Mohon tunggu...
Nur Fatikhah
Nur Fatikhah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mengidentifikasikan Unsur Interinsik Cerpen “Pilihan Terindah”

18 Oktober 2015   13:09 Diperbarui: 18 Oktober 2015   14:59 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

Hari ini hujan masih menyapa atap, menyisakan lantunan tembang rahmat Tuhan. Dinginnya hembusan angin membentur dinding-dinding rumah yang tertata rapi di kompleks pemumikan warga kota ini. Sementara itu, kodok yang bermain di selokan menyungging senyum, mendendangkan lagu gembira.

Sementara itu, di rumah yang luas dan megah itu, terasa lengang dan sunyi, seolah tak berpenghuni. Namun, di sudut ruangan pada sebuah kamar, masih terdengar percakapan pasangan suami-istri. Nampaknya terlibat pembicaraan yang serius. Apa gerangan yang mereka bicarakan? Adakah masalah yang menghimpit rumah tangga mereka?

“Linda istriku,” kata Galih Pratama sambil memeluk istrinya dari belakang.

“Ada apa Mas,” sahut Linda lembut.

Galih kemudian beralih menuju bibir ranjang dan mengajak istrinya duduk bersebelahan, sambil tangan mereka tetap bertaut. Galih mendesah seolah ada persoalan berat yang menghimpit dadanya yang ingin diutarakan pada istrinya malam itu.

“Lin, masih ingat gak kamu, ketika aku melamarmu dulu?” tanya Galih.

“Tentu saja Mas aku masih ingat,” sahut Linda. ”Memangnya ada apa Mas bertanya begitu?”

“Ya, tidak apa-apa, aku merasa sangat beruntung mendapatkanmu, aku yang miskin dan belum punya pekerjaan tetap, berani-beraninya melamar anak gadis orang.” Galih, belum bisa mengutarakan maksud hati yang sebenarnya, malah itu yang dia ucapkan.

“Ah, Mas, kita memang sudah jodoh, cinta tidak memandang kaya dan miskin, cinta itu suci, ia datang dan pergi tak terduga Mas,” sahut Linda manja.

“Itulah sebabnya aku sangat senang dan bersyukur mendapatkanmu, kamu orangnya pengertian, bisa menerima aku apa adanya. Tapi...,” Galih tidak melanjutkan kata-katanya, ia hanya mendesah, menarik napas dalam-dalam.

“Tapi, apa Mas?” sergah Linda, sambil menyelami perasaan suaminya. Linda mulai merasakan ada suatu beban yang hendak disampaikan suaminya, apakah ada kaitannya dengan rumah tangganya akhir-akhir ini?

“Begini Lin...,” Galih menarik napas. “Aku bahagia hidup bersamamu, dulu kita hidup apa adanya, kini alhamdulillah kita sudah mapan, namun ada sesuatu yang terasa kurang.”

“Mas, aku bisa merasakan kegundahanmu. Aku juga merasakan hal yang sama. Karena selama sembilan tahun berumah tangga, kita belum mendapatkan keturunan. Lalu bagaimana lagi, ini mungkin suratan buat kita Mas, kita ambil hikmahnya saja Mas,” ucap Linda mantap.

Linda sudah bisa menebak arah pembicaraan suaminya, pasti soal momongan. Ya, walau mereka sudah berikhtiar kemana-mana, namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan.

“Lin...! Gimana kalau kita tempuh cara lain, soalnya hampir semua cara sudah kita tempuh, namun belum berhasil?”

“Maksud Mas, cara lain bagaimana? Mengadopsi anak?”

“Bukan, bukan itu maksudnya!”

“Lalu?”

“Maksudku begini...,” Galih mengubah posisi duduknya menghadap wajah istrinya. “Aku kan maunya kalau dikarunia anak, ya, harus dari darah dagingku sendiri.” Galih mempertegas keinginannya.

“Jadi, maksud Mas apa?” Linda sedikit cemas. Ia coba menyelami pikiran suaminya lewat tatapan matanya.

Galih menarik napas dalam-dalam, seolah mencari kekuatan untuk bisa mengatakan sesuatu yang teramat berat, “Lin, maafkan aku, kalau apa yang akan kukatakan ini, menyakiti hatimu!”

“Mas, katakanlah! Aku siap menerima hal yang terburuk sekalipun.”

Linda menggenggam jemari suaminya lebih erat. Apa yang ia katakan itu bertolak belakang dengan hatinya. Sebenarnya itu hanya ungkapan bibirnya saja, karena bagaimanapun perasaan wanita lebih halus, sehingga ia mampu menangkap ketidaknyamanan sikap suaminya.

“Lin, Bagaimana kalau aku menikah lagi?” suara Galih begitu berat dan lirih.

Kata-kata Galih ini bagi Linda seolah petir yang menyambar dadanya. Dengan sekejap awan hitam datang menggulung, disertai badai dan hujan lebat, sehingga menumbangkan pohon-pohon tua yang sudah lapuk.

Linda terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan suaminya. Kekhawatiran yang selama ini selalu menghantui pikirannya, kini sudah di ambang mata. Ia sadar dan tahu betul, karena berkaca pada pengalaman orang lain bahwa banyak rumah tangga hancur lantaran masalah momongan. Apakah hal yang sama akan terjadi pada rumah tangganya?

Linda tertunduk, berurai air mata. hancur hatinya berkeping-keping mendengar ucapan suaminya itu. Walau ia tahu dan tidak menyangkal bahwa agama tidak melarang laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Namun, hati wanita mana yang tidak remuk mendengar kata-kata seperti itu. Andai saja, Linda tidak memiliki kelainan pada rahimnya, mungkin ia sudah mengamuk saat itu juga.

Namun, Ia tetap tegar, sambil terisak ia mengungkapkan perasaannya, “Mas...aku sadar, aku memang memiliki kekurangan, tapi sakit hati ini Mas mendengar kamu berkata seperti itu. Mas sudah lupa ketika kita sama-sama susah dulu? Waktu itu kita berjanji akan tetap saling mencintai dan saling mengerti dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kini setelah kita mapan, Mas coba mengkhianati janji setia kita?”

Galih menunduk, tak berani menatap mata istrinya yang sembab. Ia sadar dengan apa yang dikatakan istrinya. Tak sepantasnya ia berkata seperti itu pada istri yang selama ini dengan setia mendampingi dirinya, baik dalam keadaan senang maupun susah. Namun, justru dengan mengatakan seperti itu ia menganggap apa yang ia lakukan adalah bagian dari rasa kesetiaannya. Andai saja ia menurutkan egonya, mungkin ia akan menikah sembunyi-sembunyi, tetapi itu tidak ia lakukan karena menurutnya menikah sembunyi-sembunyi justru merupakan pengkhianatan.

“Lin, aku bukan bermaksud mengkhianati janji setia kita dulu!” ungkap Galih dengan suara bergetar. Rupanya sejak istrinya mengingatkan janji setia mereka, ia pun tak mampu membendung air matanya.

“Lalu, apa maksud Mas mengatakan hal itu, apa memang Mas sudah memiliki calon pengganti diriku? Sudah, sana pergi, pergi...! Temui calon istrimu itu dan ceraikan aku sekarang juga!”

Setelah berkata seperti itu Linda menghempaskan tubuhnya ke ranjang membelakangi suaminya. Air mata dan isak tangis Linda semakin memuncak. Api cemburu yang redup lantaran sadar kekurangan dirinya, rupanya tak mampu dipadamkannya. Ya, wanita mana yang tidak cemburu? Wanita mana yang tak terpantik emosinya mendengar suaminya pengin kawin lagi?

Melihat keadaan seperti itu, Galih coba membujuk istrinya dan coba menenangkannya dengan mendekapnya dari belakang, namun ditepis oleh istrinya. Galih tetap berusaha memperbaiki keadaan. Ia coba sekali lagi menyentuh bahu istrinya.

“Lin, maafkan mas sudah menyakiti hatimu dengan perkataanku tadi. Mas tidak bermaksud mengkhianati janji setia kita dulu. Aku masih ingat, dan aku akan tetap mencintaimu sampai kapan pun. Maafkan aku ya!” ucap Galih lirih.

Linda membalikkan punggungnya menghadap suaminya. Isak tangisnya mulai mereda. Galih menghapus sisa air mata istrinya dengan ibu jarinya, sambil berkata, ”Sekali lagi maafkan aku, aku menyesal berkata seperti itu. Sebenarnya tidak ada niat sedikit pun untuk menduakanmu. Memang benar aku menginginkan anak dari darah dagingku sendiri, bukan dari rahim orang lain, tapi dari rahimmu sendiri. Tadi cuma bercanda kok, gitu aja diambil hati.”

Linda duduk dan menatap suaminya,“Kalau tidak diambil hati, pastinya Mas akan menurutkan kata-kata Mas sendiri. Enak aja, jelas aku tidak setuju Mas.” Linda masih terlihat ngambek.

“Lin, asal kamu tahu, aku berkata seperti itu justru menunjukkan kesetiaanku padamu. Aku tahu, sangat jarang seorang istri mengizinkan suaminya kawin lagi walau dengan alasan apa pun. Makanya kalau aku tidak setia, mungkin sudah sejak dulu aku menikah dengan wanita lain secara diam-diam. Tapi, sudahlah kita lupakan saja kata-kata mas itu. sampai kapan pun aku tetap mencintaimu dan tak mungkin mengkhianati janji kita. Lin, sekali lagi maafkan mas ya!”

Linda memeluk suaminya dan berkata,” Ya Mas, Mas sudah saya maafkan.”

”Alhamdulillah, aku janji tidak akan pernah berkata seperti itu lagi,” pungkas Galih.

Dua insan yang belum mendapatkan amanah anak itu larut dalam pelukan malam. Perlahan Galih melepas pelukannya, lalu berkata lirih, “Lin, sebenarnya ada satu cara lagi yang belum pernah kita coba.”

“Apa itu Mas?” Tanya Linda antusias.

“Selama ini kita terlalu mengandalkan ikhtiar kita kepada dokter, sehingga melupakan Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemberi.”

“Lalu bagaimana yang harus kita lakukan?”

“Begini, selama ini kita selalu konsoltasi sama dokter. Namun, dua minggu yang lalu saya coba konsoltasi sama Ustadz Jamil mengenai masalah kita. Menurut beliau, kita jangan sampai putus asa, hendaknya kita terus meminta, berdoa pada Allah, serahkan semuanya pada Allah, semua mudah saja bagi Allah. Waktu itu beliau menyetir ayat yang ada pada Surah Maryam, tentang cerita Nabi Zakaria yang sudah tua dan istrinya yang diponis mandul, namun, dengan izin Allah istrinya bisa hamil. Beliau menyarankan agar kita mengamalkan Surah Maryam itu, dan tak lupa kita bertaubat, serta mohon ampun kepada Allah, dan kita juga disarankan minta maaf pada orang tua, terutama pada mama, sekaligus minta doakan pada mereka, dan memperbanyak tahajjud serta menyantuni anak yatim.”

“Ahh..., Mas ini bercandanya keterlaluan, andai saja Mas langsung bercerita solusi yang ditawarkan Pak Ustadz tadi, mungkin sakit hati ini tidak akan terjadi Mas.” ungkap Linda
“Aku cuma ngetes aja, cemburu apa tidak?” Galih hanya tertawa.

“Huuuh, dasar...”

“Sudah, sudah...sudah...gimana pendapatmu dengan solusi yang disarankan Ustadz Jamil tadi?”

“Ya, Mas, sepertinya benar apa yang dikatakan Ustadz Jamil, selama ini kita terlalu sibuk dengan urusan bisnis, sehingga orang tua kita sendiri kurang terperhatikan, dan kita juga jarang bersedekah, jangankan tahajjud, salat lima waktu pun terkadang kita lalai. Mungkin ini teguran Tuhan buat kita, sehingga aku diberi kelainan pada rahim dan kita belum dikasih momongan.”

“Kalau begitu, mulai malam ini kita ubah kebiasaan lama dengan apa yang disarankan Ustadz Jamil tadi, gimana, setuju?”

“Ya Mas, saya setuju.”

Malam pun terus merangkak dan menjadi saksi ikrar dua insan yang sama-sama merindukan hadirnya tangisan bayi di tengah-tengah mereka.

***

Dua bulan berlalu, pasangan suami-istri itu terus dengan tekun menjalankan saran Ustadz Jamil. Suatu ketika, sepulang dari kantor, Galih mendapati istrinya uring-uringan. Memang dua bulan terakhir ini emosi Linda kadang tak terkontrol. Saat ini Linda merasakan pusing dan mual yang teramat sangat.

“Uak...uak...uak,” Linda muntah.

Melihat keadaan istrinya seperti itu, secepatnya Galih memijit pundak istrinya untuk mengurangi rasa mual. “Kamu sakit Lin?” tanya Galih cemas.

“Ngak tahu Mas, tiba-tiba saja aku pusing dan mual.”

“Kalau begitu, kita ke dokter ya!” ajak Galih kepada istrinya.

“Ya, Mas.” sahut Linda lemah, sambil membersihkan mulutnya.

***

“Dok! Gimana keadaan istri saya? Sakit apa dia?” tanya Galih setelah dokter selesai memeriksa keadaan Linda.

“Pak Galih, Bapak yang sabar ya!” kata dokter sambil menepuk pundak Galih.

“Dok!, sakit apa istri saya?” Galih semakin cemas.

“Maaf Pak Galih, saya bercanda,” ungkap Pak Dokter, lalu mengulurkan tangan, menjabat tangan Galih, “Selamat ya! Anda akan menjadi seorang ayah.”

“Maksud Pak Dokter istri saya hamil?” tanya Galih seolah tak percaya.

“Ya, Pak,” jawab dokter sambil menganggukkan kepalanya.

Mendengar jawaban dokter itu, Galih langsung sujud syukur, kemudian dia memeluk istrinya. Dan ia kecup kening istrinya dengan penuh kasih sayang. Keduanya berurai air mata karena terharu, “Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah mengabulkan doa kami.”

Terngiang di hati pasangan suami-istri yang merasakan kebahagiaan yang teramat sangat itu, Firman Allah dalam Surat Maryam ayat 7 – 9 yang sering mereka baca.

(Allah Berfirman), “Wahai Zakariyya! Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki namanya Yahya, yang Kami belum pernah Memberikan nama seperti itu sebelumnya.”Dia (Zakariyya) berkata, “Ya Tuhan-ku, bagaimana aku akan mempunyai anak, padahal istriku seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai usia yang sangat tua?”

(Allah) Berfirman, “Demikianlah.” Tuhan-mu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada waktu itu) engkau belum berwujud sama sekali.”

Sebelum mereka pulang mengabarkan berita gembira itu pada keluarga yang lain, pasangan suami-istri itu tak henti-hentinya mengucapkan puji syukur kepada Allah, dan tak lupa pula mereka berterima kasih kepada dokter. Dokter tersenyum bangga karena turut merasakan kebahagiaan mereka berdua.

“Alhamdulillah, Allah telah memberikan pilihan terindah buat rumah tangga kita Mas. Alhamdulillah kita diberi kesabaran tuk terus mendayung bahtera rumah tangga kita.” Linda berkata sambil memegangi perutnya, yang diikuti senyum bahagia sang suami saat mereka pulang ke rumah.*

___________

*cerpen ini pernah terbit di Majalah Cahaya Nabawy, edisi Maret 2012. Haderi Ideris (Haderi Idmukha). Dan dibukukan dalam Kiat Menulis dan Cerpen-Cerpen Pilihan

 

Mengidentifikasaikan Unsur Interinsik Cerpen “Pilihan Terindah”

1.Tema: Pernikahan

2. Latar: a) Tempat: Di dalam kamar

(Namun, di sudut ruangan pada sebuah kamar, masih terdengar percakapan pasangan suami-istri)

Di Rumah Sakit

(“Dok! Gimana keadaan istri saya? Sakit apa dia?” tanya Galih setelah dokter selesai memeriksa keadaan Linda.)

b) Waktu: Malam hari

(Malam pun terus merangkak dan menjadi saksi ikrar dua insan yang sama-sama merindukan hadirnya tangisan bayi di tengah-tengah mereka.)

Sore hari

(Suatu ketika, sepulang dari kantor, Galih mendapati istrinya uring-uringan. Memang dua bulan terakhir ini emosi Linda kadang tak terkontrol.)

c) Suasana: Lengah dan sunyi

(Sementara itu, di rumah yang luas dan megah itu, terasa lengang dan sunyi, seolah tak berpenghuni.)

Menegangkan

(“Lin, Bagaimana kalau aku menikah lagi?” suara Galih begitu berat dan lirih.
Kata-kata Galih ini bagi Linda seolah petir yang menyambar dadanya. Dengan sekejap awan hitam datang menggulung, disertai badai dan hujan lebat, sehingga menumbangkan pohon-pohon tua yang sudah lapuk.)

Melegakan

(“Tapi, sudahlah kita lupakan saja kata-kata mas itu. sampai kapan pun aku tetap mencintaimu dan tak mungkin mengkhianati janji kita. Lin, sekali lagi maafkan mas ya!”)

Bahagia

(lalu mengulurkan tangan, menjabat tangan Galih, “Selamat ya! Anda akan menjadi seorang ayah.”)

3. Penokohan: a) Galih : Gundah, sabar, setia, penuh perhatian, dan baik

(Galih kemudian beralih menuju bibir ranjang dan mengajak istrinya duduk bersebelahan, sambil tangan mereka tetap bertaut. Galih mendesah seolah ada persoalan berat yang menghimpit dadanya yang ingin diutarakan pada istrinya malam itu.)

(Melihat keadaan seperti itu, Galih coba membujuk istrinya dan coba menenangkannya dengan mendekapnya dari belakang, namun ditepis oleh istrinya. Galih tetap berusaha memperbaiki keadaan. Ia coba sekali lagi menyentuh bahu istrinya.)

(“Lin, asal kamu tahu, aku berkata seperti itu justru menunjukkan kesetiaanku padamu. Aku tahu, sangat jarang seorang istri mengizinkan suaminya kawin lagi walau dengan alasan apa pun. Makanya kalau aku tidak setia, mungkin sudah sejak dulu aku menikah dengan wanita lain secara diam-diam. Tapi, sudahlah kita lupakan saja kata-kata mas itu. sampai kapan pun aku tetap mencintaimu dan tak mungkin mengkhianati janji kita. Lin, sekali lagi maafkan mas ya!”)

(Melihat keadaan istrinya seperti itu, secepatnya Galih memijit pundak istrinya untuk mengurangi rasa mual. “Kamu sakit Lin?” tanya Galih cemas.)

(“Kalau begitu, kita ke dokter ya!” ajak Galih kepada istrinya.)

b) Linda: Lemah lembut, manja, pengertian, baik, mudah tersinggung dan penyayang

(“Ada apa Mas,” sahut Linda lembut.)

(“Ah, Mas, kita memang sudah jodoh, cinta tidak memandang kaya dan miskin, cinta itu suci, ia datang dan pergi tak terduga Mas,” sahut Linda manja.)

(“Mas, katakanlah! Aku siap menerima hal yang terburuk sekalipun.”)

(Linda menggenggam jemari suaminya lebih erat. Apa yang ia katakan itu bertolak belakang dengan hatinya. Sebenarnya itu hanya ungkapan bibirnya saja, karena bagaimanapun perasaan wanita lebih halus, sehingga ia mampu menangkap ketidaknyamanan sikap suaminya.)

(“Lalu, apa maksud Mas mengatakan hal itu, apa memang Mas sudah memiliki calon pengganti diriku? Sudah, sana pergi, pergi...! Temui calon istrimu itu dan ceraikan aku sekarang juga!” )

(Linda memeluk suaminya dan berkata,” Ya Mas, Mas sudah saya maafkan.”)

4. Alur: Maju

(Dua bulan berlalu, pasangan suami-istri itu terus dengan tekun menjalankan saran Ustadz Jamil. Suatu ketika, sepulang dari kantor, Galih mendapati istrinya uring-uringan. Memang dua bulan terakhir ini emosi Linda kadang tak terkontrol. Saat ini Linda merasakan pusing dan mual yang teramat sangat.)

5. Amanat: Janganlah kita, cepat menyimpulkan sesuatu yang belum tau pastinya, kita harus bisa mengontrol emosi kita dan selesaikan semua masalah dengan pikiran yang jernih dan cara yang baik

6. Sudut pandang: orang 1 sebagai pelaku utama

 

 

 

 

Nama: Nur Fatikhah
Kelas: X-SCI-EWA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun