"Hey, senyum itu milikku, Lasciani."
Terlambat, dia sudah mengambilnya lagi dariku.Â
Kali ini aku benar - benar geram. Aku ambil bantal yang tergeletak tak jauh dariku, aku lemparkan ke arahnya. Sia - sia bantal itu terbentur pada tembok putih itu.Â
Nafasku terengah. Mukaku memerah. Tak ada raut keanggunan dan kecantikan seperti biasanya.Â
Sekarang giliran Lasciani yang terkejut. Seseorang memasuki kamar ini dari arah pintu. Ia mendekatiku, memegang kedua tanganku dan berbisik di dekat telingaku, "Nona Cian, tenanglah. Saya psikiater anda."
"Haahh .. psikiater ? Hey, Lasciani ! Dia pikir aku gila."Â
Lasciani tersenyum seolah mengejekku. Aku mengejarnya. Tapi seperti biasa, dia selalu menang. Karena dia selalu bersembunyi di balik tembok itu.Â
Â
Â