“Jadi tidak ada hubungannya dengan para pahlawan? Mengapa tidak digantikan saja dengan patung pahlawan?”
“Ada yang pernah usulkan itu. Tetapi riskan, Mas. Soalnya patung ini simbol adat-istiadat salah satu suku di sini. Jadi ya biarkan saja.”
“Begitu ya. Lalu mengapa Adik yang menyebar kembang melati di sini? Adik anggota semacam perkumpulan peminat sejarah atau apa begitu?”
“Ah, tidak. Ini wasiat almarhum ayah. Kakek saya salah satu yang tewas di sini. Selain demi Kakek, ini cara mengingat jasa para pahlawan. Kata ayah, zaman sekarang negeri ini terjajah di lapangan ekonomi karena kurangnya penghargaan atas prinsip-prinsip kemerdekaan dan kedaulatan yang diperjuangkan orang-orang dahulu.”
Ah, kata-kata Kakek pemarah di dalam mimpi kembali terngiang-ngiang.
“Saya pamit dulu, Mas. Sudah selesai. Permisi.” Perempuan muda itu berlalu.
Beta tertegun, menatap lama pada Kerbau-kerbau beton-tembaga hitam itu. Lamat-lamat di dalam ingatan, lirih puisi terucap:
“Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas
Hari ini tumbuh dari masamu
Tangan kami yang meneruskan
Kerja agung jauh hidupmu
Kami tancapkan kata mulia
Hidup penuh harapan
Suluh dinyalakan dalam malammu
Kami yang meneruskan sebagai pelanjut”
Demikian tertoreh pada makam Ali Archam, pemikir dan pejuang kemerdekaan yang dibuang Belanda di Boven Digul pada 1924 dan meninggal di sana pada1933.
***
Tilaria Padika
Timor, 22/01/2017
Baca cerpen lain: - KEAJAIBAN - Yang OBJEKTIF dan yang subjektif
Lihat juga: PUISIPadika | CERPEN Padika | CATATAN Padika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H