Setelah Laras dibawa kabur, Didin mencoba turun dari pohon itu. Namun, kakinya terpeleset hingga jatuh.
"Aduh mak!!!"
Singkat cerita, Didin pulang ke rumah Don Bosco karena ia pembantu disana. Rumah Don Bosco adalah tempat latihan Laras tadi. Didin segera menceritakan kejadian penculikan Laras yang membuat Don Bosco mengelus dada geleng-geleng kepala.
"Seperti apa rupa yang menculik Laras?" tanya Don Bosco.
"Badannya baja semua sepertinya. Rambutnya kuning dan matanya hijau. Tenaganya, barangkali sepuluh kali lebih kuat daripada banteng. Aku dilempar sekali, langsung nyangkut di pohon."
"Sebelum menculik Laras di bilang apa?" tanya Don Bosco.
Saat itu, secara mendadak, anak panah dengan tempelan karet meluncur dan menempel di dahi Don Bosco
"Aduh! Kepalaku, kepalaku nih! Kepalaku bolong!" ucap kaget Don Bosco dengan tubuh yang tiba-tiba lemas.
Didin mencabut panah karet yang menempel di dahi Don Bosco. "Tidak nembus, tuan. Cuma dari karet, tuan."
Akhirnya Don Bosco bisa bernapas lega.
"Tuan, ada suratnya! Pasti dari penculik tadi!" kata Didin sembari membuka surat yang menempel di panah itu.
Don Bosco merebut surat itu dan membacanya, "Don Bosco Yang Brengsek." Ia pun kesal. "Setan! Anak kurang ajar nih. Orang harusnya pada aku itu 'Yang Terhormat'. Ini Yang Brengsek. Dasar tidak makan bangku sekolahan!"
Didin menyenggol bahu Don Bosco. "Teruskan, tuan, bacanya!"
"Apa sih?! Berani memerintahku kau ya!" ucap kesal Don Bosco.
"Maaf, tuan... Ini kan urusan hidup matinya Nona Laras. Dibaca saja deh, tuan...," bujuk Didin.
Don Bosco pun kembali lanjut membaca. "Burung merpati ada di tanganku. Mulai hari ini siapkan saja uang 25 Triliun. Atau burung merpatimu tidak akan kembali lagi." Ia kembali kesal. "See..., tan bener! Uang 25 Triliun. Enak saja, dia pikir uang bakal datang sendiri barangkali, ya?!"
"Terusin tuan bacanya!" kata Didin.
Don Bosco pun sebal. "Terusin terusin!? Aku tabok bacotmu baru tahu kau! Aku sedang mikir nih... Uang 25 Triliun darimana aku ngejambreettt!!!"
"Iya sih," ucap Didin pelan.
"Awas!!! Berani ngadu sama 'plokis' kualat kau!" Don Bosco meneruskan membaca surat tersebut, sebelum kemudian ia sedikit kaget campur kesal. "Eh kualat?"
"Nah, tuan, ada ancamannya tuh," ucap Didin diiringi gelak tawa.
"Tawaaa... Bukan bantuin ikut mikir." Don Bosco menoyor kepala Didin.
"Mikir? Lapor saja ke polisi, tuan!" kata Didin.
"Kau ini tuli, ya? Kan udah kubacain tadi, kalau ngadu ke plokis kualat!" protes Don Bosco.
"Aah... Semua penculik memang seperti itu ancamannya. Aduin aja deh, tuan. Di tangan plokis, semua kasus beginian, gampang diberesin!" Didin berusaha menenangkan.
"Kalau penculik itu tahu, bisa mati aku!"
"Kan ada plokis yang nggak pakai pakaian dinas, tuan."
"Tekab?" terka Don Bosco.
Didin mengangguk. "Iya, suruh saja Tekab beresin, kan nggak ketahuan, tuan."
"Oke deh." Don Bosco mengeluarkan ponsel pintar dari saku celana panjangnya, kemudian menelpon kantor Tekab terdekat.
Usai menelpon kantor Tekab, Don Bosco dan Didin pergi ke kantor tersebut. Ia dilayani oleh Via yang memberi Rainer misi rahasia. Don Bosco memberikan satu barang bukti yaitu surat yang diberikan oleh penculik tersebut dan segera dibaca oleh Via.
"Kapan show itu dilaksanakan?" tanya Via.
"Seminggu lagi, bu," ucap Don Bosco cemas dan seperti orang yang ingin menangis.
"Karcisnya sudah dijual?" tanya Via lagi.
"Bukan sudah dijual, bu, bahkan sudah habis!" jawab Don Bosco.
"Kalau begitu, Nona Laras sudah harus diketemukan sebelum waktu satu minggu."
"Iya, bu! Tolong ya, bu... Kalau sampai Laras tidak hadir, aku bisa dipukuli orang satu stadion. Tolong ya bu ya...," ucap Don Bosco memelas. Ia mengambil kopi yang terhidang.
Begitu Don Bosco meminumnya, tanpa sadar ia belum melepas rokok dari mulutnya hingga rokok tersebut basar kena kopi.
"Tenang, tenang.." Via menepuk pundak Don Bosco. "Percayakan pada petugas."
Sementara Didin yang melihat foto-foto para kriminal dan mencari foto Xyborg. Tapi ia tidak menemukannya.
"Disini tidak ada, bu," kata Didin.
Via berdiri dan mengambil smartphone-nya lalu menekan beberapa tombol kemudian mengarahkannya ke dinding. Seketika, muncul gambar seorang pria berkacamata di dinding dengan tubuh besi perak serta rambut kuning.
"Yang ini?" tanya Via.
"Bukan, bu." Didin menggeleng.
Via mengganti gambarnya dengan gambar seorang pria berjaket yang memperlihatkan bagian tubuhnya yang seperti robot, rambutnya juga kuning. "Yang ini?"
"Bukan, bu." Didin menggeleng.
"Yakin?" tanya Via.
Didin mengangguk. "Yakin, bu! Saya kenal, bu!"
Via kembali mengganti gambarnya dengan gambar yang nyaris mirip dengan gambar sebelumnya. "Bagaimana kalau yang ini?"
"Oh itu juga bukan, bu," jawab Didin.
"Ini bukan, itu bukan, terus siapa wonge?" ucap Via menggerutu. "Kalau begitu apa yang ini?"
Via mengganti gambar lagi. Kali ini, benar-benar gambar Xyborg.
"Coba perhatikan kaleng rombeng ini!" ucap Via.
Mata Didin berbinar. "Nah, ini dia, bu! Ini yang membuat saya nyangsang diatas pohon, bu!"
Via kemudian mematikan lampu smartphonenya. "Nah, sekarang bapak boleh pulang. Biarkan saya dan anak buah saya menyelesaikan persoalan ini," ujarnya.
"Bu, tolong, bu, jangan sampai ketahuan kalau aku lapor polisi," pinta Don Bosco.
"Don't Worry Jangan Kuatir," balas Via. "Disini kita punya tim yang biasa main halus... Raba-raba, cium-cium, peluk, langsung tangkap! Slepet! Dijamin tidak ketara! Dan jangan lupa, beri kami kabar jika ada perkembangan baru, apa saja."
Don Bosco tersenyum. "Iya, bu... Terimakasih, bu..."
Setelah itu, Don Bosco dan Didin pergi.
Via langsung menghubungi Rainer dan dua orang yang lainnya agar segera datang ke kantornya. Begitu tiba di kantor, Rainer betul-betul kaget karena yang akan ia hadapi nanti adalah Xyborg. Dan Rainer baru melapor sekarang tentang pertarungannya melawan Xyborg. Meski begitu, Via sudah tahu kalau Xyborg adalah anggota Black Heaven. Itulah sebabnya Rainer diikutsertakan dalam tugas kali ini.
Setelah diselidiki lebih lanjut, rupanya Xyborg sering ada di bar pinggiran Kota Jakarta. Rainer dan dua orang lainnya bernama Indra serta Bima menyelidiki bar tersebut. Sesampainya di bar, mereka bertiga langsung duduk di meja depan.
"Kopi manis setengah!" Indra memesan pada pelayan bar.
"Kopi?" tanya salah satu pelayan bar bermata kecil.
"Kopi manis!" Indra mengulangi dengan nada ketus dan agak keras.
"Nggak ada. Disini kan menjual minuman keras," jawab pelayan tersebut.
"Kau pikir kopi bukan minuman keras?!" sahut Indra.
"Maksud kami, minuman yang memabukkan, pak," jawab pelayan itu lagi.
"Kopi juga bisa mabokin," balas Indra. "Coba kau minum seember, kalau tidak matamu melotot sebulan!"
"Pokoknya disini tidak ada kopi, pak."
Mendengarnya, Indra langsung kesal. "Apa katamu!!"
"Kalau begitu, fanta tiga, pak," sambar Bima.
"Ah, tidak usah," sahut Rainer. "Cukup 2 saja. Aku mau minum yang lain. Ada spirtus?"
"Spirtus??" dahi si pelayan sipit mengernyit. "Nggak ada, pak."
"Ah... Kau bilang katamu menjual segala macam minuman-minuman keras. Air aki ada?"
"Tidak ada, pak. Ini kan bar, pak. Kalau air aki sama spirtus di toko besi, pak." si pelayan tertawa kecil mendengar perkataan Rainer.
"Ah, omonganmu saja yang besar. Baik, kalau begitu aku ingin air putih 1 gelas," balas Rainer.
"Air putih?"
"Iya, kenapa? Tidak ada?"
"Ada, pak. Free... Gratis..."
"Ya sudah, cepat!" perintah Rainer.
Indra tiba-tiba mendekati Rainer. "Bro, tadi kulihat Xyborg keluar masuk beberapa kali ke arah toilet. Aku mau belaga buang air kecil disana. Aku mau tahu, apa Laras disembunyikan disitu."
"Baiklah. Kalau ada apa-apa cepat hubungi aku!" perintah Rainer.
"Roger, bos...." Indra pun segera berjalan ke arah toilet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H