Ketiga Paijo berdiri di depan pagar balai desa untuk menghadang lurah. Seorang pria berkemeja rapi maju memperkenalkan diri, yang disusul oleh seseorang lainnya.Â
"Saya Paijo."
"Paijo lagi? Sampeyan yang baju kuning, Paijo juga?" Pak Lurah kaget mendapati kedua nama yang sama.
Paijo baju kuning mengangguk santun. Tanpa sadar Pak Lurah memukul tembok pagar. Sekarang ada tiga nama, pikirnya.
"Cak Paijo ... Ah bagaimana saya harus memanggil nama sampeyan semua satu per satunya?"
"Kulo Paijo Brambang, Pak Lurah. Sebelah saya, yang jidatnya ada codet, itu Paijo Kampret dan yang ujung juragan Paijo," sahut Paijo baju kuning.Â
"Singkat saja, Pak Lurah. Kami semua ingin melaporkan penyalahgunaan nama Paijo," ucap juragan Paijo berapi-api.
"Ini gara-gara bocah bernama Ongko, Pak. Dia namai kereknya pakai Paijo." Paijo Brambang menimpali. Tangan kirinya sibuk merapikan kerah baju kuningnya.Â
"Intinya kami tak terima nama kami dipakai untuk anjing. Pak Lurah harus bertindak," teriak Paijo Kampret. Suaranya kencang, ludahnya menyembur seperti hujan musim kemarau.Â
***
Mata Ongko terbeliak. Ia tiba-tiba mengakhiri perenungannya di jamban. Setelah hampir sebulan berpikir, akhirnya ia menemukan nama untuk anjing kecil itu.Â
Ia pandangi anakan rottweiler yang selalu setia di sisinya. Rottweiler itu hadiah dari pacarnya untuk menjaga Ongko yang hidup sebatang kara.Â
"Paijo," bisik Ongko sembari tersenyum.Â
Ya, Paijo adalah nama yang tepat untuk anjingnya. Bagaimanapun lelaki muda itu sudah mengetahui asal usul peliharaannya tersebut. Bukan tentang stambum, ia sama sekali tak peduli tentang itu. Apapun yang pacarnya berikan, akan ia terima dengan rasa suka cita.
Anjing yang sepenuh hati ia anggap anak, ternyata pemberian dari pembunuh bapaknya. Anjing itu awalnya diberikan sebagai hadiah ulang tahun untuk anak Pak Camat. Sang pemberi mengetahui bahwa Pak Camat sangat menyayangi anak perempuan satu-satunya itu. Tentu saja ini adalah salah satu usaha gratifikasi. Ongko benar-benar mengutuk kebenaran ini. Baginya pengkhianat Tuhan tak lebih baik daripada rottweiler.Â
Ongko adalah orang yang taat. Tiap hari yang dilakukan hanya menyembah Tuhan. Kebaikan hatinya tak terkatakan. Seandainya ia sedang lapar dan hanya makan nasi lauk garam, dan saat itu ada yang meminta makanannya, pasti ia berikan. Hidupnya seolah bersih tanpa salah. Satu kesalahannya hanyalah jatuh cinta pada perempuan anak Pak Camat.
Namun Ongko merasa kehidupan sungguh tak berpihak padanya. Bagaimana ia kecil selalu dijauhi karena kemiskinan. Bapaknya hanya bekerja sebagai tenaga keamanan di tempat usaha juragan Paijo -- yang akhirnya sang bapak meninggal dengan tragis cuma karena ingin keluar dari pekerjaan. Kabarnya, juragan Paijo takut jika bisnis terselubungnya terbongkar. Citra si juragan di depan warga kampung tentu jelek sebab dua tahun mendatang, juragan Paijo hendak mengajukan diri menjadi lurah.
Jiwa Ongko terasa tercincang menjadi serpihan kecil. Maka dari itu tercetuslah sebuah nama di otaknya. Paijo, nama juragan prostitusi tempat bapaknya bekerja, kini ia sematkan untuk nama rottweiler-nya. Bukankah itu sebuah penghargaan?
Toh nama Paijo juga bukan nama ningrat. Orang Jawa menganggap nama ini sebagai nama untuk kasta rendah. Di kampungnya, nama Paijo sebenarnya adalah julukan untuk mengolok-olok ketika seseorang berbuat kekonyolan.
"Gak tau diri. Dasar Paijo!"Â
"Dasar Paijo, pulang gak pamit." Begitu umpatan kebanyakan orang.Â
"Paijo ... Paijo ... gak tau adus." Kalau ini olokan yang sering diperdengarkan teman kecilnya dulu pada Ongko.Â
Setelah yakin dengan keputusannya, Ongko mendatangi Mak Puk, satu-satunya tetangga yang baik padanya, untuk meminjam sedikit uang. Diajaknya Paijo bersama. Anjing kecil itu menggonggong singkat kemudian menggoyangkan ekornya.Â
Ongko tahu Paijo sedang berterima kasih. Mak Puk pun tahu. Maka dengan lemah lembut tangan renta Mak Puk membelai kepala Paijo. Ongko lalu berjanji akan membayar hutangnya setelah mendapatkan gaji dari menggoreng krupuk di rumah pembuatan makanan kecil.Â
Uang dari Mak Puk hendak ia belikan telur ayam, cuka, dan pewarna makanan. Ia akan memasak telur merah untuk syukuran sekaligus memperkenalkan nama Paijo pada tetangga sekitar yang tak seberapa banyak. Telur merah itu akan dibagikannya seperti tradisi manyue.Â
Seketika, nama Paijo dikenal di kampung itu. Para tetangga menjulukinya dengan Paijo Kerek. Sehingga ketika ada yang menyebut nama Paijo mereka akan bertanya lebih lanjut, "Paijo mana? Paijo Brambang, Paijo Kampret, juragan Paijo, atau Paijo Kerek?"
Perihal anjing bernama Paijo pun menyebar dari mulut ke mulut, dari telinga ke telinga dengan tambahan bumbu penyedap. Misalnya kita mengatakan singkong, sampai tetangga sudah menjadi tape. Sungguh lidah tak bertulang.Â
Paijo Kampret sedang menjambret kala tahu berita ini. Kepalanya terasa direbus. Nama Paijo memang tampak sederhana, tapi kakeknya dulu harus berpuasa tiga hari saat ingin menemukan nama yang tepat untuknya.Â
Bubur abang, bubur putih, dan bubur baro-baro dibuat ketika nama tersebut diumumkan. Bahkan ketika Paijo Kampret sempat berganti nama karena sakit, kakeknya kembali membuat tiga bubur itu sambil nyuwuk ubun-ubunnya -- yang akhirnya diputuskan kembali menggunakan nama Paijo lagi sebab penyakitnya tak sembuh juga. Sungguh merepotkan. Jika kini nama yang setengah mati dipertahankan malah dijadikan nama anjing, tentu saja mengoyak harga diri Paijo Kampret.Â
Berita tentang Paijo Kerek ini sampai juga ke telinga Paijo Brambang. Sama dengan Paijo lainnya, ia juga tak terima. Nama Paijo haruslah bersih sesuai dengan artinya yaitu polos dan lugu. Paling tidak, citra itu yang ia bangun agar dagangannya laris meskipun diam-diam berbuat curang.Â
Oleh sebab itulah ia berkoordinasi dengan teman-teman pasarnya untuk mengumpulkan orang-orang bernama Paijo -- sayang sekali hanya sedikit warga bernama Paijo.
Setelah ketiga Paijo bertemu akhirnya dibuatlah kesepakatan untuk melaporkan masalah ini pada Pak Lurah. Namun mereka kecewa karena Pak Lurah menganggap masalah ini sepele dan hanya perlu diselesaikan secara kekeluargaan. Mereka memutuskan untuk menangani dengan cara sendiri.Â
***
Masih mengalungkan handuk merah pudar yang sedikit sobek di tengahnya, Ongko menemui tiga orang Paijo yang datang ke gubuknya. Air di rambutnya menetes-netes, meleleh melalui jidat menuju pipi dan berakhir di mulut, menandakan kalau ia baru saja mandi.Â
"Monggo, Pak, Cak, masuk aja."Â
Ketiga tamu Ongko saling lirik. Dua orang di antaranya memasang ekspresi jijik. Ongko melihat dengan jelas, tapi tak peduli. Ia menatap ketiga tamunya dengan diam sambil sesekali menyesap air tetesan dari rambutnya.
"Kamu pemilik kerek yang bernama ... mmph ...?" Paijo Kampret membuka suara dan tampak kebingungan ketika hendak menyebut nama anjing Ongko. Sepertinya sangat tak rela.
"Paijo. Nama anjing saya Paijo."
"Ghuk!" Paijo Kerek menyahuti dari jauh yang membuat ketiganya menoleh ke arahnya. Juragan Paijo tampak tak mengenali anak anjing itu.
"Nak Ongko, sebaiknya nak Ongko mengganti nama untuk kerek tersebut." Paijo Brambang menasihati dengan lemah lembut. Tak lupa senyum termanis ia pasang. Sekarang ganti Ongko menatap lawan bicaranya dengan jijik.Â
"Manusia memang bermuka dua, tiga, atau dua puluh lima," batin Ongko.Â
"Tidak, Pak. Nama itu cocok untuk dia."
"Tapi itu nama untuk manusia!" Paijo Kampret tersulut emosi seperti biasa. Telunjuknya menunjuk hidung Ongko.Â
"Tolong ganti nama anjingmu, bocah. Aku akan memaafkan kesalahan bapakmu." Juragan Paijo yang sejak tadi diam, akhirnya bicara juga.
"Saya jadi semakin yakin untuk tetap menamai anjing saya Paijo setelah Anda mengucapkan ini, pembunuh dan tukang fitnah."Â
Di sudut teras, Paijo Kerek menegakkan telinga, bersiap melindungi saudara serumah. Ketika tangan juragan Paijo mencekal kaos Ongko, Paijo kerek berlari menerjang yang membuat juragan itu terjengkang duduk di tanah dengan Paijo Kerek di atasnya. Tampak kasihan.Â
Ongko menyandarkan punggungnya pada gedhek untuk menikmati pertunjukan ini. Dia melupakan ajaran agama yang sejak bayi merendam otaknya. Dia juga melupakan petuah bapaknya tentang jiwa welas asih. Ah, apa itu welas asih? Sedari kecil orang sekitarnya tak pernah memberinya contoh.Â
Namun entah apa yang terjadi, kedua mahluk beda jenis itu saling bertatapan. Beberapa detik kemudian Paijo Kerek mundur menampakkan wajah bingung. Kedua Paijo membantu juragan Paijo berdiri. Mereka bertiga segera berlari menjauh. Paijo Kerek mengikutinya, lebih tepatnya Paijo Kerek mengikuti mantan pemiliknya.Â
"Paijo!" teriak Ongko memanggil anjingnya.
Keempat Paijo menoleh tapi tak berhenti. Hah, bahkan Paijo Kerek adalah seorang anjing.
Catatan:
Cak: mas
Kerek: anak anjing
Gak tau adus: gak pernah mandi
Manyue: tradisi Tiongkok untuk merayakan usia satu bulan (40 hari) sekaligus mengenalkan nama bayi.
Nyuwuk: ritual mendoakan orang sakitÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H