Mohon tunggu...
Indira
Indira Mohon Tunggu... Freelancer - -

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Heart to Heart - kisah dua sahabat yang dapat bertelepati

23 Juni 2020   15:11 Diperbarui: 22 April 2021   20:47 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heart to Heart

Cerpen ini juga dapat dibaca di https://www.wattpad.com/982159540-heart-2-heart

 

            18 Juni 2019

            "Edward, bisa tolong ambilkan kacamata mama di meja?"

            "Sebentar, Ma," anak laki-laki bernama Edward itu segera menuju ke ruang tamu dan mengambilkan sebuah kacamata yang tergeletak di atas meja, kemudian memberikannya pada mamanya.

            "Terima kasih,"

            "Mama mau ngobrol tentang apa tadi?"

            "Oh, tentang temanmu, sudah lama mama tidak dengar cerita dari kamu soal dia, namanya...,siapa yah? Kok mama jadi lupa, nih?"

            Mama Edward terdiam sejenak, berusaha mengingat nama anak yang akan ia sebut barusan. Edward menarik nafas panjang, antara lega dan tidak. Ia pikir hari ini mamanya yang biasa sibuk, mengajaknya mengobrol hanya untuk memarahinya habis-habisan karena hasil rapor tengah semester. Ternyata tidak, perbincangannya bukan soal itu, tetapi tentang temannya yang entah siapa.

            "Ah, Mama ingat, Emilda!"

            Edward tidak menjawab. Nama itu seakan sudah hilang dari memorinya sejak tiga bulan yang lalu. Tidak lagi terucap ataupun terdengar. Tapi sekarang, ingatannya perlahan bermunculan kembali di dalam benaknya. Emilda Clarke Schmidt. Gadis itu.

            "Dia masih bersekolah di sini, kan?" tanya Mama Edward lagi.

            "Masih," jawab Edward.

            "Mama pikir dia sudah pindah ke Hannover. Soalnya kemarin, Tante Nara cerita ke mama kalau Emilda bakalan pindah ke sana sekeluarga,"

            "Oh,"

            Edward memandang salah satu bingkai foto di ruang tamu yang berisi fotonya bersama sahabat-sahabatnya. Pada bagian tengah bingkai foto itu adalah fotonya bersama Emilda saat pesta sweet seventeen Martha. Pindah? Tidak salahkah? Bukankah Emilda baru akan pindah ke Jerman saat lulus tahun depan?

            "Hei, kok kamu jadi ngelamun?"

            Edward segera kembali menatap mamanya. Pikirannya masih saja tentang Emilda. Setelah sekian lama gadis itu tidak muncul di pikirannya, sekarang ia tidak bisa berhenti memikirkannya.

            "Kamu masih contact-an sama Emilda?"

            "Udah jarang," Edward kembali memandang bingkai foto di dekat televisi, entah mengapa ia seakan tidak lagi mengenal Emilda belakangan ini. Semua ingatannya serasa hilang, lenyap, tenggelam begitu saja.

            "Kenapa emangnya?"

            "Nggak tahu, tiba-tiba udah jarang ngobrol," jawab Edward malas. Sebenarnya, di dalam hati Edward sekarang, hanya ada setumpuk perasaan bersalah bila berbicara soal Emilda.

            "Kok begitu sama temennya?" kata Mama Edward sambil melihat ke ponselnya, kemudian memberi isyarat sebentar pada Edward karena ternyata teman kantornya menelepon.

            Dalam hati, Edward berharap mamanya itu akan berbicara lama dengan temannya, kemudian pergi dari kamarnya karena urusannya masih panjang, dan melupakan perbincangannya soal Emilda. Nyatanya, tidak. Lima menit kemudian ia kembali ke kamar.

            "Maaf, tadi Tante Eileen menelepon. Kembali lagi ke perbincangan kita sebelumnya, kenapa kamu nggak ngobrol lagi sama Emilda?"

            "Kan ada yang lain juga, Ma, kayak Kayla, dia juga baik," Edward menatap mamanya, berharap mamanya itu akan mengiyakan pernyataan yang baru saja ia sampaikan. Nyatanya lagi, tidak.

            "Kamu dan Kayla berbicara dari mulut ke mulut, tapi kamu dan Emilda..." Mama Edward terdiam sejenak sambil menatap putra sulungnya itu. Kemudian, sambil tersenyum ia pergi keluar dari kamar Edward.

            "Dari hati ke hati. From heart to heart, and that's what make both of you special,"

***

            Maret 2019

            Mil, loe udah denger lagu yang gue kirim kemarin?

            Belum, loe udah?

            Lihat ke depan sebentar!

            Jangan sekarang, nanti Frau Schiller ma..

 "Edward, apa yang sedang kamu lakukan?" jantung Edward serasa berhenti selama beberapa detik. Astaga! Seisi kelas kini hening memperhatikan dirinya yang masih diam membeku dengan tangan kirinya yang masih terangkat ke atas. Sial! Teman-teman kelasnya akan semakin menganggap dirinya aneh. Seperti kata Shane waktu itu, "makhluk astral". Bukan memperbaiki reputasinya, kejadian tadi hanya akan membuat reputasinya bertambah buruk apabila anak kelas lain sampai tahu apa yang baru saja ia lakukan.

"Entschuldigung (maaf dalam bahasa Jerman), Frau (panggilan Ibu dalam bahasa Jerman) Schiller," jawab Edward pelan, sebelum akhirnya ia kembali duduk diiringi suara anak-anak kelas ekskul bahasa Jerman yang tertawa terbahak-bahak.

Nah udah gue bilang kan?

Edward melirik ke arah Emilda, anak perempuan bermata cokelat karamel itu ikut tertawa bersama yang lain. Tidak salah juga mereka tertawa. Seorang Edward yang jarang berbicara di kelas, dijuluki ansos (anti sosial)  tiba-tiba  menari-nari sendiri di tengah kelas bahasa Jerman.

Emilda yang kerap disapa Mil oleh Edward itu sudah menjadi teman sekelasnya dari SMP. Walaupun SMA mereka sudah tidak pernah sekelas lagi, sesuatu menyatukan mereka berdua, yang akhirnya membuat mereka menjadi sangat dekat, jauh dari sebelumnya.

Telepati.

Edward tidak menyangka bahwa ada orang lain di sekolah yang juga memiliki kemampuan unik itu. Ia bisa mencurahkan keluh kesahnya dengan Emilda tanpa harus bertatap muka, ketika bosan di tengah pelajaran, terkadang Edward juga mengajak Emilda mengobrol. Walaupun hanya sebuah percakapan singkat, setidaknya Edward merasa terhibur. Ketika ia malas, Emilda juga biasa menyemangatinya, dan tak jarang juga Edward tersenyum-senyum sendiri bila keduanya sedang membicarakan hal-hal yang lucu.

Sementara itu, Emilda juga seorang yang dapat dikatakan introvert. Gadis itu merasa tidak nyaman di tengah keramaian dan takut untuk memulai pembicaraan dengan orang lain. Tetapi, Edward melihat sisi lain dari Emilda. Seorang remaja yang ceria dan penuh dengan lelucon. Bukan juara kelas yang pemalu, polos, dan pendiam seperti yang dilihat kebanyakan orang. Emilda merasa nyaman ketika Edward berada di sekitarnya, begitu juga dengan Edward.

***

"Ed!" sambil sedikit berlari, Emilda mencoba memanggil Edward yang sudah jauh dari kelas ekskul bahasa Jerman.

Sabar, nggak usah lari. Gue tahu kok.

"Hei, loe ada lomba basket kan hari ini?" tanya Emilda masih dengan terengah-engah.

"Ada,"

"Gue ikut mobil loe, boleh? Gue mau nonton," kali ini Emilda tertawa kecil.

"Boleh, kok. By the way, tumben, nggak apa-apa sendiri?"

"Kayla nanti juga ke sana mau lihat temannya tanding, jadi ada yang nemenin gue, don't worry,"

"Siap, kakak," kata Edward sambil memberi hormat pada Emilda. Keduanya kemudian berjalan keluar dari gerbang SMA dan  menuju mobil Edward yang dikendarai oleh supirnya, Pak Han.

***

"Kok gue jadi takut sendiri, ya?" Edward melihat ke arah kursi penonton yang hampir penuh, kemudian melihat sekumpulan anak laki-laki dengan jersey hitam yang nantinya akan menjadi tim lawan.

"Udah, nggak usah takut, loe pasti bisa!"

"Edward mah bilang takut, tahunya, nanti menang," Kayla melirik Edward. Edward hanya tersenyum kecil, kemudian berjalan menuju ke arah timnya untuk bersiap-siap.

Kayla dan Emilda mendapat kursi di bagian belakang karena gedung olahraga sudah hampir penuh. Pertandingan juga akan dimulai sebentar lagi, di mana Tim Eagles (nama klub basket tempat Edward berlatih) akan melawan The Monsters.

"Ayo semangat, Edward!" teriak Emilda dari kursi penonton.

"Edward, loe kece (keren) abis!"suara Kayla yang keras membuat beberapa penonton lain sempat melirik heran ke arahnya dan Emilda.

Ed, rebut bolanya!

Iya, gue tahu.

Ayo, loe pasti bisa!

Makasih.

Walaupun suara teriakan Kayla jelas terdengar, Edward tidak peduli. Ia terus mendengarkan telepati dari Emilda. Gadis itu tidak ikut meneriaki namanya berulang kali  seperti Kayla, tetapi, telepati dari Emilda-lah yang paling membuatnya bersemangat. Bagaimana tidak? Itu gadis yang ia sukai. Bohong, bila ia bilang tidak menyimpan perasaan apapun pada Emilda. Gadis itu spesial menurutnya. Ketika mereka 'dijodohkan' berdua dengan teman-teman mereka pun, Edward hanya dapat tersipu malu. Walaupun Edward tahu, Emilda hanya menganggapnya sebagai sahabat.

Sebenarnya, Edward memiliki sedikit pengalaman buruk soal jatuh cinta. Dulu, sewaktu SMP, ada seorang anak perempuan yang menyukainya, dan kebetulan, Edward juga jatuh hati dengan anak itu. Namanya, Alexa. Alexa ini dikenal sebagai primadona di angkatan. Emilda juga mengenalnya. Sejak Edward dan Alexa saling menyukai, Edward memiliki banyak sekali teman. Mulai dari menjadi kapten tim basket, sampai menjadi wakil ketua OSIS. Namun, Alexa menjauhi Edward secara tiba-tiba karena ia sudah berpindah hati kepada anak laki-laki lain. Katanya, anak laki-laki yang sekarang ia sukai itu jauh lebih keren dibandingkan Edward, lebih maco dan tidak pendiam.

Sejak saat itu, Edward menjadi lebih diam dari sebelumnya. Ia keluar dari klub basket dan tidak masuk lagi di OSIS tahun depannya. Ia menjadi murung dan semakin pendiam. Teman-teman yang dulu dekat dengannya juga ikut menjauhi karena tentu saja Alexa memberitahu hal yang tidak-tidak soal Edward. Setiap kali Edward membutuhkan bantuan, semua temannya selalu saja mencari alasan karena mereka ogah berteman dengan anak yang dicap ansos di angkatan. Keadaan mulai perlahan membaik ketika Edward dan Emilda mulai saling bertelepati. Lama-kelamaan, Edward mulai memiliki teman lagi karena sering mengobrol bersama Emilda dan teman-teman dekatnya. Gadis itu yang membuat senyumannya kembali. Ya, dia.

Edward juga tidak menyangka ia bisa menjadi dekat dengan Emilda yang dikenal jutek oleh anak laki-laki, apalagi personality Emilda yang tomboi. Tapi, sisi lain dari gadis itu terlihat ketika dirinya mengalami masalah, Emilda yang datang dan menemaninya, memberinya saran, dan membuat suasana hatinya gembira ketika ia sedih.

Pertandingan berakhir dengan hasil 62-20. Sebagian besar bola masuk dari Eagles memang berkat Edward. Skills-nya itu dapat dikatakan sangat membantu timnya sehingga Monsters menjadi kalang kabut berhadapan dengan mereka. Terkadang ketika bertanding, Edward rindu masa-masa ia berada di klub basket sekolah. Sorakan dari teman-temannya yang menonton, dan kelompok suporter yang meneriakkan yel-yel. Namun, dirinya jelas tidak berani untuk masuk lagi ke klub sekolah, apalagi dengan kapten seperti Darren yang terkenal sangar, galak, dan suaranya yang keras menggelegar.

***

"Sumpah, loe harus masuk ke klub sekolah lagi sih, Ed,"  kata Emilda sembari menghapus papan tulis.

Edward menatap sahabatnya itu. "Ada Darren, gue malas,"

"Gue kenal sama Darren, mau coba gue ajak ngobrol, bareng loe juga?"

Edward menggelengkan kepala, "Jangan, Mil, anak-anak klub sana...,"

"Jangan khawatir, gue kenal juga kok dua anak basket di sana. Wilson sama Anas. Mereka baik kok, nggak perlu gengsi atau gimana gitu walaupun mereka kakak kelas," sambung Emilda lagi.

"Loe yakin, Mil?"

"Percaya deh dengan gue, everything will be fine,"

Edward hanya bisa tersenyum pahit ketika saat itu juga Emilda mengajaknya bertemu Darren, Anas, dan Wilson. Sebelum mereka berkenalan secara resmi, ternyata, ketiga siswa kelas dua belas itu sudah mengenali Edward.

Udah, jangan gugup, bicara aja, Ed.

Takut gue, Mil.

Udah, santai aja.

Mil, gimana ini?

"Klub basket lagi butuh orang, nggak?" tanya Emilda setelah mereka berbincang cukup lama.

"Lagi nggak butuh-butuh banget sih, Mil. Tapi, kalau aset kayak Edward gini sih boleh juga, mantan kapten, kan?" kata Darren

Edward mengangguk dan tersenyum kecil. Istilah mantan kapten itu masih mengganggu dia sampai sekarang. Mengingatkannya pada kejadian dulu bersama Alexa.

"Santai aja lah, Milly aja ngomong sama kita biasa aja, loe juga, nggak usah gengsi gitu," tambah Wilson.

Hari itu, Edward merasa sangat senang. Impiannya untuk masuk kembali ke klub basket sekolah terwujud berkat Emilda. Klub basket ternyata menerima dia kembali dengan senang hati. Mereka yang tahu tentang Edward dulu seakan melupakan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Edward juga lama-kelamaan menjadi dekat dengan Anas, Wilson, dan Darren. Mereka sering berlatih basket dan hangout bersama.

Selain klub basket, Edward juga bergabung dengan kelompok pecinta hewan bersama Kayla. Kayla yang diam-diam menyukai Edward tentunya  melonjak kegirangan begitu Emilda memberitahunya bahwa Edward akan bergabung.

Hal-hal yang dulu Edward alami, kini ia alami lagi, tapi dengan versi yang lebih baik. Sifat pendiamnya perlahan memudar dan ia menjadi salah satu remaja laki-laki idaman di sekolah karena kepandaiannya dalam bidang akademis dan olahraga.

Namun, Edward tidak menyadari satu hal, yang sebenarnya paling penting. Saking seringnya pergi bersama Darren, Anas, dan Wilson, Edward tidak pernah lagi berbicara dengan Emilda. Setiap kali Emilda mengajaknya berbicara, Edward hanya menjawab singkat, lalu cepat-cepat pergi, karena menurutnya, Emilda sudah bukan teman yang asyik lagi.

***

Ed, bisa tolongin gue nggak?

Tolongin apa?

Gue bingung banget nih penerapan rumus anuitasnya. Bisa ajarin gue nggak nanti siang?  Kan udah ada sesi tutor.

Oh, ada emangnya, udah mulai?

Udah.

Eh, temen gue udah ada yang janjian duluan, gue nggak bisa deh. Udah, ya, Mil, gue lagi sibuk.

Emilda mengernyitkan dahi. Aneh, baru saja tahu ada kegiatan tutor. Sudah ada yang janjian duluan? Jawabannya sungguh tidak masuk akal. Semakin lama, Edward berubah menjadi semakin menyebalkan. Setiap kali Emilda membutuhkan bantuannya, Edward selalu saja mencari alasan yang terkadang juga tidak masuk akal. Tidak hanya sekali, dua kali. Edward benar-benar sudah tidak bertegur sapa lagi dengan Emilda. Semua telepatinya juga ia tak acuhkan. Emilda benar-benar hilang dari ingatannya.

***

24 Juni 2019

Edward melihat sekeliling. Belum pernah ia melihat tempat seindah ini. Sekumpulan bunga mawar tumbuh di sisi kiri dan kanan jalan. Edward menyusuri jalan itu Tiba-tiba ia melihat sesosok gadis memakai dress putih di ujung jalan. Edward mencoba berlari mendekati gadis itu. Tapi, gadis itu entah mengapa berjalan begitu cepat. Edward terus mengikuti gadis itu, dan ketika jarak mereka sudah tidak begitu jauh, Edward menyadari bahwa gadis itu ternyata Emilda! Astaga, apa yang harus ia lakukan? Ia sudah lama tidak berbicara dengan Emilda.

"Milly!" akhirnya Edward memberanikan diri untuk memanggil.

Gadis itu menoleh ke belakang. Edward tersenyum begitu melihat ternyata gadis itu benar Emilda. Namun, Emilda hanya tersenyum kecil, kemudian melambai. Tak berapa lama, ia menghilang di ujung jalan.

"Mil! Milly!"

Edward mencoba mengejar Emilda. Sayang, gadis itu sudah tak terlihat lagi di pandangannya.

***

Edward merasa kepalanya terbentur sesuatu. Edward mengusap kepalanya yang terbentur ujung meja belajarnya. Ah, ternyata tadi hanyalah mimpi. Edward melihat jam, masih pukul dua pagi. Astaga, mengapa ia harus terbangun sepagi ini? Edward mengusap kedua matanya. Mengapa juga tadi ia bermimpi tentang Emilda? Apakah ini pertanda buruk? Edward menghela nafas panjang. Ingin rasanya ia bertemu Emilda secepatnya. Ia tidak mau Emilda meninggalkannya seperti di mimpi itu. Menghilang begitu saja, lenyap. Edward memejamkan matanya, kemudian melanjutkan tidurnya.

***

"From heart to heart," kata-kata itu masih melekat di kepala Edward selama seminggu ini. Ia sudah mencoba menghubungi Emilda lewat telefon dan message. Tapi, Emilda tidak mengangkat telefonnya ataupun membalas pesan dari Edward. Edward menatap ponselnya lemas. Sambil membuka Instagram, ia melihat beberapa story (salah satu fitur pada aplikasi Instagram) temannya dan kebanyakan berisi foto Emilda dan tulisan "goodluck in Germany". Edward melamun sebentar. Tunggu, jangan-jangan, Emilda berangkat hari ini? Edward langsung menelepon Darren.

"Halo, Dar?"

"Hei, bro, kenapa call?"

"Milly berangkat ke Jerman kapan?"

"Hari ini, loe nggak tahu?"

"Loe tahu nggak,dia flight jam berapa?"

"Seinget gue sih jam lima, Ed, kenapa emangnya?"

"Oke, Dar, thanks,"

Sebelum Darren sempat mengucapkan "bye" , Edward sudah menutup teleponnya dan segera meminta Pak Han mengantarnya ke bandara. Edward menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Jantungnya serasa berdegup kencang. Ia benar-benar ingin meminta maaf pada Emilda sebelum gadis itu berangkat ke Jerman. Ia melihat jam tangannya, sudah pukul tiga sore. Aduh, jangan-jangan Emilda sudah masuk ke bagian imigrasi! Atau bahkan sudah masuk ke boarding gate! Tidak, tidak! Pokoknya, ia harus bertemu Emilda.

Perjalanan ke bandara memakan waktu satu setengah jam dari rumah Edward karena jalan tol mengalami kemacetan. Sesampainya di bandara, Edward segera melihat ke dalam pintu keberangkatan dan pandangannya tertuju pada seorang gadis berjaket denim yang membawa tas ransel hitam bersama kedua orangtuanya sedang duduk di sebuah kursi dan merapikan barang bawaan mereka yang cukup banyak. Dia masih ada. Tapi tidak mungkin ia berteriak dari luar jendela. Jalan satu-satunya hanya telepati. Edward menarik nafas panjang.

Halo, Mil?

Lihat ke depan.

Edward berharap-harap cemas. Apakah Emilda masih dapat mendengarnya?

Beberapa detik kemudian, Emilda sempat menoleh ke kiri dan kanan, sebelum akhirnya melihat ke arah kaca dekat pintu keberangkatan. Ekspresi Emilda seketika berubah dingin begitu melihat seseorang yang sangat dikenalnya lewat kaca bandara. Tidak ada senyuman sedikitpun yang terpancar dari wajahnya. Edward mencoba melambaikan tangan, Emilda tidak membalas. Antara kaget dan tidak, Edward sudah memiliki firasat bahwa Emilda tidak akan memberi senyuman ramahnya setelah tidak berbincang sekian lama.

Ada apa?

Nada suara Emilda terdengar ketus. Matanya menatap tajam lewat jendela kaca yang memisahkan mereka.

Gue mau bicara sama loe sebentar, boleh?

Bicara apa lagi? Loe butuh bantuan sekarang sampai nyari gue di bandara?

Sorry, Mil. Gue pengen banget bicara sama lu. Please.

Silakan bicara, sekarang. Gue harus masuk ke imigrasi sebentar lagi!

Ada yang harus gue jelasin ke loe, Mil. Gue minta maaf banget karena gue nggak pernah ada buat loe lagi. Gue egois, gue terlalu mikirin diri gue sendiri.

Egois aja loe bilang? Loe bilang loe nggak suka kalau orang lain selalu cari alasan saat loe butuh bantuan. Asal loe tahu aja, loe nggak pernah lagi bantuin gue, atau bahkan jawab message dari gue. Loe cuma bisa cari alasan doang.

Mil, sorry, gue bener-bener nggak sadar kalau gue udah begini sama loe.

Loe nggak usah sok minta maaf. Selama kita bertemen, loe cuma manfaatin gue, kan? Masuk tim basket gara-gara siapa? Gara-gara gue, kan? Loe kenal sama Kayla, Anas, Darren, Wilson, semuanya dari gue, kan? Loe bahkan bilang ke Darren kalau gue nggak cocok bertemen sama kalian?Nggak selevel katanya?Gue denger juga loe bilang gue belajar bahasa Jerman cuma buat pamer? Pathetic banget, ya? Udah bagus gue temenin loe pas loe nggak punya temen. Sampai punya temen pun gue ada buat loe. Aduh, bodoh banget sih gue.

Mil..., semua yang gue lakuin tiga bulan terakhir itu salah besar. Gue udah bener-bener ngecewain loe.

Dan loe baru sadar sekarang?

Mil, gue bener-bener sorry dengan semua hal bodoh yang udah gue lakuin.

Loe pikir itu cukup? Ed, loe nggak tahu rasanya kayak apa.

Mil, please maafin gue.

Tunggu, ini terakhir dan penting karena gue udah capek dengar penjelasan loe.

Loe tuh anak cowok paling banyak drama yang pernah gue temuin. Loe bilang loe bakal selalu ada buat temen loe. Loe bohong. Ed, loe sama aja kayak yang lain.

Em...

Emilda sudah tidak menjawab lagi. Ia memutuskan telepatinya dengan Edward. Edward hanya bisa menatap lesu dari luar kaca sambil menyaksikan Emilda pergi dan menghilang dari pandangannya beberapa saat kemudian.

Itu adalah kali terakhir Edward berbincang dengan Emilda. Emilda tidak pernah lagi membuka akses telepatinya. Edward duduk di salah satu kursi dekat pintu keberangkatan. Di tengah keramaian Bandara Internasional Soekarano-Hatta, dirinya hanya dapat terdiam. Menyesal pun tidak berguna, sahabatnya itu telah pergi dari kehidupannya dan meninggalkan lubang yang besar di hatinya. Edward memandang langit yang berubah kelabu seperti suasana hatinya sekarang.

Perbincangan singkat itu mengakhiri semuanya. Walaupun Emilda mungkin sudah tidak dapat mendengarnya lagi, Edward mengucapkan sesuatu yang selama ini ia tidak berani katakan pada Emilda sebelum ia pergi dari bandara.

I will always love you, my dearest friend...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun