriter dan mengacaukan sistem yang ajek.

Kedua, ini bukan era feudal, Pak Kobus bukan raja dengan kekuasaan tunggal. Ia cuma kepala pemerintahan. Di sampingnya berdiri kekuasaan penyeimbang, BPD, sebuah dewan yang selalu mengontrol kebijakannya.

Pada prinsipnya, produk kekuasaan yang sampai kepada rakyat desa, berupa kebijakan-kebijakan dan peraturan adalah buah dari pertarungan dan kompromi di antara dirinya dan tiap-tiap anggota BPD.

Sayangnya anggota BPD ini sebagian besar adalah para tuan tanah. Mereka pasti akan menolak usulan Pak Kobus untuk mengikuti tuntutan para petani.

Berbahaya jika Pak Kobus bersikeras.  BPD bisa membalasnya dengan lebih menyakitkan. Mereka bisa saja mendesak peraturan yang membatasi porsi kepemilikan saham individu atas BUMDes.

Pak Kobus harus menghormati konsensus tak tertulis antara dirinya dengan para anggota BPD. Mereka telah pura-pura tutup mata terhadap beberapa ketidakadilan kecil yang mungkin ia lakukan, maka sebaiknya demikian pula ia terhadap mereka.

Menjalankan fungsinya sebagai alat pereda konflik, kepada para petani itu Pak Kobus tawarkan jalan keluar. Ia akan alokasikan sebagian dana desa agar dapat dimanfaatkan sebagai pinjaman berbunga lunak oleh para penggarap guna membeli lahan dari para tuan tanah. Tentu saja jika BPD menyetujui kebijakan ini, dan ia yakin mereka menyetujuinya karena dengan itu dana desa bukan disia-siakan, dan para tuan tanah boleh menetapkan harga tanah seturut kewarasan mereka.

Para petani, yang tak terbiasa menimbang jangka panjang senang hati menerima solusi Pak Kobus. Dengan itu, Pak Kobus merasa ia telah membuktikan kekuasannya sebagai bukan perpanjangan tangan kaum elit desa. Inilah yang menurutnya bukti otonomi relatif negara yang ia terapkan. Dengan begitu, bolehlah ia mengklaim kekuasaannya sesekali bisa netral, berdiri tanpa berpihak di atas pertarungan kelompok-kelompok sosial di desanya.

“Papa belum mandi? Kita akan melayat ke rumah Pak Agus lho.” Suara Ester, istri terakhirnya membuyarkan permenungan Pak Kobus.

Pak Agus siapa, Mah? Kenapa dia?”

“Lho, Papa ini bagaimana? Pak Agus sepupu jauhmu, yang di Dusun I itu, kan pagi tadi orang kabari jika anaknya meninggal karena kecelakaan. Hayo, kamu lupa, ya?”

Oh iya, Mah. Waduh, tetapi Pak Marten yang kepala sekolah itu mengundang kita syukuran kelulusan cucunya dari Taman Kanak-Kanak, Mah. Minta saja seseorang antarkan uang duka ke rumah Agus, Mah.”

“Ini kedukaan, lho Pah. Apa kata keluarga kalau kamu tak hadir?”

Justru karena keluarga, Pak Agus bisa paham, dan harus paham kalau papa tak hadir. Sementara Pak Marten bukan keluarga. Bagaimana jika karena ketidakhadiran papa, Pak Marten arahkan dukungan keluarga dan pengikutnya ke calon kades lain, Mah? Bisa-bisa kalah papa nanti. Pak Marten itu orang berpengaruh.”

“Begini saja, Papah ke tempat Pak Marten. Biar mamah saja yang melayat. Setuju, ya. Mamah mandi dulu. Sini! mamah kecup dada bidang Papah.” Sang istri pun berlalu.

Sikap ini yang Pak Kobus paling suka dari Ester, istri terakhirnya. Ester selalu bisa menemukan jalan keluar. Perempuan itu bukan saja muda, terpaut 25 tahun darinya, tetapi juga cerdas dan tegas. Tak salah jika ia anak kades pendahulu.

Ester baru Pak Kobus nikahi selama7 tahun, selepas kematian istri kedua.

Ester sanggup membuat Pak Kobus tidak secuil pun berpikir terlibat sex chatting dengan janda cantik. Meski dulu, sebelum menikahi Ester, kerab sekali ia berkata-kata, "sayaaaang...basah....masukin...foto donk" dan kata-kata sejenis itu dengan janda-janda cantik.

Setelah sang istri berlalu, Pak Kobus kembali merenung.

Karena rakyat itu pada dasarnya terbelah menurut kelompok-kelompok. Yang kaya dan miskin, yang tuan tanah dan penggarap, yang laki-laki dan perempuan, yang tua dan muda, dan lain-lain, maka Pak Kobus sadar, ia harus memilih keberpihakan, pada hanya beberapa pihak.

Tentu saja ia pilih barisan keluarga sendiri, yang anggotanya mencapai seperlima dari total penduduk dewasa di desa itu. Selain karena hubungan keluarga, mereka pula pendukung utamanya sampai bisa memenangkan jabatan kades selama dua periode lalu.

Dalam memberikan keberpihakan kepada keluarga, bukan berarti Pak Kobus terlalu telanjang menunjukan sikap pilih kasihnya. Tidak! Ia sendiri pun sangat menentang perlakukan pandang bulu yang kasat mata.

Pak Kobus cerdik dalam berpihak. Sebut saja beberapa contoh.

Bersama ipar yang keturunan Tionghoa, John Haratseng, ia berkongsi untuk mendirikan toko saprotan di ibu kota kecamatan. Dalam menyusun anggaran desa, ia menangkan program pengadaan sarana produksi pertanian yang tersedia di toko si ipar.

Ia tidak korup, tak makan duit. Saprotan benar-benar dibutuhkan dan dibagikan kepada kelompok-kelompok tani. Bahwa kebetulan barang yang dibutuhkan hanya tersedia pada toko si ipar, itu karena kelihaian ia dan si ipar membaca peluang usaha. Salah sendiri orang lain tidak membuka toko saprotan selengkap kepunyaannya.

Adik bungsunya ia belikan lahan dekat sungai di desa tetangga. Si adik diminta membudidayakan lele, dan mempelajari cara pembenihannya. Maka ketika para elit desa bisa diyakinkan bahwa agar sejahtera rakyat Desa Keretapi Blagu harus didorong dan dibiayai berternak lele, sudah alamiah jika sang adik yang memenangkan lelang proyek pengadaan benih, pakan, sekaligus pelatihan bagi petani.

Pak Kobus juga membiayai pendirian lembaga konsultan dan pelatihan yang dipimpin kemenakan tertua, dan mempekerjakan anak-anak keluarga rapat yang baru saja menyelesaikan kuliah. Dengan cara itu, dana dari program-program pemberdayaan berupa pelatihan-pelatihan tak perlu lari ke lain pihak.

Semua itu Pak Kobus lakukan bukan sebagai politik transaksional, bukan balas jasa pada keluarga. Ini adalah pemenuhan janjinya pada mendiang kakek, bahwa kelak ia akan mengangkat harkat dan martabat keluarga, dari semula hanya petani penggarap yang datang mengadu nasip dari pulau seberang, kini menjadi keluarga besar yang sungguh terhormat.

Untuk apa yang ia lakukan, Pak Kobus sangat setuju dengan ucapakan Kraeng Beni sekretaris desa, seorang PNS yang berasal dari Flores. Pak Beni sering menyanjungnya dengan bahasa asal Pak Beni, “Ite kanang lalong Keretapi Blagu.*” Ia bukan saja suka bunyi kalimat itu, tetapi juga mencintai artinya: Kobus Demenuang satu-satunya ayam jantan di Desa Keretapi Blagu.

Hei nenek moyang asal-muasal trah Demenuang, dengarkan itu, kita bukan lagi gerombolan anak ayam yang menciap-ciap memohon belas kasihan para tuan tanah. Kini kita-lah para tuan tanah, tentu saja tuan tanah modern, yang lahannya adalah pabrik-pabrik dan aneka jenis usaha. Kita adalah keluarga ayam jantan, dan lihat dengan seksama keturuan kalian ini, Kobus Demenuang, satu-satunya ayam jantan paling gagah di desa ini. Aku kanang lalong!*”

*Ite/Aku kanang lalong (Manggarai, Flores) : Tuanlah/Akulah satu-satunya ayam jago

***

Published pertama kali di majalah komunitas sastra di Maumere

Tilaria Padika
Timor, November 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun