[caption caption="Para sopir taksi berdemo di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/3/2016). Sumber Foto: Kompas/Wawan H. Prabowo."][/caption]Saya baru saja menyelesaikan tulisan Para Pencuri Tuhan ketika Om Firza dan Om Dani datang. Seperti biasa, kami bersalaman dan saling menanyakan kabar. Seolah sudah lama tak bertemu. Padahal baru seminggu lalu kami ngobrol di tempat yang sama, di kedai kopi yang berlokasi di Pasar Segar Graha Raya Bintaro.
Di kedai yang bernama Laku Kopi itu obrolan kami selalu beragam. Mulai dari tanaman, politik, isu-isu yang lagi trending di media sosial, sejarah nusantara, hingga masalah kebatinan. Sore itu topik pembicaraan kami menukik pada masalah demo sopir taksi.
Seperti kita tahu, pada 22 Maret lalu sebagian Jakarta sempat dibikin lumpuh oleh unjuk rasa sopir taksi. Demo yang konon disulut oleh kehadiran transportasi berbasis aplikasi itu bahkan berujung pada tindakan anarkis.
"Sebenarnya, apakah taksi-taksi konvensional itu memang sudah kalah saing dengan taksi online?" tanya Om Fredi pemilik Laku Kopi yang turut bergabung dalam obrolan kami.
"Mestinya sih gitu," jawab Om Firza," buktinya mereka sampai unjuk rasa tuh," lanjutnya.
Obrolan seputar taksi itu sontak mengingatkan saya pada diskusi malam sebelumnya dengan seorang teman yang biasa saya panggil Appara, seorang researcher yang kebetulan pernah meriset persaingan industri taksi.
Saya juga jadi teringat berita di Harian Kompas beberapa hari sebelumnya. Menurut Kompas, jumlah armada taksi yang beroperasi di Jakarta pada Juli 2015 tercatat 24.268 taksi. Angka tersebut menurun dari catatan sebelumnya pada 2013 yang mencapai 27.079 armada dan 34 perusahaan (Kompas, 16 Maret 2016).
Mengacu data Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP) Kementerian Perhubungan, jumlah operator taksi di DKI pada 2009 berjumlah 43 perusahaan. Itu artinya dari 2009 hingga 2013 terdapat sembilan operator taksi yang gulung tikar. Ingat, pada periode 2009 sampai 2013 itu belum ada taksi online yang beroperasi di Jakarta, lho!
"Wah, kalau lihat data-data itu, tanpa adanya taksi online pun persaingan di industri taksi sudah ketat, yah?" Simpul Om Dani.
“Tepatnya transportasi online atau transol,” ujar Om Firza mencoba mengoreksi.
“Oh, iya. Betul. Karena ada ojek online juga, yah...” kata Om Dani kemudian.
"Mengenai potensi dan persaingan pertaksian di Jakarta, teman saya yang periset itu pernah menelitinya pada tahun 2012," ujar saya.
Persaingan taksi ini kan sifatnya oligopoli, perbedaan layanan atau diferensiasi antar pemain sangat tipis alias identik. Namun, dari sekian banyak perusahaan taksi yang beroperasi di DKI itu, 69,7% marketnya dikuasai hanya oleh dua pemain, yaitu Blue Bird (55,2%) dan Express (14,5%). Urutan berikutnya adalah Taxiku (5,6%), Putra (3,3%), dan Gamya (2,8%). Taksi-taksi lainnya berebut kue 18,6%.
"Gede juga ya market share Blue Bird," sela Om Firza menyimpulkan.
"Ya, sampai sekarang pun masih gede," timpal Om Fredi.
“Tapi itu kan tahun 2012, waktu itu belum ada taksi online, kan?” sambut Om Firza. “Nah, kalau sekarang bagaimana? Karena kalau kita baca-baca di koran, lihat di TV, sopir-sopir taksi itu demo kan karena hasil tangkapan mereka berkurang.”
“Ya, itu! Itu balik lagi ke pertanyaan saya tadi,” kata Om Fredi sambil nyomot onde-onde dagangannya lalu memasukkannya begitu saja ke mulutnya.
Ok, sekarang kita lihat deh laporan keuangan Blue Bird dan Express. Menurut laporan keuangan kuartal III/2015, pendapatan Blue Bird itu mencapai Rp 4 Triliun lebih. Tumbuh 17,2% dibanding tahun sebelumnya.
“Hah, empat trilyun?” ucap Om Dani sambil geleng-geleng kepala seolah tak percaya.
“Ya, empat koma nol tiga trilyun!” kata saya menegaskan.
Sementara Express, dalam Laporan Keuangannya pada 30 September 2015, pendapatannya mencapai Rp721 miliar atau tumbuh12,6% dibanding tahun sebelumnya.
“Angka-angka tadi itu laba?” tanya Om Fredi.
“Bukan. Itu pendapatan,” jawab saya.
Kalau bicara laba, ada laporan yang sangat menarik nih. Menurut penelusuran Bareksa.com, Express mampu menyisihkan keuntungan operasional hingga 58% dari total pendapatan. Gila! Ini angka besar banget, di atas rata-rata indutri taksi, bukan hanya di Indonesia, tetapi di Asia Pasifik! Dengan prosentase sebesar itu, Express menjadi perusahaan taksi nomor wahid dalam hal rasio keuntungan. Di Asia Pasifik!
“Ck ck ck!” Om Fredi mendecak, entah karena kagum atau karena mulutnya penuh minyak onde-onde.
Sementara Blue Bird, masih menurut Barkesa.com, mampu mencapai marjin laba operasional 35%. Juga di atas rata-rata industri di Asia Pasifik yang hanya 29%!
“Walhasil, laba bersih Blue Bird sampai September 2015 tercatat sebesar Rp625 miliar, atau tumbuh 16 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya,” demikian yang ditulis Bareksa.com pada 23 Maret 2016.
“Wah, kalau lihat data itu luar biasa banget ternyata, ya?” ujar Om Firza seraya menengok ke arah Om Dani seolah meminta persetujuan. Om Dani hanya manggut-manggut sambil memonyongkan bibirnya yang terkatup rapat sehingga menimbulkan garis-garis tebal di dagunya.
“Artinya, kalau kita lihat dari kinerja Blue Bird sama Express itu tadi, kehadiran taksi online ternyata belum ngaruh, ya?” tanya Om Fredi kemudian.
“Ngaruh nggak ngaruh kali...” Tiba-tiba Aki, sang ‘barista’ kedai, turut komentar sambil menyajikan arem-arem di atas meja.
“Arem-aremnya isi apa, Ki?” tanya saya sambil nyomot sebuah.
“Waduh, Aki nggak tahu,” jawab Aki, “Soalnya Aki belum pernah masuk ke dalamnya,” sambungnya enteng sambil ngeloyor. Sementara kami terbahak mendengar jawaban spontan dari pria berkepala lima – hampir enam – itu.
“Kalau bicara jumlah armada... berapa tadi? Dua puluh empat ribu sekian, yah?” tanya Om Dani yang saya jawab dengan anggukan sambil menikmati arem-arem –yang ternyata isinya sayuran, “Timbul pertanyaan, apakah jumlah taksi itu sudah memenuhi permintaan pasar? Karena kenyataannya kita sering nunggu taksi di pinggir jalan lamaaa sekali,” lanjut Om Dani.
“Ya, betul,” imbuh Om Fredi, “Nunggu taksi itu ibarat nunggu jodoh. Kalau ditungguin kagak datang, giliran gak ditungguin berseliweran, hahaha!”
Sampai saat ini belum ada data resmi tentang berapa sebenarnya jumlah pelanggan taksi di DKI. Tapi kalau bicara potensi, sebenarnya masih besar. Kita lihat saja data jumlah pekerja di DKI. Menurut Data Pemprov DKI, per Februari 2015 di Jakarta ada 5juta lebih pekerja. Taruhlah hanya 10% yang berpotensi menjadi pelanggan taksi, itu artinya ada 500.000 orang per hari. Belum lagi pekerja yang berdomisili di kota-kota satelitnya. Byuh! Bisa dua kali lipatnya.
“Oh, mungkin karena itu yah, kita sering kesulitan dapetin taksi kosong,” ucap Om Fredi.
“Bisa jadi, apalagi kalau pas jam enam sampai sepuluh pagi, beuh! Susahnya minta angpao!” tambah Om Firza sambil mengepulkan asap rokoknya.
Menurut riset yang dilakukan Appara teman saya itu, 58% pengguna taksi menggunakan layanan taksi pada jam-jam segitu, 6–10 pagi. Sebesar 66% dari yang 58% itu naik taksi dari rumah menuju kantor, dengan cara turun ke pinggir jalan alias nyegat (56%), sisanya pesan lewat telepon.
Nah, urusan pilih memilih taksi ini juga menarik. Umumnya pengguna layanan taksi sudah punya preferensi terhadap merek taksi tertentu. Oleh karena itu, mereka sabar menunggu di pinggir jalan demi dapetin merek taksi yang disukainya. Sayangnya, seperti kata quote-quote di Facebook dan Whatsap, kesabaran itu ada batasnya.
Sebanyak 74 persen calon penumpang taksi akan memilih taksi lain jika taksi yang menjadi preferensinya tak kunjung muncul dalam dua puluh menit. Sementara 20 persennya masih bersedia menunggu hingga 30 menit. Nah, sisanya (6%) rela menunggu lebih lama, yaitu hingga 40 menit.
“Yang enam persen itu pasti pakai voucher dari kantor, tuh! Hahaha,” sergah Om Fredi yang dibetal-betulkan oleh Om Firza.
“Sebentar, sebentar, menarik tuh yang soal preferensi itu tadi,” Om Dani menyela, “Sebenarnya apa saja sih faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang lebih memilih taksi tertentu dari pada taksi yang lain?”
Ada lima faktor yang memengaruhi seseorang dalam memilih taksi. Pertama, faktor keamanan. Ini faktor paling kuat yang mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang dalam memilih taksi.
“Make sense, apalagi kalau kita ingat angka kejahatan jalanan di Jakarta semakin tinggi,” simpul Om Dani.
Di urutan kedua adalah faktor kemudahan mendapatkannya. Seperti yang tadi sudah kita obrolin, orang tidak sudi berlama-lama di pinggir jalan hanya untuk menunggu datangnya taksi. So, jika taksi yang diincarnya tak kunjung datang, dia akan beralih ke taksi lain (yang ada di urutan kedua dalam peta preferensinya) yang kebetulan melintas di depannya.
“Hmm, sepertinya faktor itu juga yang bikin orang-orang pindah ke taksi online. Tinggal pesen pakai handphone, duduk manis, taksi datang,” kata Om Fredi menimpali.
"Bisa juga ganti ke ojek online," imbuhnya.
"Betul. Ojek online itu akhirnya menjadi alternatif paling ok, apalagi kalau kita buru-buru dan mempertimbangkan kemacetan," timpal Om Dani.
"Trus faktor yang ketiga apa?" kejar om Firza.
Yang ketiga adalah soal tarif. Sejak diberlakukan tarif batas atas dan batas bawah di industri pertaksian, tarif menjadi variabel penting bagi konsumen. Aturan ini pula yang turut melambungkan Express karena memilih menerapkan tarif bawah plus kondisi mobil yang relatif baru dibanding pesaing lainnya selain Blue Bird.
“Dan alasan tarif yang lebih murah itu pula lah yang bikin orang-orang mulai beralih ke layanan taksi aplikasi,” ucap Om Firza berusaha menarik simpul.
Faktor keempat adalah pengetahuan supir tentang jalan. Kalau kita baca di media sosial banyak tuh yang mengeluhkan sopir-sopir taksi yang ternyata nggak tahu jalan. Calon penumpang taksi pun kadang nggak tahu jalan juga, kan? Selain itu, banyak juga penumpang taksi yang niat naik taksi karena ingin duduk tenang sambil mainin gadget, tahu-tahu udah nyampe di tujuan aja. Makanya akan jadi menyebalkan jika si penumpang juga harus jadi penunjuk jalan buat sopir taksinya.
Kelima adalah jarak tempuh. Ada kecenderungan semakin jauh jarak tempuhnya, calon penumpang akan memilih taksi dengan tarif bawah. Lebih irit, Om!
"Yah, itu sih gue banget. Hahaha!" Sergah Om Fredi sambil nyeruput JCo, salah satu menu andalan di kedai miliknya. Namanya keren kan? padahal itu singkatan Jahe Coffee. Hahaha!
Diskusi kami berjalan semakin hangat dan baru berakhir ketika adzan Maghrib berkumandang dari mushola Pasar Segar. Satu per satu dari kami berpamitan setelah sebelumnya membayar kopi yang dipesannya masing-masing. Saya keluarkan Rp 18.000 untuk secangkir kopi tubruk Gayo Arabica Red Mountain.
***
@thriologi
Bintaro, Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H