"Mengenai potensi dan persaingan pertaksian di Jakarta, teman saya yang periset itu pernah menelitinya pada tahun 2012," ujar saya.
Persaingan taksi ini kan sifatnya oligopoli, perbedaan layanan atau diferensiasi antar pemain sangat tipis alias identik. Namun, dari sekian banyak perusahaan taksi yang beroperasi di DKI itu, 69,7% marketnya dikuasai hanya oleh dua pemain, yaitu Blue Bird (55,2%) dan Express (14,5%). Urutan berikutnya adalah Taxiku (5,6%), Putra (3,3%), dan Gamya (2,8%). Taksi-taksi lainnya berebut kue 18,6%.
"Gede juga ya market share Blue Bird," sela Om Firza menyimpulkan.
"Ya, sampai sekarang pun masih gede," timpal Om Fredi.
“Tapi itu kan tahun 2012, waktu itu belum ada taksi online, kan?” sambut Om Firza. “Nah, kalau sekarang bagaimana? Karena kalau kita baca-baca di koran, lihat di TV, sopir-sopir taksi itu demo kan karena hasil tangkapan mereka berkurang.”
“Ya, itu! Itu balik lagi ke pertanyaan saya tadi,” kata Om Fredi sambil nyomot onde-onde dagangannya lalu memasukkannya begitu saja ke mulutnya.
Ok, sekarang kita lihat deh laporan keuangan Blue Bird dan Express. Menurut laporan keuangan kuartal III/2015, pendapatan Blue Bird itu mencapai Rp 4 Triliun lebih. Tumbuh 17,2% dibanding tahun sebelumnya.
“Hah, empat trilyun?” ucap Om Dani sambil geleng-geleng kepala seolah tak percaya.
“Ya, empat koma nol tiga trilyun!” kata saya menegaskan.
Sementara Express, dalam Laporan Keuangannya pada 30 September 2015, pendapatannya mencapai Rp721 miliar atau tumbuh12,6% dibanding tahun sebelumnya.
“Angka-angka tadi itu laba?” tanya Om Fredi.