“Maksudnya?”
“Berabad-abad lamanya peneliti kami berusaha menemukan pil kebahagian, namun tak pernah berhasil. Hingga ketika kami meretas bumi, kami berhasil mengidentifikasi keberadaan kopi. Rupanya, itulah yang selama ini ingin diciptakan oleh para peneliti kami. Maka, kami pun melakukan ekspedisi ke bumi,”
“So, tujuan ekspedisi kalian selama ini ke bumi semata-mata untuk kopi?”
“Yup!” ucap Mark meyakinkan, “Maka berbahagialah kalian karena hidup di bumi dimana kopi tumbuh dengan baik,”
Kali ini aku mengangguk-angguk. Entah karena perasaan bangga sebagai manusia bumi atau karena berusaha memercayai semua yang Mark katakan.
Tak terasa sudah jam 2 dini hari. Dan aku baru sadar bahwa kedaiku sudah sepi, para pelangganku sudah pada pulang. Rupanya Mark, sekali lagi, mampu membaca isi otakku. Dia tersenyum sebelum kemudian berpamitan.
Mark merogoh kantong jaketnya dan aku segera mencegahnya. “Tidak usah bayar. Kali ini gratis,”
Mark tak sepakat, ia tetap ingin membayarnya. Dan aku tetap menolaknya. Hingga akhirnya dia mengeluarkan sebuah benda bulat seukuran kepalan tangan. Benda itu berwarna putih dengan guratan warna merah di tengahnya. Astaga! Guratan itu adalah logo kedai kami, logo Laku Kopi!
“Simpanlah, biar saya bisa langsung mengenali koordinat Laku Kopi,” ujarnya.
“Ok. Akan saya simpan,” kataku, “Dan anytime, silakan datang lagi kesini. Sesukamu. Dan pesanlah kopi semaumu,”
Mark mengangguk. Tersenyum. Kemudian melangkah pergi. Aku tak melihat lebih lanjut apa yang terjadi padanya, bagaimana ia memecah tubuhnya menjadi partikel-partikel kemudian menghamburkan dirinya melalui rongga udara Bumi untuk menjangkau pesawatnya.