"Milly berangkat ke Jerman kapan?"
"Hari ini, loe nggak tahu?"
"Loe tahu nggak,dia flight jam berapa?"
"Seinget gue sih jam lima, Ed, kenapa emangnya?"
"Oke, Dar, thanks,"
Sebelum Darren sempat mengucapkan "bye" , Edward sudah menutup teleponnya dan segera meminta Pak Han mengantarnya ke bandara. Edward menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Jantungnya serasa berdegup kencang. Ia benar-benar ingin meminta maaf pada Emilda sebelum gadis itu berangkat ke Jerman. Ia melihat jam tangannya, sudah pukul tiga sore. Aduh, jangan-jangan Emilda sudah masuk ke bagian imigrasi! Atau bahkan sudah masuk ke boarding gate! Tidak, tidak! Pokoknya, ia harus bertemu Emilda.
Perjalanan ke bandara memakan waktu satu setengah jam dari rumah Edward karena jalan tol mengalami kemacetan. Sesampainya di bandara, Edward segera melihat ke dalam pintu keberangkatan dan pandangannya tertuju pada seorang gadis berjaket denim yang membawa tas ransel hitam bersama kedua orangtuanya sedang duduk di sebuah kursi dan merapikan barang bawaan mereka yang cukup banyak. Dia masih ada. Tapi tidak mungkin ia berteriak dari luar jendela. Jalan satu-satunya hanya telepati. Edward menarik nafas panjang.
Halo, Mil?
Lihat ke depan.
Edward berharap-harap cemas. Apakah Emilda masih dapat mendengarnya?
Beberapa detik kemudian, Emilda sempat menoleh ke kiri dan kanan, sebelum akhirnya melihat ke arah kaca dekat pintu keberangkatan. Ekspresi Emilda seketika berubah dingin begitu melihat seseorang yang sangat dikenalnya lewat kaca bandara. Tidak ada senyuman sedikitpun yang terpancar dari wajahnya. Edward mencoba melambaikan tangan, Emilda tidak membalas. Antara kaget dan tidak, Edward sudah memiliki firasat bahwa Emilda tidak akan memberi senyuman ramahnya setelah tidak berbincang sekian lama.