“Pagi, Mas. Jalan-jalan pagi, Mas?” Seorang perempuan muda menyapa.
“Eh, iya Dik. Jalan-jalan juga? Apa itu kembang Melati?” Beta menatap helaian bunga-bunga di tangannya.
“Iya, Mas. Mau saya taburi di sini. Sudah kebiasaan setiap tanggal segini.” Ia menjelaskan tanpa beta minta.
“Begitu ya? Maaf, apa Adik semacam penganut aliran kepercayaan yang memuja Dewa Kerbau?”
Ia tersenyum. “Bukan, Mas, bukan. Pertama ini bukan Kebo, ini saudaranya. Kedua, ini kembang Melati untuk mengenang kusuma bangsa.”
“Ah, jadi patung ini lambang para pahlawan?” Beta tiba-tiba teringat mimpi-mimpi itu.
“Bukan, Mas. Di sini dulu gugur pemuda-pemuda di dalam pertempuran melawan penjajah. Banyak orang. Mereka mempertahankan satu-satunya senapan mesin di sini, memuntahkan peluru untuk menghalau pasukan musuh yang bergerak menguasai kota. Satu tewas, yang lain gantikan, begitu seterusnya hingga bergelimpangan tubuh-tubuh pejuang di sini.”
Saya terhenyak. Wajah lelaki tua di dalam mimpi membayang dalam ingatan. “Lalu patung ini?”
“Hmmm, sepertinya tidak ada hubungannya, Mas. Patung ini dibuat 26 tahun lampau oleh seorang seniman Bali atas order pemerintah.”
“Mengapa Kerbau?”
Ia tersenyum lagi. “Bukan Kerbau, Mas. Menurut cerita ayah, patung ini perlambang kemakmuran, simbol bangsa ini akan lepas-landas, gembar-gembor pemerintah saat itu.”