Mohon tunggu...
Tia Sulaksono
Tia Sulaksono Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Random writer🔸Random photographer🔸Random learner Menulis itu foya foya rasa. Berpestalah dengannya agar kau bisa membungkam monyet dalam kepalamu yang berisik.

Random writer, suka menulis apapun. Buku solo: Petualangan Warna-Warni (kumpulan cerpen anak), JERAT KELAM (antologi cerpen horor). Dan 17 buku antologi puisi dan cerpen. Cerpen 'Tledhek Desa Kedungmati' juara 1 sayembara pulpen Kompasiana XVII. Cerpen 'Oetari' juara 1 lomba cerpen Arkaiscreative Publishing. Cerpen '6174' dan 'Boneka' juara harapan 2 Geladerikata. 'Multikultur Budaya Leluhur' terpilih menjadi juara 2 lomba menulis bersama Golagong. Cerpen 'Dunia Belum Kiamat' juara harapan 2 lomba Epilog Geladerikata. Buku kumcer Jerat Kelam meraih juara 2 Arkaiscreative. Penulis terfavorit versi Ellunar Publisher th 2022. Penulis terfavorit versi Ellunar Publisher th 2023. Perempuan biasa yang terbuat dari bahan organik tanpa pemanis buatan. Introvert yang hanya ingin dikenal melalui karyanya. Betina misterius dan keras kepala. Jangan panggil bu, karena bukan buibu. Antimainstream yang muak dengan hal template.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seorang Anjing dan Tiga Ekor Paijo

19 Januari 2025   21:25 Diperbarui: 19 Januari 2025   21:19 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Paijo ... Paijo ... gak tau adus." Kalau ini olokan yang sering diperdengarkan teman kecilnya dulu pada Ongko. 

Setelah yakin dengan keputusannya, Ongko mendatangi Mak Puk, satu-satunya tetangga yang baik padanya, untuk meminjam sedikit uang. Diajaknya Paijo bersama. Anjing kecil itu menggonggong singkat kemudian menggoyangkan ekornya. 

Ongko tahu Paijo sedang berterima kasih. Mak Puk pun tahu. Maka dengan lemah lembut tangan renta Mak Puk membelai kepala Paijo. Ongko lalu berjanji akan membayar hutangnya setelah mendapatkan gaji dari menggoreng krupuk di rumah pembuatan makanan kecil. 

Uang dari Mak Puk hendak ia belikan telur ayam, cuka, dan pewarna makanan. Ia akan memasak telur merah untuk syukuran sekaligus memperkenalkan nama Paijo pada tetangga sekitar yang tak seberapa banyak. Telur merah itu akan dibagikannya seperti tradisi manyue. 

Seketika, nama Paijo dikenal di kampung itu. Para tetangga menjulukinya dengan Paijo Kerek. Sehingga ketika ada yang menyebut nama Paijo mereka akan bertanya lebih lanjut, "Paijo mana? Paijo Brambang, Paijo Kampret, juragan Paijo, atau Paijo Kerek?"

Perihal anjing bernama Paijo pun menyebar dari mulut ke mulut, dari telinga ke telinga dengan tambahan bumbu penyedap. Misalnya kita mengatakan singkong, sampai tetangga sudah menjadi tape. Sungguh lidah tak bertulang. 

Paijo Kampret sedang menjambret kala tahu berita ini. Kepalanya terasa direbus. Nama Paijo memang tampak sederhana, tapi kakeknya dulu harus berpuasa tiga hari saat ingin menemukan nama yang tepat untuknya. 

Bubur abang, bubur putih, dan bubur baro-baro dibuat ketika nama tersebut diumumkan. Bahkan ketika Paijo Kampret sempat berganti nama karena sakit, kakeknya kembali membuat tiga bubur itu sambil nyuwuk ubun-ubunnya -- yang akhirnya diputuskan kembali menggunakan nama Paijo lagi sebab penyakitnya tak sembuh juga. Sungguh merepotkan. Jika kini nama yang setengah mati dipertahankan malah dijadikan nama anjing, tentu saja mengoyak harga diri Paijo Kampret. 

Berita tentang Paijo Kerek ini sampai juga ke telinga Paijo Brambang. Sama dengan Paijo lainnya, ia juga tak terima. Nama Paijo haruslah bersih sesuai dengan artinya yaitu polos dan lugu. Paling tidak, citra itu yang ia bangun agar dagangannya laris meskipun diam-diam berbuat curang. 

Oleh sebab itulah ia berkoordinasi dengan teman-teman pasarnya untuk mengumpulkan orang-orang bernama Paijo -- sayang sekali hanya sedikit warga bernama Paijo.

Setelah ketiga Paijo bertemu akhirnya dibuatlah kesepakatan untuk melaporkan masalah ini pada Pak Lurah. Namun mereka kecewa karena Pak Lurah menganggap masalah ini sepele dan hanya perlu diselesaikan secara kekeluargaan. Mereka memutuskan untuk menangani dengan cara sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun