Mohon tunggu...
Indira
Indira Mohon Tunggu... Freelancer - -

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerbung : Equinox

1 Desember 2020   10:07 Diperbarui: 5 Januari 2021   10:02 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita ini dapat juga dibaca di wattpad

Sore itu, aku masih menanti kedatangan Paman Grifforth untuk menjemputku dari Perpustakaan Ammerdunn. Sungguh, aku tidak memikirkan akan menunggu dua setengah jam lebih lama. Biar kutebak lagi, sampai di markas, Julian akan marah besar! Menggubrak meja atau melemparkan petanya ke arahku. Kadang aku berpikir untuk keluar dari timnya, tapi itu suatu hal yang sangat tidak memungkinkan. Aku keluar, Voltron dan Gamma juga akan keluar, dan well, Julian tinggal sendiri dengan Bertha. Ah, sudahlah, bukankah melihat Julian marah sudah menjadi tontonanku selama dua tahun menjadi anggota timnya? Satu-satunya yang tidak pernah dimarahi oleh Julian hanya Bertha. Gadis itu lagi. Mungkin Julian menyukainya. Maka itu, dia tidak pernah memarahinya, karena takut melukai hatinya, se-simple itu. Tipikal.

            "Hei! Quinnie!" Aku melirik malas, ah sudah tak ada gunanya lagi, akhirnya dia datang. Aku berjalan membawa tas 'setengah ton' milikku ke dalam mobil Paman Grifforth. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya.

            "Quinnie, aku tahu kau butuh penjelasan, tapi biar Paman yang berbicara dengan Jule, mungkin dia akan mengerti,"

            "Bolehkah aku tidak ke markas hari ini Paman?" tiba-tiba saja aku melontarkan pertanyaan itu, dengan suara yang sangat lemah, mengantuk.

            "Paman juga ingin kau tidak pergi ke markas itu, Nak. Tahun ini tahun ujianmu, kau harus fokus belajar, bukan mengikuti ekspedisi-ekspedisi aneh bersama Julian," Paman Grifforth melirik ke arahku yang terduduk lemas di kursi mobil.

            "Bisa beri aku solusi Paman?"

            "Begini saja, nanti, Paman akan turun ke markas dan berbicara dengan Jule. Kau tunggu di mobil saja, oke?"

            "Quinnie? Kau dengar ...?"

***

           

            Aku melihat sekeliling. Astaga, di mana ini! Gelap sekali. Aku menoleh ke kursi setir, kosong. Sial! Aku tertidur di mobil.

            "Permisi," Seseorang mengetuk kaca jendela mobil, aku segera menurunkannya.

            "Equinox?" Anak perempuan berambut pirang berkepang dua itu tampak tersenyum melihatku.

            "Edelweiss?"

            "Kau tahu, Julian ditegur habis oleh Paman Grifforth," kata Edelweiss sambil menunjuk ke arah gedung markas.

            "Julian?" tanyaku pelan.

            "Ya, si boyfriend-nya Bertha itu," Edelweiss tertawa kecil.

            "Ada apa memangnya?" tanyaku lagi. Aku sempat melirik ke arah jam, sudah jam setengah sembilan malam.

            "Masalah berkas ekspedisi ke kota apa itu ..., aku lupa namanya, semua ketua tim harus mengumpulkannya paling lambat jam enam, dan Julian bahkan belum membuat satu halaman pun," jelas Edelweiss. Aneh, biasanya Julian yang paling bertanggung jawab di antara semua ketua tim di markas itu. Tidak pernah telat mengumpulkan berkas, apalagi tidak membuat! Aku menghabiskan waktu sekitar setengah jam di lapangan parkir markas bersama Edelweiss. Paman Grifforth sepertinya masih di dalam. Entah memberikan pengarahan atau menegur tim lain yang tidak mengumpulkan berkas. Setidaknya hari ini aku bisa bernapas lega. Aku tidak perlu bermalaman di markas lagi menelusuri peta ke kota-kota tersembunyi di Ammerdunn.

            Anak-anak di Ammerdunn tidak seperti anak-anak pada umumnya. Kami bersekolah, tetapi hanya mempelajari hal-hal tentang sejarah Kota Ammerdunn dan matematika. Anak-anak yang memiliki nilai di atas rata-rata sekolah, atau bisa dibilang jenius, akan dipilih oleh Governor Bruce untuk menjadi petualang muda. Salah satunya aku. Setiap hari sepulang sekolah, aku harus menunggu sekitar setengah jam di perpustakaan sekolah. Paman Grifforth biasanya harus menyerahkan berkas kepada Governor Bruce terlebih dahulu sebelum menjemputku ke sekolah. Paman Grifforth juga merupakan salah satu orang penting di Ammerdunn. Satu kota mengenalnya. Karena aku keponakannya, satu kota juga mengenalku.

            Soal tim ..., aku tidak berharap atau menduga sama sekali akan berakhir di tim terbaik Ammerdunn. Dulu, aku selalu bersemangat mengikuti ekspedisi, dengan motivasi suatu hari akan menjadi orang hebat seperti Paman Grifforth, lebih bangganya lagi bila mempunyai julukan sepertinya, "Grifforth Han of Ammerdunn". Separuh semangatku luntur begitu saja ketika Julian mendapatkan gelar itu setelah Paman Grifforth. "Julian Atlas of Ammerdunn".

            Mengapa harus dia? Aku akan rela bila gelar itu didapatkan oleh orang lain. Mungkin Gamma, Voltron, ataupun Edelweiss. Bukan Julian, ya, bukan dia.

            "Quinnie, aku masuk dulu ya, nanti kita sambung lagi, toodles!" Edelweiss melambai ke arahku sambil sedikit berlari kembali ke markas. Aku merebahkan kembali badan di kursi mobil. Menghela napas panjang, kemudian kembali terlelap di tengah kesunyian lapangan parkir markas.

***

            "Hei, Quinnie, ada yang harus Paman bicarakan denganmu,"

            Aku mengucek kedua mataku, perlahan-lahan bayangan Paman Grifforth terlihat semakin jelas.

            "Selamat pagi Paman Griffs," kataku sambil berjalan ke arah meja makan. Dalam hati aku tahu, kemarin malam, aku pasti tertidur di mobil dan untuk kesekian kalinya Paman Grifforth menggendongku ke kamar.

            "Hati-hati sayang," Paman Grifforth dengan sigap memegang tanganku yang hampir menumpahkan susu ke meja. Aku sedikit terkejut, kemudian segera membenarkan posisiku.

            "Paman mau bicara apa?" tanyaku.

            "Ekspedisi bodoh selanjutnya yang harus kau lakukan,"

            "Ke mana lagi, Paman? Bukankah timku sudah mengunjungi seluruh kota. Mulai dari Osbound, Grichivith, Ilandius, Westertown, Anderdunn, bahkan hampir setiap detail Ammerdunn Paman," aku segera mencari peta di rak dekat meja makan, kemudian menunjukkannya pada Paman Grifforth.

            "Tidak dengan tempat itu," Paman Grifforth meunjuk ke salah satu bagian Ammerdunn yang berada dekat Westertown.

            "Kota itu belum pernah ditelusuri oleh siapapun. Kau dan empat temanmu itu, akan ke sana,"

            "Tapi Paman Griffs ...,"

            "Paman akan ikut bersamamu, masih mau menolak?" kali ini aku tidak menjawab. Tidak mungkin aku bisa menghindar kalau sudah seperti ini. Hanya satu pilihan jawaban yang dapat aku berikan pada Paman Grifforth.

            "Ya, aku akan pergi," aku tersenyum kecil dengan raut wajah tidak yakin. Paman Grifforth segera bangkit dari meja makan sambil menepuk pundakku.

            "Bagus," bisiknya pelan.

***

            "Profesor Hatday, aku harus mengikuti ekspedisi lagi bersama tim, bolehkah aku meminta izin untuk tidak hadir ke sekolah lagi?"

            "Ekspedisi? Bukankah kau sudah mengelilingi seluruh kota, Equinox?" tanya Profesor Hatday.

            "Ada satu bagian dari kota yang belum kata Paman Grifforth," jawabku.

            "Tunjukkan padaku bagian yang mana?" Profesor Hatday tampak sibuk mencari-cari peta di laci meja, kemudian, ia menunjukkannya padaku.

            "Sebelah timur Anderdunn, sebuah bagian kota tanpa nama, belum pernah ditelusuri oleh siapapun, atau mungkin Profesor tahu tempat ini?" jelasku sambil menunjuk sebuah bagian kecil pada peta Ammerdunn.

            "Permisi Profesor Hat ..." Aku menoleh ke belakang mencari sumber suara itu. Mengapa Julian masuk di tengah pembicaraan kami?

            "Silakan masuk Julian," Profesor Hatday kali ini kembali membongkar laci mejanya sambil mempersilahkan Julian masuk. Julian sempat melirikku sambil memberi tanda isyarat, sedang apa kau di sini?Aku membalas isyaratnya sambil melirik ke arah Profesor Hatday, kemudian dia mengangguk lalu duduk di sudut ruangan.

            "Mengapa duduk jauh sekali Julian, duduklah di sebelah Equinox," dengan perlahan Julian beranjak dari sofa di sudut ruangan dan berpindah di kursi sebelahku. Aku tidak bergerak sedikit pun walaupun sejak Julian duduk di kursi itu, ia memandangku terus-menerus.

            "Ah, ini dia, buku tentang Anderdunn," Profesor Hatday mengeluarkan sebuah buku yang sangat tebal dari laci mejanya. Dia sempat mengamat-amati buku itu sebentar, sebelum akhirnya menuju bagian daftar isi. Kemudian mencari suatu bab.

            "Halaman delapan ratus tiga," gumamnya dengan sangat pelan. Profesor Hatday segera menuju halaman itu, aku sempat melihat sekilas judul bab-nya, "Bagian Tersembunyi di Timur Anderdunn" .

            "Amoji,"

            Aku dan Julian saling pandang, Amoji? Siapa Amoji? Tak lama, Profesor Hatday segera mengembalikkan buku tersebut ke laci mejanya.

            "Kalian bisa keluar sekarang, ada urusan yang harus aku lakukan?"

            "Profesor aku baru saja datang ingin menemuimu,"  Profesor Hatday dengan cepat segera menuntun kami keluar dari kantornya, kemudian pintu ruangannya tertutup kencang. Aku tidak tahu apa barusan yang terjadi. Mengapa Profesor Hatday langsung bertingkah aneh begitu membuka halaman delapan ratus tiga tadi? Kemudian, suatu hal tentang Amoji itu!Julian memandangku penuh pertanyaan, sebelum akhirnya dia berkata padaku,

            "Kita akan bertemu pamanmu sekarang juga,"

Hari sudah malam, aku memandang sekeliling markas yang sepi. Tinggal aku, Julian, Gamma, Voltron, Bertha, dan Paman Grifforth di sana. Kami akan berangkat ke Anderdunn tepat pukul dua belas. Pagi tadi, Paman Grifforth bertemu dengan Governor Bruce untuk meminta izin ekspedisi. Reaksinya juga ternyata menimbulkan seribu pertanyaan di benak Paman Griffs. Governor Bruce melarang Paman Grifforth untuk melakukan ekspedisi ke sana. Begitu Paman Griffs menanyakan alasannya, Governor Bruce tidak menjawab dan segera menyuruh Paman keluar dari ruangannya, dengan alasan sama yang dilontarkan Profesor Hatday padaku dan Julian. Tetapi Paman Griffs tidak menghiraukan keduanya, memilih untuk melakukan aksi nekat. Ia memutuskan untuk mengajak kami pergi ke Anderdunn dan menjelajahi sedetail mungkin daerah di sana untuk mencari jawaban tentang bagian timur Anderdunn.  Terakhir, untuk mencegah segala kemungkinan terburuk, markas segera mematikan seluruh koneksinya dengan pusat pemerintahan dan juga sekolah. Callaby dan Edelweiss bertugas menjaga segala jaringan yang mencoba melacak keberadaan kami selama di Anderdunn.

            “Ayo, kita akan berangkat sekarang,” Paman Grifforth segera menyalakan mesin mobil dan menyuruh kami semua untuk masuk secepat mungkin sebelum ada orang di luar markas tahu apa yang akan kami lakukan.

            Di dalam mobil, aku duduk di kursi sebelah Paman Grifforth. Di kursi belakang, semuanya tertidur. Malam itu, Ammerdunn juga sangat dingin, aku bisa merasakan badanku yang gemetaran sedari pertama masuk ke mobil. Aku benar-benar tidak bisa dan tidak ingin tidur. Bagaimana nanti kalau sampai terjadi sesuatu pada mobilnya? Bagaimana kalau Paman Grifforth tiba-tiba mengantuk? Aku tidak bisa tenang jika membiarkan Paman Griffs ‘sendirian’ begitu saja di malam seperti ini.

***

            “ Kita sudah sampai di Anderdunn,” Paman Grifforth membalikkan badannya dan masih mendapati Voltron, Gamma, Julian, dan Bertha tertidur layaknya domino di kursi mobil. Aku membuka pintu mobil untuk menghirup udara pagi Anderdunn. Di sana banyak sekali pegunungan dan lembah, tidak seperti di pusat Ammerdunn, ramai, dipenuhi bangunan-bangunan yang sudah berumur satu sampai dua abad.

            “Kita sekarang ada di sebelah barat Anderdunn, sebelah timur ada di sana, di balik Pegunungan Varix dan Conix,” kata Paman Grifforth.

            Aku mengangguk sambil memandangi sekeliling, kemudian pandanganku tertuju pada satu gunung dengan bentuk yang paling aneh.

            “Paman, gunung apa itu?” tanyaku.

            “Gunung Amonix, kau lihat, ujung gunung itu melengkung ke dalam dan bentuknya yang agak menonjol di bagian tengahnya.

            “Apakah gunung itu yang Paman tunjukkan di peta?” Aku mengeluarkan peta dari ranselku dan menunjukkannya pada Paman Grifforth.

            “Sepertinya, tetapi nampaknya semua hanya gunung,”

            “Bagaimana kalau ada kota tersembunyi di balik sana Paman?” Tiba-tiba Julian muncul dan menunjuk ke arah gunung Amonix.

            “Bukankah kita semua belum pernah ke sana?” kali ini Gamma juga ikut menunjuk ke arah Gunung Amonix.

            “Ada yang tahu arah jalan ke sana?” Paman Grifforth melirik kami bertiga satu-persatu.

            “Jalan terbaik selalu lewat atas Paman,” timpal Bertha sambil turun dari mobil.

            “Berth, kau bawa kamera pemantau?” tanya Julian.

            “Tentu,”

            Bertha segera mengeluarkan kamera pemantau dan menerbangkannya ke arah Gunung Amonix. Kami harus menunggu agak lama karena jarak Gunung Amonix dari tempat kami berdiri sekarang sangat jauh.

            “Ke mana perginya drone-mu itu Berth?” tanya Voltron yang duduk bersantai di atas kap mobil.

            “Aku tidak tahu! Sial! Drone-nya jatuh!”

            Kami berlima serentak langsung melihat ke arah Bertha. Tak berapa lama, terdengar suara sirine. Sirine itu berbunyi keras sekali dan tampaklah lampu-lampu sorot yang perlahan muncul dari balik Gunung Amonix dan berputar-putar seakan mencari sesuatu.

            “Semuanya masuk ke mobil!” Dengan sigap, Paman Grifforth segera menyalakan mesin mobil dan memacu mobilnya dengan cepat keluar dari Anderdunn. Tapi kami tidak menyangka, Paman Grifforth sudah cepat, tetapi selalu ada yang lebih cepat. Dua mobil tanpa plat kendaraan dengan pengemudi bermasker segera mengikuti mobil jeep Paman Grifforth dari belakang, entah mobil-mobil itu muncul dari mana. Dari situ, aku dapat menemukan suatu petunjuk. Di balik Gunung Amonix itulah, tempat kota tersembunyi berada, benar kata Julian tadi! Sampai akhirnya, ketakutan terbesarku terjadi. Pengemudi bermasker itu behasil menghadang mobil Paman Griffs dan menyuruh kami semua untuk turun. Setelah kami turun dari mobil, mereka mengamati kami satu-persatu dan salah satu dari mereka langsung meminta Bertha masuk ke mobil yang mereka kendarai. Paman Grifforth mencoba memberikan perlawanan, sayang, mereka mengancam Paman Grifforth dengan senjata yang jauh lebih kuat. Bertha akan dibawa mereka ke suatu tempat, di mana ia akan diinterogasi, yang pasti tentu soal drone. Mengapa ia membawa alat itu? Mengapa menggunakan alat itu di dekat Gunung Amonix? Apakah kami mata-mata? Penjahat?

“Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Gadis ini akan aman bersama kami bila ia jujur tentang drone yang jatuh itu di depan Tuan Amoji,”

            Nama itu! gumamku dalam hati, nama yang disebut Profesor Hatday.

            “Biar aku yang menghadap bersama dia, aku adalah gurunya,” kata Paman Grifforth kepada dua orang bermasker itu.

            “Tidak bisa Tuan, dia yang telah menjatuhkan drone-nya, bukan Anda, sekarang kami harus membawanya terlebih dahulu ke markas besar Tuan Amoji,” kata salah seorang dari mereka.

            Kami berlima menyaksikan Bertha dibawa pergi oleh dua orang bermasker itu. Kali ini kami tidak melawan, senjata mereka jauh lebih besar, jauh lebih kuat. Kami yang hanya datang ke sini untuk ekspedisi tentu tidak membawa senjata macam-macam. Apalagi aku yang masih bisa dihitung anak remaja, Paman  Griffs tentu akan melarang bila aku bermain dengan senjata. Tetapi tak berapa lama setelah dua orang itu pergi entah ke mana, Paman Grifforth memutuskan untuk menyusul mobil itu diam-diam. Pada setiap anggota  tim, Paman Grifforth telah memasang alat pelacak keberadaan tersembunyi di dalam jaket dalam ukuran kecil, sehingga itu akan mempermudahkannya untuk mencari Bertha. Sebelum pergi meninggalkan kami, Paman Grifforth mencium keningku, memelukku, dan memberikan sebuah pesan, seperti biasanya,

Jaga dirimu baik-baik, Paman akan kembali kepadamu. Jangan pernah pergi mencari Paman walaupun kau berani mengorbankan dirimu untukku. Aku yang akan pergi mencarimu, kembali kepadamu Equinox. Bersikaplah baik pada semua ‘kakak-kakakmu’ itu. Semoga berhasil.

            “Julian, ajak mereka ke sana bagaimanapun caranya. Aku mempercayakan mereka semua denganmu,” Julian mengangguk sembari Paman Grifforth menepuk pundaknya, kemudian melambai pada kami berempat.

            “Bagaimana sekarang, Capt?” tanya Gamma.

            “Kita harus lewat bawah,” kata Julian.

            “Kereta bawah tanah! Mungkin akan ada kereta ke sana” jawabku cepat.

            Kemudian, kami berempat segera kembali ke pusat Anderdunn untuk mencari stasiun kereta ke bagian timur, dan beruntung, ada satu kereta tersisa ke sana (sebenarnya waktu dulu kami ke sini belum ada kereta ke sana, tetapi sekarang ada, aneh bukan?). Kereta itu sangat cepat sehingga kami sampai di timur Anderdunn tidak terlalu siang. Tetapi, kota itu tidak seperti yang kami perkirakan.

            Futuristik, artistik.

            Seluruh kota itu dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit yang megah, dipenuhi dengan teknologi-teknologi canggih di sekitarnya. Aku yakin seratus persen, Bertha ada di salah satu gedung itu. Karena hari sudah siang, Julian mengajak kami bertiga ke sebuah restoran, dan kami berdiam di sana sampai larut malam.

***

Dari restoran itu, aku memandang sekeliling. Belum pernah melihat bintang-bintang bertaburan di angkasa seindah ini. Menakjubkan. Siang dan malam di tempat ini juga selalu sama, dua belas jam. Aku tidak tahu mengapa ekuinoks bisa terjadi sepanjang tahun di sini. Di Ammerdunn, ekuinoks tentu tidak terjadi selamanya, hanya beberapa bulan saja dalam setahun. Andai aku bisa bersantai di sini lebih lama. Selama di restoran, aku lebih banyak melihat sekeliling sementara Voltron dan Julian membaca majalah yang disediakan di sana. Gamma juga mencari beberapa informasi melalui tablet.

            “Kalian sudah siap?”

            “Apa?” Aku yang tadinya sedang melamun langsung melihat ke arah Julian.

            “Kita akan pergi ke Ogiwa,”

            “Di mana Ogiwa?”

            “Satu-satunya cara agar kau mengetahuinya adalah ikut denganku,” Julian menggendong tasnya dan segera berdiri dari kursi makan. Ah, mereka telah menemukan informasi tentang tempat tersembunyi ini, namanya Ogiwa!

            “Kau ikut kan?”

            Aku hanya tersenyum kecil. Kemudian mengikuti Julian, Gamma, dan Voltron keluar dari restoran menuju lift ke pusat Ogiwa. Aku tidak tahu sekarang Paman Grifforth mencari Bertha ke mana, aku hanya berharap semuanya akan baik-baik saja. Sekarang, kami akan mencari tahu, siapakah Amoji, dan semua misteri yang belum terpecahkan tentang kota ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun