Mohon tunggu...
Theresia sri rahayu
Theresia sri rahayu Mohon Tunggu... Guru - Bukan Guru Biasa

Menulis, menulis, dan menulislah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Wajah di Balik Tembok

6 April 2017   14:15 Diperbarui: 7 April 2017   10:00 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="https://www.google.co.id/search?q=wajah+di+balik+tembok&client=ms-android-lenovo&prmd=inv&tbm=isch&tbo=u&source=univ&fir=hvdGprxRuU7ETM%253A%252CirkG18wwpwTmWM%252C_%253BW_SpxU0l_jZAIM%253A%252CrKHXQi0S1gyB_M%252C_%253BXSEKZoOBLrj7fM%253A%252CrKHXQi0S1gyB_M%252C_%253BWkNO9OOEediP6M%253A%252CirkG18wwpwTmWM%252C_%253Bk31255MeAVF21M%253A%252CfAa2FkvZU0_ThM%252C_%253BrCCePPq5nfdUUM%253A%252CcZDPnY8Wy5D7iM%252C_%253BfyrKE6HsDQUY0M%253A%252CrKHXQi0S1gyB_M%252C_%253B7H-26sHKNv-soM%253A%252CX-5kp0mL92eEpM%252C_%253BrIq-wzhvAForfM%253A%252Cz1Nx1zK52y1WEM%252C_%253BpomD8kk9S0YmAM%253A%252CftwTSEXEhEytHM%252C_&usg=__UKmpJl3AfPuDKgY2Lf-A8kSIHWg%3D&sa=X&ved=0ahUKEwjns5jzoY_TAhXFuY8KHV9jA-kQ7AkIGw&biw=360&bih=559#imgdii=PE6kAMcH5Kq64M:&imgrc=kA6IODSGz5LiIM:"][/caption]

Satu - satunya cahaya yang menerangi kamar ini hanyalah sebuah lampu tidur yang terletak di sudut kamar. Bola lampunya memendarkan cahaya kekuningan, dan bingkai - bingkai bambu yang dirangkai menjadi kap nya membagi lagi sinar - sinar itu ke berbagai arah. 

Pandanganku kosong.

Tiga meter tepat di depan posisi dudukku di samping tempat tidur kecil, ada sebuah tembok berwarna putih. Beberapa bagian permukaannya sudah terkelupas dan meninggalkan kerak - kerak tak beraturan di tembok itu. 

"Aku akan menemuimu." Ku baca lagi sebaris SMS di gawaiku. Seseorang yang memintaku untuk bertemu di tempat ini. Sebuah sms tanpa identitas pengirimnya. Tapi, aku hafal benar nomor ini. 

Aku coba mengabaikan pesannya. Aku tak memberikan balasan apapun. Tapi sikap cuekku, tentu sudah bisa dia perkirakan. Karena dia bahkan selalu bisa menemukanku. 

Sudah satu jam aku menunggunya. 

Detik demi detik jam berlalu begitu saja dalam lamunanku. Sial. Gadis ini benar - benar menyita perhatianku. 

Kipas yang berputar di tengah ruangan, menggiring udara sejuk mengalir di antara nafasku yang memburu sejak tadi. 

Sepersekian menit aku menatap baling - baling kipas yang berputar searah jarum jam. Lalu, aku pun terhempas di tengah tempat tidur berseprai putih polos dengan kaki terjuntai ke bawah. 

Kelopak mataku mulai beradu. Nafasku kian teratur. Perlahan detik - detik jam itu pun berlalu. Suara nafasku menyatu ke suara baling - baling yang berputar dari kipas dan jarum jam tik tok. 

Tiba - tiba aku ingat akan janjiku. Aku terbangun begitu saja. Pandanganku beradu dengan tembok itu. Samar - samar aku melihat sebuah wajah di balik tembok itu. Wajah itu tercetak kian pasti. Aku menerka - nerka pada mulanya. Namun sosoknya menyeruak dari sana. Lasciani !

Wajah gadis berparas ayu itu persis ada di depanku. Rambutnya yang panjang sebahu hitam legam. Kedua bola matanya sendu. Sama seperti saat terakhir aku meninggalkannya. Di sini, di kamar ini, beberapa tahun yang lalu. 

Aku pun terduduk. Wajah polosnya mengingatkanku pada sesuatu yang mengerikan. Sedih, takut, dan luka menganga yang mengalir dalam tetesan demi tetesan keringat dingin. 

Keadaanku begitu berbeda dengannya. Aku pandai bersolek. Rambutku menjuntai lurus sebahu, tapi berwarna pirang. Kedua bola mataku terbingkai kaca mata bermerk dan sorot mataku tegas. Tidak seperti miliknya yang ... Ahhh ... lugu. 

"Pergilah, Lasciani !" Hardikku sambil mengenyahkannya. 

Ia tetap bergeming. 

Bulir - bulir kristal melaju turun membentuk anakan sungai di kedua pipinya. 

"Aku sudah melupakanmu." Bantahku.

Suaraku bergema ke seluruh ruangan.

"Pergi ! Aku tak mau melihatmu !" Teriakku. 

Tiba - tiba aku melihatnya tersenyum. 

"Hey, senyum itu milikku, Lasciani."

Terlambat, dia sudah mengambilnya lagi dariku. 

Kali ini aku benar - benar geram. Aku ambil bantal yang tergeletak tak jauh dariku, aku lemparkan ke arahnya. Sia - sia bantal itu terbentur pada tembok putih itu. 

Nafasku terengah. Mukaku memerah. Tak ada raut keanggunan dan kecantikan seperti biasanya. 

Sekarang giliran Lasciani yang terkejut. Seseorang memasuki kamar ini dari arah pintu. Ia mendekatiku, memegang kedua tanganku dan berbisik di dekat telingaku, "Nona Cian, tenanglah. Saya psikiater anda."

"Haahh .. psikiater ? Hey, Lasciani ! Dia pikir aku gila." 

Lasciani tersenyum seolah mengejekku. Aku mengejarnya. Tapi seperti biasa, dia selalu menang. Karena dia selalu bersembunyi di balik tembok itu. 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun