Mohon tunggu...
tiara shafira azzahra
tiara shafira azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasisa Ilmu Politik Universitas Bakrie

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Security Dilemma Negara di Kawasan Timur Tengah terhadap Program Pengembangan Nuklir Iran

14 Juli 2022   15:20 Diperbarui: 14 Juli 2022   15:32 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: 

Ni Putu Claudia Swijane (1191004055)

Tiara Shafira Azzahra (1191004022)

Rahma Fairuz Lovenzy (1191004025)

Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial 

Universitas Bakrie

ABSTRAK

 Iran merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang berpotensi dalam mengembangkan senjata nuklir. Salah satu kegiatan Iran yang menarik perhatian dunia adalah Program Nuklir Iran. Pengembangan nuklir Iran merupakan sebuah pergerakan yang diambang oleh perseteruan dan persetujuan. 

Hal ini dikarenakan oleh tingginya resiko yang akan dihasilkan jika penggunaan nuklir semakin efektif dibandingkan dengan sebelumnya. Security dilemma berkembang menjadi sebuah masalah ketika muncul ancaman potensial yang diyakini dapat membahayakan. 

Dalam Tulisan ini Penulis berupaya untuk menjawab pertanyaan penelitian “Bagaimana respon Amerika Serikat dan Sekutunya di kawasan Timur Tengah dalam pengembangan program nuklir Iran?”. 

Tulisan ini menggunakan teori Neo-realisme dengan fokus realisme struktural defensive serta teori Balance of Power, dengan mencoba untuk mendeskripsikan respon negara lain terkait dengan program pengembangan nuklir Iran. 

Penulis berargumen bahwa Sikap Amerika Serikat terhadap Iran juga termasuk ke dalam Balance of Power dan menjadi hal yang wajar dilakukan oleh negara yang mengalami security dilemma.

Kata kunci: Pengembangan Nuklir, Security dillema, Balance of Power

PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Timur Tengah merupakan wilayah sarat akan konflik yang seakan tidak pernah berhenti. Sumber daya alam terutama minyak yang ada di Timur Tengah menjadikan kawasan ini sebagai wilayah yang tidak pernah sepi dari konflik. 

Berbagai negara, baik negara wilayah kawasan Timur Tengah maupun yang tidak termasuk ke dalam kawasan tersebut berusaha untuk mewujudkan kepentingan masing-masing dengan berbagai cara. Perlombaan kepentingan tersebut yang menjadi alasan mengapa Timur Tengah selalu menjadi sorotan dunia internasional (Mikail & Fatoni, 2019)

Iran merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang berpotensi dalam mengembangkan senjata nuklir. Salah satu kegiatan Iran yang menarik perhatian dunia adalah Program Nuklir Iran. Program nuklir ini telah dikembangkan sejak pra Revolusi Islam, tepatnya pada tahun 1957. 

Pada masa rezim Syah Reza Pahlavi pada tahun 1957, Amerika Serikat menerima kerjasama nuklir di bawah program Atoms for Peace (Mikail & Fatoni, 2019).

Pengembangan teknologi nuklir juga merupakan langkah alternatif bagi Iran untuk mengatasi krisis energi. Mengingat energi nuklir dinilai lebih murah, lebih lengkap serta lebih efisien dibandingkan dengan sumber energi lainnya. Iran, sebagai negara berdaulat, mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai. Krisis nuklir Iran memuncak setelah Iran berhasil menemukan uranium di beberapa tambang di kawasan Yard.

Program pengembangan nuklir tersebut merupakan salah satu tujuan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad untuk lebih fokus pada masalah internal Iran. Pengayaan uranium di Isfahan merupakan wujud nyata dari apa yang dijanjikan Ahmadinejad, yakni upaya meningkatkan kesejahteraan dan memerangi kemiskinan. 

Proyek yang sedang berkembang dengan baik saat ini dapat dilihat dalam pembangunan di empat lokasi utama, yaitu Bushehr, Isfahan, Natanz, dan Arak, keamanan nasional Iran akan tercapai dengan proyek nuklir (The Economist, 2008).

Namun di sisi lain, pengembangan nuklir Iran mendapat tekanan dari dunia internasional, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya. Israel yang menjadi satu-satunya negara non islam di kawasan Timur Tengah merasa terancam apabila negara lain memiliki kekuatan militer yang cukup besar, termasuk apabila satu negara memiliki potensi mempunyai kekuatan nuklir. 

Iran merupakan negara yang sudah membangun teknologi nuklir sejak lama kemudian menjadi ancaman nyata bagi Israel, yang kemudian Israel berhasil mengajak Amerika Serikat untuk menekan Iran. Melalui pengaruh Amerika Serikat pada perpolitikan internasional, AS justru menggunakan pengaruh tersebut untuk memberikan sanksi kepada Iran melalui PBB (Albright & Hinderstein, 2003).

Sejak itu, masalah program nuklir Iran semakin memanas, dan masalah itu bahkan semakin memperparah masalah yang beredar dimana tampaknya dengan satu langkah lagi, Iran akan mampu membuat bom atom. Tekanan terhadap Iran telah memicu perdebatan yang mengatakan pengembangan nuklir Iran ditujukan untuk membuat senjata nuklir. 

Program pengmbangan nuklir Iran dituduh bertujuan tidak baik terutama oleh negara adidaya dengan kepentingan di Timur Tengah. Media Barat telah menyuarakan keprihatinan mereka tentang rencana nuklir ini. Hal ini dipengaruhi oleh kesaksian Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush, yang mengidentifikasi Iran sebagai poros kejahatan yang merupakan tantangan bagi perdamaian dunia (Anggraini, 2020).

Meski masalah ini merupakan masalah internal bagi Iran, namun masyarakat internasional lebih memperhatikannya. Hal ini sesuai dengan pandangan Kegley (2004) bahwa akibat globalisasi, masalah domestik cenderung menjadi masalah internasional, 

Masalah nuklir Iran adalah masalah internal yang juga merupakan masalah internasional, dan bukan hanya masalah Iran. dalam pembahasan ini kami akan membahas tujuan dari program pengembangan nuklir iran serta dampak dari program tersebut (Kegley & Raymond, 2004).

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sebelumnya telah diuraikan, Iran menjadi negara yang akan di angkat sebagai studi kasus. Kemudian pertanyaan utama yang akan tim penulis jelaskan adalah “Bagaimana respon Amerika Serikat dan Sekutunya di kawasan Timur Tengah dalam pengembangan program nuklir Iran?”

 

Kerangka

Dalam menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan teori Realisme. Kemudian membagi penjelasan terkait teori menjadi tiga bagian yaitu deskripsi teori, operasionalisasi teori dan model analisis dari teori tersebut.

Konsep security dilemma digunakan sebagai fokus utama, spesifiknya dengan menggunakan teori realisme yang dikemukakan oleh Hans Morgenthau dan Kenneth Waltz. Teori ini diangap tepat karena terdapat beberapa relevansi. 

Pertama, pengembangan nuklir Iran meningkatkan ketegangan di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya. Kedua, Hegemoni Amerika di kawasan tersebut membuat Iran berada dibawah ancaman-ancaman kebijakan-kebijakan Barat.


Teori Realisme

Dalam sebuah perkembangan studi keamanan mempunyai beberapa pendekatan yang sangat berkesinambungan dengan perkembangan studi keamanan yang awal pertama kali ada namanya pendekatan realisme klasik pendekatan ini awal muncul pada era 1939, 

menurut pendekatan realisme klasik dalam hal ini menekankan pada sifat dasar manusia sebagai kekuatan dan menggerakkan sejarah, dimana fokusnya berada di level domestik negara, penggunaan narasi historis dan orientasi praktis dari penjelasan teorinya (Rosyidin, 2020).

Realis mengkritik idealisme yang menganggap perdamaian tercipta oleh organisasi internasional, sedangkan realisme sendiri melihat bahwa negara akan mementingkan dirinya sendiri dan hukum internasional tidak memiliki otoritas untuk mengatur (Car, 2016). Kekuasaan adalah tujuan utama negara, maka negara akan berusaha memperebutkan kekuasaan (Morgenthau, 1948).

Realisme klasik dalam hal ini adalah sebuah keinginan untuk mencapai sebuah kekuasaan lebih mengakar menuju bentuk sifat kemanusiaan yang kurang sempurna, dan negara terus menerus terlibat dalam sebuah eksekusi perjuangan untuk meningkatkan kemampuan mereka (Dugis, 2016). 

Tidak adanya gabungan elemen internasional dan pemerintahan negara merupakan permissive condition yang membebaskan selera manusia dalam memerintah (Steven, et al., 2009). 

Inside nya atau akar dalam hal ini yaitu kacamata pendekatan realisme klasik cenderung memaparkan kepada bentuk konflik yang dilakukan oleh manusia atau dari domestics politics system yang memberikan peluang kepada kelompok tertentu yang rakus untuk mengejar kebijakan luar negeri ekspansionis yang mementingkan diri sendiri (Winarno, 2009).

 

Neorealisme dan Konsep Realisme Defensif

Neorealisme merupakan asumsi dimana perang terjadi karena sifat anarki struktur internasional, bukan semata-mata karena negara menginginkannya namun karena tekanan struktur (structural constaint) (Waltz, 2001). Neorealism merupakan pokok pemikiran atas kondisi dunia sekarang yakni “security dilemma” dimana kondisi dunia tidak pernah yakin dalam kemampuan terhadap kehendak negara lain di masa depan. 

Neorealism memiliki pendekatan peranakan yang mana pendekatan peranakan itu defensive realism & offensive (Suryanti, 2021). Dilema keamanan adalah asumsi inti dari realisme defensif. Menurut Kenneth Waltz, karena dunia tidak memiliki pemerintahan bersama dan bersifat "anarkis", kelangsungan hidup adalah motivasi utama negara. 

Negara tidak mempercayai niat negara lain dan sebagai konsekuensinya selalu berusaha memaksimalkan keamanan mereka sendiri (Waltz, 2001).

Realisme struktural defensif berkembang, tetapi berbeda, dari neorealisme (Telbami, 2002). Realisme struktural defensif berbagi asumsi minimal neorealisme tentang motivasi negara. Seperti neorealisme, realisme struktural defensive menunjukkan bahwa negara mencari keamanan dalam sistem internasional yang anarkis – ancaman utama bagi kesejahteraan mereka berasal dari negara lain (Waltz, 2001).


Konsep Balance of Power

Negara yang merasa terancam akan melakukan perluasan wilayah atau berperang, maka kemudian teori yang muncul adalah konsep keseimbangan ancaman (Balance of Threat) dimana negara akan membentuk suatu aliansi untuk membendung ancaman negara lain dengan didorong oleh konsep keseimbangan kekuatan (Balance of Power) (Walt, 1985). 

Konsep Balance of Power merupakan jaminan dari keamanan negara dan perdamaian dunia, di sisi lain muncul anggapan bahwa Balance of Power dapat menghancurkan negara-negara dengan perang (Waltz, 1979). Keseimbangan kekuasaan melibatkan distribusi kekuasaan tertentu di antara negara-negara dalam suatu sistem, sehingga tidak ada satu negara dan tidak ada aliansi yang memiliki jumlah besar (Sheehan, 1996, p. 4).

Balance of Power menciptakan ekspektasi dengan argumen bahwa perilaku negara akan selalu disesuaikan dengan balance of threat. Balancing merupakan kondisi dimana negara berusaha membuat koalisi demu menghadapi ancaman, balancing akan terciptak jika satu negara lebih domunan dari sistem negara-negara yang ada didalamnya. 

Sistem ini bukan memaksimalkan power namun mempertahankan posisi yang sudah ada (dalam sistem anarki). Negara pada sistem anarki akan berusahan mempertahankan kondisi yang aman dan stabil. (Sheehan, 1996, p. 194).

Penyusunan politik domestik sendiri membutuhkan tiga tahapan struktur. Pertama, berdasar pada sistem hierarki. Kedua, mengetahui spesifikasi fungsi dari bagian-bagian dalam struktur politik yang ada. Ketiga mendistribusikan kemampuan dari masing-masing bagan kedalam sistem struktur politik (Sheehan, 1996).

PEMBAHASAN

Kesadaran iran untuk tidak selamanya bergantung pada ketersediaan minyak dan gas membuat Iran mulai mengembangkan energi nuklir. Di tahun 2025, populasi Iran akan bertambah sehingga pengembangan nuklir dilakukan sebagai pengalih sumber energi utama untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik Iran (Saragih, 2017). 

Di sisi lain ambisi Iran dalam mengembangkan senjata nuklir memunculkan kekhawatiran bagi banyak negara di dunia. Salah satunya Amerika Serikat dalam menebar hegemoni di kawasan tersebut. (Nurtyandini, 2022).

Penolakan Terhadap Program Pengembangan Nuklir Iran

Pengembangan nuklir Iran merupakan sebuah pergerakan yang diambang oleh perseteruan dan persetujuan. Hal ini dikarenakan oleh tingginya resiko yang akan dihasilkan jikalau penggunaan nuklir semakin efektif dibandingkan dengan sebelumnya. Program pengembangan yang sudah berjalan selama 2 dekade ini telah banyak menciptakan negosiasi dengan banyak pihak dikarenakan rasa khawatir yang cukup besar .

Selain dari dampak yang akan terjadi kekhawatiran akan bahan baku yang tak ramah lingkungan juga menjadi poin lain dari banyaknya ketidaksepakatan penggunaan senjata nuklir. Tahun 1968, terdapat sebuah perjanjian atas penolakan terhadap penggunaan senjata nuklir, namun hal tersebut baru secara aktif dilakukan pada 1970 setelah Amerika Serikat, Inggris dan Uni Soviet menandatangani perjanjian tersebut. 

Setelah sekian lama tidak ada kejelasan atas perjanjian penolakan penggunaan senjata nuklir, tahun 2015 kesepakatan tentang nuklir mulai dibicarakan dan dirancang kembali di Wina. Kesepakatan tersebut diadakan oleh Iran dan Amerika Serikat dengan dukungan dari negara pemegang hak veto PBB (Rusia, Perancis, Inggris dan juga China).

Poin penting dalam pembahasan tersebut adalah pengayaan level uranium (bahan bakar senjata nuklir), kapasitas stok uranium dan plutonium serta pengawasan pembuatan senjata. Adapun lama pengerjaan senjata juga diatur dari jangka waktu 2-3 bulan menjadi 1 tahun lamanya. Hal yang ditawarkan dalam perjanjian ini adalah menjadikan perekonomian Iran lebih baik sebagai kompensasi dari pengurangan penggunaan senjata nuklir.

Hal ini sejalan dengan teori realisme struktural defensif, dimana disebutkan bahwa negara mencari keamanan dalam sistem internasional yang anarkis – ancaman utama bagi kesejahteraan mereka berasal dari negara lain (Waltz, 2001), negara-negara lain yang merasa terancam oleh pengembangan nuklir Iran mengadakan perjanjian penolakan. 

Negara-negara tersebut tidak mempercayai niat negara lain dan akan selalu berusaha memaksimalkan keamanan mereka sendiri

Awal Mula Ketegangan Pada Kesepakatan Nuklir Iran

Pada akhirnya kesepakatan ini tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya dan pada 2018, Donald Trump juga menyatakan mundur dari perjanjian dengan alasan malu dengan adanya perjanjian tersebut serta tetap akan memberlakukan sanksi kepada Iran seperti sebagaimana mestinya. 

Permulaan kesepakatan antara Iran dan AS dilakukan atas dasar rasa mampunya diplomasi AS dalam menjembatani perubahan dalam bidang senjata nuklir. Ia mencoba memposisikan diri sebagai penengah dari permasalahan dan keraguan yang dirasakan oleh banyak negara. Karena, dominasinya yang cukup besar juga akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagi negara maju untuk ikut serta didalamnya.

Di Iran, terdapat program nuklir yang tertanam di Teheran yang juga merupakan hasil produk buatan AS yang dilakukan atas permintaan raja Iran Reza Shah, beliau menginginkan pembangunan reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir sebanyak 20 titik di semenanjung Iran dan yang mana merupakan reaktor riset pertama yang telah diciptakan sejak 1957 dan memiliki daya sebesar 5 megawatt. 

Alasan tersebut juga menjadi sebuah kekhawatiran yang mendalam bagi AS bahwa Iran dapat mengembangkan teknologi nuklir secara personal dan mengalahkan kekuatan persenjataan dari negara tersebut.

Hingga akhirnya pertimbangan ekonomi menjadi sebuah titik lemah yang dipegang kuat untuk dapat mengelabui Iran dan mempertahankan keamanannya. Setelah sekian dekade program nuklir berjalan, telah banyak tahapan dilakukan, 

adanya negosiasi dengan pihak NATO dan European Union serta pengambilan langkah pengayaan uranium dan pembuatan Enrichment Atomic Nuclear yang membuat Iran bisa saja membuat senjata nuklir yang memiliki daya ledak besar dan berdampak buruk bagi lingkungan.

Selain itu, dengan adanya program nuklir Iran yang sudah dijalani sejak tahun 2002 ini telah menciptakan peta geopolitik baru di kawasan Timur Tengah dimana sentral kekuatan yang semula hanya berpusat pada negara negara penguasa minyak seperti Arab Saudi dan negara yang memiliki dukungan Amerika Serikat seperti Israel,

 berubah menjadi lebih heterogen dengan datangnya Iran sebagai pemain baru senjata nuklir di Timur Tengah yang tentunya dianggap sebagai ancaman bagi negara negara sekutu di semenanjung Arab. 

Setelah ikut dalam kesepakatan, Iran juga diajak untuk ikut serta dalam JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) yang didalamnya membahas tentang pelarangan pengembangan dan keikutsertaan Iran dalam kompetisi pengembangan senjata roket (diadopsi dari UN Security Council 2231 yang mengatur Iran tidak diizinkan untuk mengembangkan Intercontinental ballistic missile).

Ketegangan isu nuklir kian meningkat setelah terbunuhnya Jenderal Iran Qassem Soleimani akibat dijatuhi bom dari pesawat tanpa awak di Irak pada Januari 2020 silam yang ternyata dilakukan oleh pihak Amerika Serikat. Pejabat luar negeri Iran menganggap perlakuan AS sebagai ajakan Perang terbuka kepada Iran. 

Setelah naiknya pitam Iran membuat mereka semakin keras melakukan percobaan Nuklir dan melanggar aturan-aturan yang telah disepakati sampai akhirnya Iran semakin ingin menarik diri dari perjanjian JCPOA namun para sekutu menahan keinginan Iran tersebut. Satu tahun setelah kejadian, Joe Biden mengajukan negosiasi terhadap Iran guna melakukan perdamaian antara 2 belah pihak namun hasilnya belum menunjukkan titik terang.

Nyatanya, setelah pelanggaran yang dilakukan oleh Iran akibat kematian Jenderal Soleimani guna menentang perlakuan AS mengakibatkan perburukan ekonomi yang sudah sempat membaik setelah adanya kesepakatan yang dibangun sejak 2015. 

Selain adanya permasalahan ekonomi bagi Iran sendiri, kurangnya sumber daya manusia untuk pengembangan nuklir mengharuskan Iran untuk bekerja sama dengan China. Hal ini sudah dijalankan sejak tahun 2016 dimana akhirnya tercipta kesepakatan untuk merekonstruksi ulang reaktor nuklir di Arak dan juga keduanya menjadi mitra dalam pengembangan nuklir. 

Selama berjalannya perjanjian, Iran telah banyak memperlihatkan wujud konsistennya yang kurang salah satunya dengan melakukan uji coba rudal balistik.

 

Pengerahan Balance of Power oleh Amerika Serikat 

Masalah nuklir Iran telah menjadi salah satu konflik internasional yang paling kontroversial dalam beberapa dekade terakhir. Krisis yang berlarut-larut ini telah meningkatkan ketegangan di kawasan dan sekitarnya, menghadirkan dilema bagi semua yang terlibat, termasuk Iran sendiri, P5+1 (China, Prancis, Jerman, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat), 

negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) (khususnya Arab Saudi) dan Israel. Karena informasi yang tidak sempurna, terutama kurangnya pemahaman tentang niat dan perhitungan masing-masing, banyak tindakan dan tindakan balasan telah dilakukan di tingkat internasional, regional dan nasional untuk mengatasi ancaman nuklir Iran yang dirasakan.

Pada akhirnya, meskipun ada keberatan kuat dari beberapa elemen di Teheran dan Washington serta oleh Israel dan Arab Saudi, P5+1 dan Iran mencapai kesepakatan jangka panjang dan komprehensif yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). 

Apakah kesepakatan itu akan bertahan selama durasinya masih belum jelas, tetapi banyak ketidakpastian, termasuk yang terkait dengan politik domestik di Iran dan AS, pasti akan mempengaruhi implementasi penuhnya.

Pada 2018, akhirnya Donald Trump sudah tak menahan diri sehingga sanksi ekonomi pun diberikan dengan adanya dukungan dari kongres. JCPOA hampir saja dibubarkan namun berkat upaya dari anggota tinggi EU, organisasi tersebut tetap berjalan hanya saja Amerika menarik diri dari perkumpulan tersebut. 

Akibat besarnya tekanan dan sanksi yang diberikan, kemerosotan ekonomi dan meningkatnya angka kemiskinan kian tajam.

Security dilemma berkembang menjadi sebuah masalah ketika muncul ancaman potensial yang diyakini dapat membahayakan. Jika dibandingkan dengan kepemilikan senjata nuklir maupun rudal balistik negara-negara sekutunya, 

AS lebih khawatir dengan potensi bahaya yang muncul dari Iran, sebab AS percaya bahwa sekutu-sekutunya tidak mungkin mengarahkan senjata mereka untuk menyerang AS. Namun, respon sebaliknya diberikan kepada Iran, yang memang dianggap sebagai bahaya yang mengancam kepentingan AS dan sekutunya.

Penarikan diri Amerika Serikat dari JCPOA disebabkan oleh konsistensi pemikiran Donald Trump yang menganggap bahwa kesepakatan nuklir Iran sebagai kesepakatan yang buruk dan tidak dapat diandalkan. Melalui kesepakatan nuklir Amerika Serikat dan sekutu masih merasakan dilema keamanan yang pada akhirnya mendorong Trump untuk berupaya menekan Iran keluar dari kesepakatan nuklir. 

Trump tidak mempertimbangkan alternatif lain, dirinya hanya berusaha memaksimalkan pandangannya terkait buruknya perjanjian JCPOA dan Amerika Serikat harus mengakhiri keterlibatannya.


Kesimpulan

Konflik di Timur Tengah terutama di Iran tentunya membuat korban jiwa yang cukup banyak dan menimbulkan penderitaan bagi masyarakat. Konflik nuklir yang tidak akan ada akhirnya ini tentunya harus dihentikan,

 Pengembangan Nuklir dengan tujuan pemusnahan massal sudah terbukti hanya menciptakan konflik dan bukan perdamaian, seberapa banyak usaha yang telah diupayakan oleh Amerika Serikat maupun dunia Internasional tidak akan mampu membuat kawasan di timur tengah aman dan terhindar dari konflik. 

Selain itu, sikap Amerika Serikat terhadap Iran juga termasuk ke dalam Balance of Power dan menjadi hal yang wajar dilakukan oleh negara yang mengalami security dilemma Selama masih ada pembangunan teknologi militer dengan hulu ledak Nuklir, maka sudah dipastikan adanya ketidakpastian keamanan serta kekhawatiran akan terjadinya tindakan unilateral. 

Dampak dari Perang atau konflik akibat nuklir ini tentunya akan berdampak ke banyak segi yaitu sosial atau masyarakat, ekonomi, stabilitas negara hingga pembangunan yang berkelanjutan, semua itu bisa terhenti atau bahkan hancur akibat adanya konflik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun