***
Masih mengalungkan handuk merah pudar yang sedikit sobek di tengahnya, Ongko menemui tiga orang Paijo yang datang ke gubuknya. Air di rambutnya menetes-netes, meleleh melalui jidat menuju pipi dan berakhir di mulut, menandakan kalau ia baru saja mandi.Â
"Monggo, Pak, Cak, masuk aja."Â
Ketiga tamu Ongko saling lirik. Dua orang di antaranya memasang ekspresi jijik. Ongko melihat dengan jelas, tapi tak peduli. Ia menatap ketiga tamunya dengan diam sambil sesekali menyesap air tetesan dari rambutnya.
"Kamu pemilik kerek yang bernama ... mmph ...?" Paijo Kampret membuka suara dan tampak kebingungan ketika hendak menyebut nama anjing Ongko. Sepertinya sangat tak rela.
"Paijo. Nama anjing saya Paijo."
"Ghuk!" Paijo Kerek menyahuti dari jauh yang membuat ketiganya menoleh ke arahnya. Juragan Paijo tampak tak mengenali anak anjing itu.
"Nak Ongko, sebaiknya nak Ongko mengganti nama untuk kerek tersebut." Paijo Brambang menasihati dengan lemah lembut. Tak lupa senyum termanis ia pasang. Sekarang ganti Ongko menatap lawan bicaranya dengan jijik.Â
"Manusia memang bermuka dua, tiga, atau dua puluh lima," batin Ongko.Â
"Tidak, Pak. Nama itu cocok untuk dia."
"Tapi itu nama untuk manusia!" Paijo Kampret tersulut emosi seperti biasa. Telunjuknya menunjuk hidung Ongko.Â