Mohon tunggu...
Tista Arumsari
Tista Arumsari Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang mahasiswi yang sedang sibuk menyelesaikan tugas akhir

Seorang mahasiswi rumpun humaniora di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Juga seorang content writer yang gemar menulis topik wisata, pendidikan, dan kesetaraan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Di Masa Pendidikan Terbuka Luas untuk Semua Orang, Mengapa Sekolah Kedinasan Masih Diperlukan?

16 Mei 2020   03:10 Diperbarui: 16 Mei 2020   11:32 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Karsapraja.net

Semakin berkembangnya kehidupan manusia, dunia pendidikan pun turut mengalami perkembangan yang luar biasa. Biar bagaimanapun, kita hidup pada masa pendidikan telah diakui sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia untuk bisa survive hidup di dunia.

Tidak seperti 100 tahun lalu misalnya, tahun 1920 negeri kita belum bernama Indonesia. Dan masyarakat kita masih belum merasakan senasib sepenanggungan apalagi persatuan. Oleh karenanya, hidup mereka sengsara. Sebagai buruh—kalau tidak boleh dikatakan budak—mereka bekerja keras setiap hari hanya untuk hidup keesokan harinya dan mengulangi rutinitas yang sama.

Hari ini, dunia pendidikan telah mengalami perkembangan yang signifikan. Sehingga, warga negara yang ingin melanjutkan pendidikan, sebagian besar dapat meraih kesempatan tersebut. Meskipun, tentu saja kita tidak bisa mengatakan bahwa akses terhadap pendidikan telah dirasakan oleh keseluruhan warga Indonesia 100% tanpa terkecuali.

Indonesia telah menerapkan wajib belajar 12 tahun. Sehingga, dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas telah diakomodir oleh negara. Tinggal pendidikan tinggi yang belum diwajibkan. Tetapi, negara telah memberikan bantuan pendidikan berupa beasiswa ke perguruan tinggi untuk memastikan warganya yang kesulitan mengakses pendidikan tinggi menjadi terbantu dengan adanya beasiswa tersebut.

Alasan Saya Menulis Topik Ini 

Tidak hanya perguruan tinggi umum pilihan yang tersedia bagi lulusan SMA/sederajat. Tetapi, ada juga perguruan tinggi kedinasan yang dikelola oleh lembaga pemerintahan. Belakangan, muncul perdebatan apakah sekolah kedinasan masih diperlukan di tengah menjamurnya perguruan tinggi umum baik negeri maupun swasta di seluruh Indonesia. Terlebih, dikatakan pula bahwa kurikulum pendidikan tinggi umum dengan yang digunakan di sekolah kedinasan kurang lebih sama dan kualitasnya cukup merata.

Sehingga, akhirnya saya memutuskan menulis topik ini untuk memberi keberimbangan pemikiran alis cover both sides. Bukankah pengetahuan akan semakin berkembang dengan adanya keberagaman pemikiran dan perbedaan pendapat?

Selama ini, pro dan kontra yang timbul mengenai perlu atau tidaknya mempertahankan eksistensi sekolah kedinasan ternyata cukup tajam. Keduanya saling berseteru dengan dasar yang sama-sama kuat. Seperti apa perdebatannya. Mari kita bedah satu per satu argumen yang digunakan.

#Persoalan I: Mengenai Kesamaan Major Keilmuan dan Kurikulum yang Digunakan 

Argumen kontra yang berlandaskan pada kesamaan major keilmuan dan kurikulum yang digunakan di sekolah kedinasan dan perguruan tinggi umum menganggap bahwa ini tidak efektif, menyia-nyiakan anggaran negara untuk operasional sekolah kedinasan.

Analisis ini ternyata melupakan kenyataan bahwa sumber daya manusia yang dicetak melalui sekolah kedinasan memiliki orientasi yang berbeda dengan perguruan tinggi umum. Meskipun kurikulum yang digunakan pada major keilmuan yang sama kurang lebih sama, tetapi orientasi pendidikannya berbeda. Orientasi pendidikan di perguruan tinggi umum adalah mempelajari keilmuan dan pengetahuan secara teoritis, bukan kejuruan dan ketenagakerjaan.

Sehingga, mereka tidak disiapkan untuk mengisi ruang-ruang birokrasi di pemerintahan. Meskipun, mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi umum tetap bisa mengikuti tes CPNS. Tetapi, hal itu tidak kemudian menjadi alasan yang sepadan terhadap tidak diperlukannya sekolah kedinasan.

Sekolah kedinasan didirikan untuk memenuhi kebutuhan negara akan tenaga pemerintahan guna menciptakan birokrasi pemerintahan yang berkualitas. Sehingga, seperti yang saya sampaikan tadi, sekolah kedinasan memiliki orientasi pada kejuruan dan ketenagakerjaan, bukan sekedar basic ilmu pengetahuan.

Selain itu, perbedaan perguruan tinggi kedinasan dengan perguruan tinggi umum adalah adanya link and match kebutuhan lembaga negara baik kementerian maupun non kementerian terhadap sumber daya yang diperlukan.  

Hal itulah yang membuat sekolah kedinasan tak dapat digantikan dengan perguruan tinggi umum. Sebab, sekolah kedinasan memiliki hubungan baik dengan lembaga negara baik kementerian maupun non kementerian, yang dikelola langsung oleh mereka. Untuk apa? Ya untuk memenuhi kebutuhan kementerian atau lembaga lain yang membidangi sektor tertentu.

Kebutuhan tiap sektor pastilah berbeda. Wong, masalah yang dihadapi juga berbeda, lapangannya berbeda, jadi mana mungkin bisa digeneralisir hanya berdasarkan kesamaan kurikulum pada major keilmuan tertentu di perguruan tinggi umum.

Sekolah kedinasan pada dasarnya juga disiapkan kementerian atau lembaga pemerintahan terkait untuk menjadi lembaga think tank mereka. Mengkaji berbagai permasalahan yang dihadapi di lapangan berdasarkan sektor kementerian atau lembaga pemerintahan terkait. Sehingga, hal ini akan meminimalisir terjadinya kebijakan yang tidak tepat sasaran karena kebijakan tersebut lahir dari kajian permasalahan di lapangan.

Jadi, perkara kesamaan major keilmuan yang kurikulumnya tidak jauh berbeda telah terbantahkan dengan memasukkan sisi orientasi pendidikan yang berbeda antara perguruan tinggi umum dengan perguruan tinggi kedinasan.

Selain itu, adanya link and match antara lembaga pemerintahan baik kementerian maupun non kementerian untuk menyesuaikan kebutuhan sumber daya manusia pada setiap sektor juga menjadi poin plus keberadaan sekolah kedinasan. Sebab, realitas persoalan yang dihadapi tiap lembaga negara yang membidangi sektor tertentu jelas berbeda, maka diperlukan lembaga pendidikan khusus untuk mempelajari dan menyiapkan sumber daya manusianya.

#Persoalan II: Anggaran Pendidikan Tinggi 

Dalam analisisnya, argumen kontra terhadap sekolah kedinasan ini berpendapat bahwa dengan menghapuskan sekolah kedinasan, negara akan menghemat banyak sekali biaya pendidikan tinggi. Alangkah baiknya negara menghemat pengeluaran untuk pendidikan tinggi, agar dapat disalurkan pada pemerataan kualitas pendidikan dasar. Toh, kini perguruan tinggi umum dapat mengisi ruang kebutuhan negara akan tenaga-tenaga ahli di pemerintahan.

Permasalahan pada tesis tersebut adalah ia melupakan kenyataan bahwa justru perguruan tinggi umum di Indonesia yang masih bermasalah berdasarkan tata kelola dan kualitas output lulusannya. Kita bisa melihat bahwa banyaknya lulusan perguruan tinggi umum yang tidak dapat terserap oleh industri, hal ini merupakan persoalan sistem.

Harus diakui bahwa sistem pendidikan tinggi kita masih bermasalah. Ada kesenjangan antara kebutuhan industri dengan materi pembelajaran yang dipelajari oleh mahasiswa/i. Hal ini pulalah, yang mendorong pemerintah lagi-lagi mengeluarkan anggaran biaya untuk membantu meningkatkan keterampilan mereka sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Dengan apa? Pengadaan Kartu Pra Kerja misalnya.

Bicara soal itu, secara desain dan teknisnya yang sarat kepentingan, cenderung tidak inovatif, dan menghambur-hamburkan anggaran ini justru dijadikan alternatif solusi atas permasalahan angkatan kerja yang tidak terserap lapangan kerja.

Lantas, siapa yang perlu dibenahi?

Sekolah kedinasan sejak awal justru didirikan sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan lembaga pemerintah untuk menciptakan birokrasi yang berkualitas dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). 

Sekolah kedinasan tidak memunculkan problematika lulusan yang tak sesuai kebutuhan. Sebab, sekalipun tidak diserap ke dalam pemerintahan, lulusannya masih dicari dan dibutuhkan industri, perusahaan-perusahaan dan sektor terkait.

Balik lagi mengenai anggaran, perguruan tinggi kedinasan membantu alokasi anggaran agar tidak hanya dibebankan pada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Melainkan, penyelenggaraan sekolah kedinasan ditanggung oleh sektor kementerian dan lembaga negara non kementerian masing-masing.

Selain itu, negara selama ini telah menggelontorkan banyak anggaran, tiap tahun setidaknya 20% dari belanja APBN digelontorkan pada sektor pendidikan (di bawah naungan Kemendikbud, Kemenristekdikti, dan Kemenag). Nilainya pada 2019 lalu mencapai Rp. 492,555 Triliun.

Anggaran pendidikan tahun 2019 tersebut dibagi atas tiga pos, yaitu melalui belanja pemerintah pusat sejumlah Rp. 163,089 Triliun, transfer daerah dan dana desa sejumlah Rp. 308,375 Triliun, dan pembiayaan lain sejumlah Rp. 20,990 Triliun.

Anggaran pendidikan melalui pos belanja pemerintah pusat terdiri atas anggaran pendidikan untuk kementerian/lembaga negara sebesar Rp. 153,726 T dan bendahara umum negara sebesar Rp. 9,363 T.

Nah, anggaran pendidikan pada kementerian/lembaga negara terdiri atas Kementerian Agama sebesar Rp. 51,896 T, Kementerian Ristekdikti sebesar Rp. 40,210 T, dan Kemendikbud sebesar Rp. 35,993 T. Sisanya adalah kementerian lain yang menyelenggarakan sekolah kedinasan. Apabila dijumlah, kementerian-kementerian tersebut hanya menyumbang 11,78% (atau sebesar 18,109 T) pengeluaran sektor pendidikan dari kementerian/lembaga negara.

Padahal, itu sudah mencakup Kementerian PUPR, Kemenkeu, Kemenhub, Kemnaker, dan Kemenperin. Kenapa jumlahnya lebih sedikit padahal banyak sekolah kedinasan di negeri ini? Itu karena jumlahnya tak sebanyak perguruan tinggi umum.

Jumlah itu belum memperhitungkan anggaran pendidikan dari pembiayaan, yaitu untuk dana pengembangan pendidikan nasional dan dana abadi penelitian yang masing-masing besarnya Rp. 20 Triliun dan Rp. 990 Miliar.

Padahal, kualitas pendidikan di Indonesia tak kunjung meningkat. Tapi dana yang digelontorkan tidak pernah surut. Ternyata, tingginya anggaran tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang disekolahkan. Hal ini tentu merupakan problematika serius yang harus segera dicari solusinya.

Lantas, yang mana yang perlu dibenahi? Pendidikan dari sektor umum atau kedinasan yang jelas kebutuhan dan penyerapan sumber daya manusianya?

Jadi, argumen bahwa anggaran pendidikan yang berlebihan di perguruan tinggi kedinasan telah terbantahkan dengan sendirinya setelah memasukkan data bahwa sekolah kedinasan justru merupakan sektor pendidikan yang memakan biaya pendidikan paling rendah di antara sektor pendidikan di bawah Kemenag, Kemendikbud, dan Kemenristekdikti.

Tetapi, meski biayanya paling rendah, sekolah kedinasan telah mencetak sumber daya manusia yang mampu diserap oleh kebutuhan baik di lembaga pemerintahan sendiri, maupun di luar.

#Persoalan III: Sekolah Kedinasan Dinilai Hanya Dapat Diakses Oleh Kalangan Menengah Ke Atas

Benarkah anggapan ini? Mari kita telusuri bersama-sama.

Kenyataannya, sekarang penyelenggaraan Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) yang terdiri atas Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Tes Inteligensia Umum (TIU) dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP) ini telah digelar secara terbuka dan akuntabel.

Buktinya apa? Setelah mengikuti tes berbasis Computer Assisted Test (CAT) ini, kamu bisa langsung mengecek hasilnya di website instansi masing-masing. Biaya untuk mengikuti tesnya pun sangat terjangkau, yaitu hanya Rp. 50.000. Hal ini berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku di Badan Kepegawaian Negara. Oleh karenanya, biaya tersebut akan masuk ke rekening negara.

Meskipun selain biaya itu, beberapa sekolah kedinasan memungut biaya pendaftaran seperti PKN STAN, STTD, STIS, dan STMKG, tetapi kisaran jumlahnya juga tidak terlalu besar. Misalnya, PKN STAN memungut biaya pendaftaran sebesar Rp. 300.000. Masih cukup terjangkau bukan?

Lantas apa yang membuat sekolah kedinasan cenderung dianggap hanya dapat diakses oleh kalangan menengah ke atas? Seperti yang kamu tahu, banyak sektor di Indonesia yang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mendulang penghasilan. Termasuk pendaftaran sekolah kedinasan.

Tapi mereka ada yang terbukti dapat meloloskan banyak orang ke sekolah kedinasan tuh? Benarkah demikian? Dari indahnya nilai keberhasilan yang mereka klaim itu, berapa banyak nilai kegagalan yang tidak mereka tunjukkan? Angkanya pasti lebih tinggi daripada nilai keberhasilannya.

Kenapa? Karena pada dasarnya, mereka hanyalah para spekulator yang memanfaatkan momentum dari hype-nya sekolah kedinasan. Mereka hanya mencari keuntungan pribadi bermodalkan kemampuan meyakinkan orang tua dan pendaftar.

Oleh karenanya, demi membumihanguskan praktik-praktik merugikan seperti ini, penting sekali bagi kita semua untuk tidak mempercayai rayuan-rayuan gombal nan manis yang mereka jual. Jangan mempercayai pihak-pihak yang mengklaim dapat meloloskan putra putri Anda melalui jalur belakang. Sebab itu tidaklah benar.

Pada praktiknya, seluruh tahapan pendaftaran ke sekolah kedinasan telah didesain sedemikian rupa, seperti hasil tes SKD berbasis CAT langsung diumumkan setelah tes. Sehingga tidak memberikan ruang kepada para oknum spekulator. Bahkan keseluruhan proses ini juga melibatkan lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pungutan-pungutan liar yang pada dasarnya tidak ada dalam aturan penyelenggaraan menjadi tantangan sejak dahulu kala. Karena inilah sumber stereotip bahwa sekolah kedinasan itu mahal. Padahal sebenarnya tidak juga.

Berbeda halnya dengan persaingan ya. Yang membuat sekolah kedinasan terkesan sulit dimasuki adalah karena persaingannya yang amat ketat. Terlebih di perguruan tinggi kedinasan yang populer seperti PKN STAN dan IPDN.

Oleh karenanya, jika kamu tertarik mendaftar sekolah kedinasan, yang perlu kamu lakukan adalah belajar dan mempersiapkan diri untuk dapat lolos dari serangkaian tahapan seleksi pendaftaran sekolah kedinasan.

Kursus di bimbel online sekarang ini merupakan alternatif yang dipilih sebagian besar calon pendaftar sekolah kedinasan. Sebab, situasi pandemi Covid memang mau tak mau membuat orang terbatas untuk bepergian. Lebih aman belajar dari rumah.

Jadi, argumen bahwa hanya kalangan menengah ke atas yang dapat mengakses sekolah kedinasan menjadi tidak valid. Sebab, kenyataannya biaya pendaftaran ke sekolah kedinasan tidaklah mahal, justru amat terjangkau dan masuk ke penerimaan negara.

Yang membuatnya tampak mahal adalah ulah oknum yang mengambil pungutan liar atau disebut juga calo atau spekulator. Ini memang tantangan untuk membumihanguskan keberadaan para oknum tak bertanggung jawab ini. Tetapi, tidak berarti sekolah kedinasan menjadi mahal karena oknum tersebut.

Toh, mereka hanya pihak yang tidak bertanggung jawab, yang dilakukannya hanya menipu dan mengambil keuntungan dari para pendaftar. Apabila tidak lolos uang akan dikembalikan. Ada yang 25%, 50% sampai 75%. Pada intinya, para pendaftarlah yang berjuang, mereka hanya berjudi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun