Mohon tunggu...
Thomy Satria
Thomy Satria Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menulis cerpen, dan lagu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Kelamku, Pintasan Surgamu

11 November 2024   09:57 Diperbarui: 20 November 2024   22:43 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja Kelamku, Pintasan Surgamu

Namaku Bahir. Tuhan sudah membuatku seperti mayat hidup berusia 92 tahun yang masih bisa berjalan, bicara, makan, dan buang air. Percayalah Nak, merawat orang tua lumpuh dan bisu, jauh lebih menyenangkan daripada merawat gaek menyebalkan sepertiku.

Kerjaku hanya mengeluh, marah, menyindir, bertanya dan bertanya padahal telingaku sudah tak berguna. Penglihatanku sudah seperti kaca beruap. Digerogoti oleh katarak akut yang tak mau ku obat.

Menua bersama. Terdengar romantis bukan? Tapi percayalah, Nak. Jangan sampai se bangkot ini! Istriku lima tahun lebih muda! Bungkuknya sudah merukuk! Berjalan dengan tongkat kemana-mana. Dia sudah tidak bisa lagi mengurusku!

Sementara aku dengan jumawa hanya mau menggunakan dinding untuk menopang langkah tatihku. Tongkat hanya membuatku tampak terlalu renta, ujarku. Cucuku sangat kesal mendengar itu.

Aku terus berjalan menuju pintu keluar untuk menghirup udara segar. Tapi tiba-tiba saja vertigo membuatku oleng hingga terjatuh menghempaskan pantatku yang hanya tulang berbalut kulit jangat tanpa daging alih-alih lemak.

Dengan kesal, tangan kasar cucuku menaikkanku ke kursi rodaku. Rasanya sendi lenganku hampir lepas. Carut kebun binatang dari mulutku terlontar begitu saja untuknya.

Tidak sama dengan cucuku. Ibunya, Si Ani, lebih santun. Dia mendorong kursi rodaku dengan perlahan dan lembut. Sampai ke halaman rumah untuk mandi cahaya mentari pagi.

"Hei kemana aku mau kau bawa, Ani?! Mana si Topan anakmu? Biar dia saja yang mendorongku! Dia lebih kuat! Si pemalas itu yang harusnya melakukan ini! Bukan kau!" gerutuku dengan suara keras yang hanya terdengar seperti bisikan di telinga pekakku.

“Bagaimana bisa tubuh itu hanya tinggal tulang tapi suaranya seperti elang.” gumam Topan heran.

Ani berhenti mendorong kursi roda itu di tengah halaman, dan berucap ke telingaku: "Papa berjemur dulu biar sehat!"

"Tercebur?"

"BER JE MUR!”

"Berjemur? Untuk apa?"

"Biar sehat!"

"Berserak?"

"BIAR SEHAT!"

"Bisa pula cahaya matahari bikin sehat?"

”BISA!" Ani langsung berteriak saja sampai ludahnya sedikit menyembur. Topan yang melihatnya sontak mendengus menahan gelak.

Apa hebatnya berumur panjang? Menua bersama pasangan? Jika kalian sudah uzur, cepatlah mati saja! Jangan sepertiku, hanya menjadi beban bagi anak dan cucuku yang kurang sabar ini. Istriku juga sering membentakku karena aku mulai suka menunda sembahyang.

Aku punya kebiasaan memeriksa semua pintu dan jendela rumahku setiap malam. Walau sudah dilarang si Topan, cucu pelupa itu tak pernah kupercaya menggantikan tugas muliaku ini. Kubacakan doa didepan pintu itu sambil komat-kamit tertunduk hingga air liurku menetes tanpa ku sadari.

Lalu aku kembali ke sofa malasku. Merebahkan diri dengan posisi kepala agak tinggi. Nyaman sekali walau semua sendiku masih berdenyut sakit setiap detiknya.

Pharises sudah menekan pembuluh vena kakiku, menonjol dari balik kulit keriputku seperti belitan ular lidi. Penderitaan radang sendi ini juga sering aku keluhkan tanpa sabar sampai ingin bunuh diri.

"O, Tuan Kuning. Tuan sudah sembahyang?" tanya istriku, Ramlah. Gelarku adalah Datuk Kuning. Sejak aku mendapatkan gelar adat itu, istriku selalu memanggilku dengan Tuan Kuning sebagai bentuk hormatnya.

"Ha?" dulu aku mungkin sering tidak mau mendengarkan kata orang. Menyepelekan ucapan orang. Masuk telinga kanan keluar telinga kidal. Sekarang aku betul-betul tidak bisa mendengarkan kata orang walaupun telinga sudah kupasang.

"Sudah sembahyang isya?! Uhuk uhuk!" istriku sudah terlalu tua untuk berteriak dengan suara keras. Pita suaranya sudah tak kuat lagi sehingga terbatuk-batuk.

"Aku ini sudah mayat, Ramlah. Telingaku sudah Tuhan ambil fungsinya. Suaramu terdengar tapi buah katamu tidak sampai lagi ke otakku. Rasanya seperti terhalang suara riak ketika menyelam didalam air. Apa katamu tadi? Sembahyang?" tanyaku lagi.

"Iya! Uhuk uhuk!”

"Sembahyang apa sekarang?"

"ISYA!!" Ani datang menyela agar ibunya tak perlu berteriak lagi.

"Sekarang ini waktu isya? Kukira waktu Ashar. Tunggu dulu, kakiku masih sakit setelah berjalan tadi. Aku istirahatkan dulu sebentar." baru saja aku melakukan ritual mengunci pintu-pintu rumahku. Itu biasa ku lakukan tiap malam. Dan bisa-bisanya sekarang aku berpikir ini masih sore.

“Berjalan mengunci pintu rumah kuat. Berjalan mengambil air wudhu tidak kuat?” gerutu Ramlah tanpa bisa kudengar

"TAYAMUM AJA!!" Seru Ani.

"Tayamum? Apa itu tayamum?" Alzheimer sudah menggerogoti memoriku, banyak hal umum yang sudah kulupa.

Ani meraih tanganku, lalu mengusapkan kedinding, kemudian mengusapkan ke wajah dan punggung tanganku.

"ITU NAMANYA TAYAMUM, PENGGANTI WUDHU, SEKARANG PAPA UDAH BISA SOLAT"

"Solat apa?" tanyaku lagi.

"Orang gila udah ga wajib solat! Hahaha!" ledek Topan tertawa sinis.

"Diam kau Topan!" Ani melotot berang.

"Ha? Kau bilang apa?" mataku nyaris buta sudah. Aku bahkan tidak tau Ani bukan sedang bicara kepadaku.

"Jangan paksa kakek solat, Bu. Dia sudah tidak wajib solat. Bahkan bacaan dan rakaatnya saja dia sudah tidak ingat." Saran Topan kepada ibunya.

"Pergi saja ke kamarmu. Kesini lagi kalau ibu butuh bantuan!"

"Oke, ya sudah lah." Jawab Topan berlalu ke kamarnya.

"Ha? Kau bilang apa? Cuan?” tanyaku penasaran. Kalo berhubungan dengan cuan, aku sangat tertarik.

"SOLAT LAH PAPA! SUDAH MASUK WAKTU ISYA!”

“Jam berapa sekarang?” aku masih bertanya lagi. Membuat Ani makin di ujung kesabarannya.

Tidak perlu kalian dengar lanjutan dialog antara aku dan Ani. Ku lanjutkan saja dengan narasi ini. Singkat cerita, aku sudah selesai solat dan Ani menyuruhku tidur. Aku pun tidur di sofa malasku. Sebentar-sebentar aku panggil Ani sekedar bertanya apakah dia sudah tidur, sekarang jam berapa, apakah pintu kandang ayam sudah dikunci, apakah beras untuk besok masih ada. Ani enggan menjawabnya. Sampai aku tertidur.

Tepat jam 12 malam aku terbangun. Aku merengek ketakutan sehabis bermimpi buruk yang aku tak ingat detailnya. Segera ku panggil Ani yang dipannya disebelah sofa malasku.

“ANII!!!”

Ani pun terjaga dengan gusar. Dia sudah menyumbat telinganya dengan buntalan tisu sebelum tidur. Tapi suara lantangku masih membangunkannya. Ani berharap tidurnya tanpa telinga saja agar bisa nyenyak sampai terbangun di pagi hari.

Aku panik serasa berada di tempat asing. "Aku dimana? Tolong antar aku pulang!" Ani mengambil uang 15 juta dalam amplop dan menunjukkannya padaku. Aku langsung ingat itu uang yang kutabung untuk urusan perkuburan jenazahku suatu hari nanti. Setelah melihat uang, kesadaranku kembali. Aku mulai ingat, ini bukan tempat asing melainkan rumahku sendiri.

Aku lanjut mengeluhkan uzurku. Lalu menggunjingkan para keponakanku yang tidak pernah datang menjengukku. Padahal waktu masih sehat, aku sering membantu mereka dalam banyak hal. Si Ifkar kemenakan mahkotaku sudah jadi kepala desa sekarang. Bahkan tidak mau mewarisi gelar datukku lebih awal. Biar lepas tanggung jawab adat yang ku tanggung ini.

Ya, aku mengungkit-ungkit jasaku. Itu hobi lama yang kambuh lagi. Aku juga mulai rajin merisaukan padi di sawah. Bertanya kapan akan dipanen. Berapa hasil panennya. Itulah yang paling dibenci cucuku. Si keriput ini makin tua makin gila bicara dunia alih-alih bicara akhirat.

Ani memohon kepadaku agar membiarkannya kembali tidur. Tapi aku pura-pura tidak dengar dan lanjut bercerita sampai istriku terbangun karena terganggu suaraku yang kata Topan sekeras suara elang itu. Egois bukan? Bisakah kau bersabar jika kau jadi Ani?

Tapi kali ini aku lanjut bercerita tentang betapa aku bersyukur ada Ani. Kalau Ani tidak ada. Matilah aku. Sengsaralah aku. Aku bisa meringkuk di RSJ atau panti jompo.

Pernah aku hilang tengah malam. Ani dan Topan mencariku sampai mendapatiku sedang duduk kebingungan di dekat pasar. Aku ungkit kisah itu lagi dan aku puji-puji Ani. Seolah Ani sudah lebih dari Tuhan bagiku. Tuhan cuma penyiksaku.

Kau takkan sanggup menahan nyerinya seluruh sendi; hilang telinga dan mata; serta kepala yang terus berdenyut seperti digerogoti maggot ini. Harusnya aku sudah mati sejak dulu, berkali-kali aku berpikir ajalku pasti hari ini. Tapi sampai sekarang aku masih hidup! Aku pun tak peduli lagi pada Tuhan. Yang aku pedulikan hanyalah manusia seperti Ani yang mengerti aku. Tuhan tidak mengerti aku.

Dulu aku tidak sebodoh ini, Nak. Aku, Datuk Kuning dari kaum Piliang Lawas. Di Minang, menerima gelar datuk berarti menerima tugas menjaga dan memelihara semua anggota kaumku secara garis keturunan matrilineal. Ringkasnya, anak ibuku; anak saudari perempuan ibuku; sampai cucu-cucu dari anak perempuan mereka; berada dibawah tanggung jawabku.

Aku dulu juga mendapat tugas sebagai pengumpul literatur adat di kantor kepala desa. Berburu manuskrip para pendahulu dan mengetiknya ulang menggunakan mesin tik tua milikku. Aku cukup disegani dikalangan para Datuk di desa ini sebagai tempat bertanya seputar masalah adat.

Nasehat bijakku sering diminta untuk menyelesaikan sengketa adat dari kaum lain. Keahlianku dalam menyelesaikan masalah, membuatku makin dihormati oleh para datuk di Desa Tarandam ini.

Aku dulu juga seorang guru SD. Banyak bekas muridku yang sudah beranak cucu, menyapaku di jalan. Tapi niat mengajarku keliru. Aku berniat memperbaiki muridku. Akhirnya ilmuku hanya untuk mereka, tidak kembali kepadaku. Seharusnya sembari mengajar aku berniat ishlah diri. Agar ajaranku kembali ke diriku sendiri. Mungkin sekarang aku sudah jadi insan yang ihsan penuh ketenangan. Bukannya jadi mayat berjalan yang penuh ketakutan dan juga kesombongan.

Sejak pensiun, aku selalu sholat berjamaah di rumah dengan nenekmu. Mungkin ini juga kenapa Tuhan enggan padaku. Jumawa dengan amalku yang sebenarnya tiada harga di hadapanNya. Seharusnya aku jadi ahli masjid sejak dulu. Bukan berbangga istiqomah berjamaah dengan istriku dirumah, padahal Musholla Simabur berdiri tepat didepan rumahku.

Siapa sangka usia senjaku sekelam ini. Sepertinya di ufuk barat sana mega mendung dengan gagah menghalangi cahaya mentari jingga. Akalku, mataku, telingaku, kekuatanku, kecerdasanku, kebijaksanaanku, telah Tuhan rampas semua. Tak ada lagi nasehat bijak yang bisa kalian harapkan. Yang tersisa hanya keluh kesah dan sumpah serapah yang akan membuat hati kalian patah.

Begitulah usia tua, Nak. Kau takkan bisa kendalikan. Walaupun sudah kau rencanakan. Sudah ku jaga sawah agar beras tak perlu beli di usia pensiun. Sudah ku bangun rumah enam kamar agar anak cucuku bisa menginap sembari menjaga kakek nenek mereka.

Sekarang aku hanya jadi si gaek pandir yang menyebalkan. Yang uring-uringan hanya karena gaji pensiunku terlambat datang walau baru sehari. Apalagi sepekan, aku bisa gila! Enam anakku, cuma Ani yang mau merawat dan menjaga. Dua belas cucuku hanya si Topan tolol itu yang terpaksa ikut tinggal disini karena nganggur.

Aku paksa dia bertani mengolah lahanku yang luas. Sebelumnya lahan itu diolah oleh dua pamannya. Ya mereka anakku juga, tapi keduanya sudah meninggal mendahuluiku. Topan sebagai cucu tertua mengambil alih hak pakai atas lahan bersemak itu.

Jangankan memberiku sebagian hasilnya! Untuk biaya makan istri dan empat anaknya saja dia sudah kelimpungan. Si pemalas itu tak mengerti cara bertani. Hanya jagung saja yang ditanamnya. Ketika panen dan harga jagung turun. Habislah dia merenung untung yang tak sesuai ekspektasinya.

Tapi dia juga berproses. Bulan ini dia sudah berani berladang cabe. Dengan resiko dan keuntungan yang sama besarnya. Semoga dia mendapat rezeki yang cukup saat panen nanti. Agar bisa memberiku sebagian hasilnya.

Uang pensiunku masih kurang! Aku butuh lebih banyak uang untuk memperindah kuburanku. Kuburan Datuk Kuning haruslah paling menonjol diantara kuburan datuk-datuk yang lain. Itulah ambisiku yang hina. Kau tak perlu menirunya.

Sosok masa primaku sudah direnggut Tuhan, Nak. Itulah mengapa Rasulullah katakan mengasuh orang tua renta sebagai salah satu jalan tercepat menuju surga. Karena kesabaran untuk melakukannya juga harus luar biasa. Kesabaran sebesar itu mungkin hanya dimiliki oleh satu orang diantara semilyar manusia. Memangnya kau punya?

Kau berharap orang tua terpandang ini akan memberimu nasehat bijak karena pengalamannya sudah hampir seabad? Jangan terlalu berharap, Nak. Mungkin masih bisa ketika usiaku masih 60-an tahun dulu.

Walaupun sudah mulai budeg, tapi akalku masih brilian di umur segitu. Bahkan aku bisa merangkai kata-kata seolah aku lebih mengenalmu daripada dirimu sendiri. Kau akan terpana menerima nasehat-nasehat pamungkasku yang telah teruji dengan contoh-contoh kisah nyata sepanjang pengalaman hidupku.

Sekarang aku hanya minta kesabaranmu, Nak. Bersabarlah, karena hadiah dari merawatku sangatlah agung. Aku bersumpah akan bersaksi tentang kesabaranmu di akhirat agar kau masuk surga lebih dulu dari semua orang. Nasehat seindah ini takkan kau dapati jika kau berbicara denganku sekarang. Ingat, Nak. Sekarang akalku sudah hilang. Cerita ini hanyalah tulisan dari kesadaran masa laluku yang merasuki Si Topan, cucuku yang bajingan.

Saat ini sosok rentaku sedang keheranan. Lihatlah. Entah bagaimana tiba-tiba cucunya itu berubah sikap. Meminta maaf. Lalu melayaninya tanpa keluh kesah lagi. Walau masih sering kumaki.

Sebulan kemudian, entah bagaimana kesadaran primaku kembali ke tubuh renta ini. Sepertinya ajal ku sudah sebentar lagi. Tidak mungkin kesadaran renta hilang akal itu yang akan menyambut sakitnya sakratul mautku. Haruslah aku, si sosok Datuk Kuning yang sebenarnya ini.

Sekarang giliran si Topan heran.

“Bagaimana kakek jadi tidak pekak lagi? Kakek sudah kembali?”

“Iya, apa kau merindukanku?” tanyaku tersenyum dengan senyuman yang benar-benar seperti kembali setelah hilang puluhan tahun ini.

“Kakeeek!” Topan melompat memelukku. Berat sekali rasanya tertindih pelukannya dengan tubuh se usang ini.

Ani lebih heran lagi. Tiba-tiba saja kakek dan cucu itu akur. Dan papanya tiba-tiba sudah tidak lagi pekak. Antara senang dan takut kehilangan. Sepertinya Ani juga menyadari pertanda bahwa aku akan segera mati.

***

Cerpen ini masuk nominasi di sayembara @cerpen_sastra. Tapi sudah saya kembangkan lagi jadi 2000an kata karena terlalu pendek untuk batas maksimal 1300kata. Ini adalah cerpen terbaik saya. Mungkin saya tidak akan pernah membuat yang lebih baik lagi dari ini.

@tomisteria

Payakumbuh

11 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun