Pk 10.30.
Kami berdua terdiam sepanjang perjalanan. Ya, aku dan Charles, partnerku itu. Charles yang biasanya berisik dan ngoceh tidak karuan, kini diam dan terlihat banyak berpikir. Kami berdua paham, bahwa kasus yang akan kami datangi sekarang bukan main - main.
Media bahkan sudah datang terlebih dahulu. Beritanya sudah naik tadi pagi. Orang rusuh di sana - sini. Notifikasi di handphoneku tidak berhenti berdering. Baik panggilan maupun browser. Tadinya kami mau langsung buru - buru ke TKP. Tapi Pak Bos mencegah kami. Katanya biarkan Mahmud dan tim forensic yang lebih dulu meneliti lokasi. Baru kami diperbolehkan datang.
Biar kuceritakan dulu apa yang diberitakan media tadi pagi. Sebuah rumah di sebuah kompleks lingkungan menengah, sudah dua minggu ini mengeluarkan bau busuk. Tetangga pun tidak tahan. Pagi ini mereka mendobrak masuk, dan mendapatkan rumah dalam keadaan gelap gulita. Tidak ada penerangan, tidak ada siapa - siapa, dan tidak terdengar apa pun.
Namun bau busuk itu tetap menyengat. Mereka mengikuti aroma itu dan mendapatkan seorang wanita terikat sendirian di dalam sebuah kamar di lantai dua, di sebuah kursi. Warga pun histeris. Uniknya mereka menghubungi media dan bukan polisi. Justru awak medialah yang mengabarkan polisi.
Kini kami sudah berada di lingkungan kompleks, dan warga masih berkerumun. Namun kami melihat garis kuning polisi sudah melintas di depan rumah, dan beberapa awak polisi masih melakukan pemeriksaan. Kami berdua pun memasuki rumah tersebut.
"Kau diam sekali hari ini Charles." ujarku mencairkan suasana.
"Aku sedang memperhitungkan untuk mengajukan pengunduran diri, Kilesa. Atau ganti partner. Kepada Pak Bos. Aku muak berhadapan dengan kasus aneh."
Aku hanya bisa tertawa kecil. Benar, memang kasus aneh selalu mengikutiku. Kali ini pun, di luar batas kewajaran.
Mahmud menyambut kami dari atas tangga begitu melihat kami sudah tiba. Rumah itu gelap, tapi polisi sudah membuat penerangan, termasuk senter yang ada di mana - mana. Tapi memang suasananya sumpek. Bahkan tidak ada ventilasi udara. Salah seorang rekan polisi membuka jendela dan bunyinya memberitahu kami bahwa jendela itu tidak pernah dibuka.
Mahmud meminta kami mengikutinya ke atas. Sebelumnya aku memberikan pandangan menyapu di lantai satu. Kondisi rumah seperti ini, bukanlah kondisi rumah di mana ada manusia tinggal di tempat itu. Debu di mana - mana. Kecoa kadang melintas, dan jaring laba - laba di sudut ruangan. Di dapur, tidak ada apa pun selain noda hitam yang melekat di wadah pencucian.
Dengan keadaan seperti itu, sebelum melihat korban aku sudah bisa menarik kesimpulan. Orang ini tidak tinggal di sini. Ia hanya dibunuh, lalu ditinggalkan di tempat tanpa penghuni ini. Begitulah kira - kira analisaku.
Mahmud tersenyum, seakan membaca pemikiranku. "Kilesa, yang meninggal ini adalah yang punya rumah. Tanah ini tercatat atas namanya. Sulastri Sulaksono."
"Ya, tapi bisa saja ia tidak tinggal di tempat ini. Yang jelas, yang melenyapkan nyawanya memiliki pengetahuan bahwa rumah ini kosong tanpa penghuni."
Mahmud mengangguk. "Lebih baik kita lihat dahulu kondisi Sulastri sebelum memberikan penilaian. Biasanya analisamu jitu."
Aku juga mengangguk. Tapi sebelum benar -- benar menginjak anak tangga teratas, langkah kami berhenti. Terdengar suara gonggongan. Secara tiba - tiba, dari belakang.
***
Mayat Sulastri berada di dalam kamar urutan ke tiga setelah kami naik dari tangga. Keadaannya mengenaskan. Mulutnya menganga, matanya melotot. Dan kukonfirmasikan dugaanku melihat keadaannya pada Mahmud, bahwa mayat Sulastri sudah berada di tempat itu selama minimal sebulan. Sebulan! Bayangkan. Hanya bau busuknya yang semakin menyengat saja membuat tetangga semakin curiga.
Keadaan tangannya yang terikat dan kondisi lakbannya yang sudah berdebu membuat kami yakin bahwa ia ditinggalkan sendirian setelah nyawanya lenyap sebulan yang lalu. Hanya ada satu keanehan. Suara di halaman belakang.
Kami bergegas turun dan menemui Charles yang sudah di halaman belakang dan tidak pernah naik. Ia mengusap - usap kepala makhluk itu. Hal itu membuatku kesal.
"Mundurlah, Charles, dia salah satu objek penyidikan."
Charles berbalik dan menunjukkan wajah ketidaksukaannya kepadaku. "Apa yang kau harapkan dari anjing selucu ini, Kilesa? Ia tidak mungkin menjadi kompatriot dalam proses pembunuhan."
Anjing itu ramah, melonjak - lonjak kesana kemari, hanya tertahan oleh rantai yang mengikatnya ke rumah kecilnya. Bahkan setelah kuperhatikan itu bukanlah rantai, melainkan pengikat yang terbuat dari kulit. Anjing itu berwarna cokelat kayu, kalau aku berdiri tingginya tidak akan sampai di lututku. Ia menggonggong dengan ceria.
Aku berpandang - pandangan dengan Mahmud. Pikiran kami sama. Bagaimana mungkin?
Charles tertawa kecil. "Bagaimana mungkin anjing ini bisa berada di tempat ini, di mana tidak ada jejak manusia selama berminggu - minggu, begitu bukan pikiranmu, Kilesa?"
Aku sudah terbiasa dengan godaan Charles, karena ia suka membual. Ia menambahkan. "Apalagi, kalau kita lihat sekeliling di halaman belakang ini, tembok besar mengelilingi. Tidak ada jalan masuk dan keluar selain pintu depan. Bagaimana mungkin anjing ini bisa masuk, saat aku yakin tim forensik sudah memastikan bahwa tidak ada jejak manusia keluar masuk?"
Aku menatap Mahmud dan ingin memastikan pertanyaan terakhir Charles. "Apakah benar bahwa tidak ada jejak manusia keluar masuk selama sebulan ini, Mahmud. Bagaimana pemeriksaan tim forensic?"
Mahmud bergegas mencari anak buahnya. Aku tahu, ia belum menanyakan hal ini. Sementara itu aku juga ingin kembali memasuki ruangan rumah, tapi sebuah gigitan menerkam kaki bawahku. Untungnya aku sempat menghindar, namun naasnya celanaku sobek sedikit di bawah.
Charles bergegas berjongkok. "Ah, anjing nakal. Aku tahu kau lapar, selama sebulan ada di tempat ini dan tanpa ada yang memberi makan. Tenang saja, sebentar lagi kasus ini akan dipecahkan oleh paman Kilesa itu. Lalu, kita bisa segera pulang dan bermain - main."
Jika biasa anjing yang menggeram, kini aku yang mengeluarkan suara itu, Charles tertawa terbahak - bahak bersama anjing yang melompat kegirangan. Ia tahu bahwa aku tidak suka dengan hal yang tidak logis, dan keberadaan anjing itu akan mengganggu pikiranku. Saat ini Mahmud sudah masuk kembali. Mukanya suram.
"Aku minta maaf, Kilesa. Ternyata kami tidak bisa memastikan hal itu. Ingat bahwa para tetangga yang pertama menemukan mayat itu tadi pagi? Ya, maka jejak - jejak manusia sebelumnya pun tertutupi, dan tidak bisa diketahui."
Kembali aku menggeram, tapi berusaha menguasai keadaan. Aku beralih ke pintu belakang, dan sekali lagi menyapu pandangan ke seluruh ruangan dalam. Ruangan itu tidak terlalu besar, jadi mudah bagiku untuk melihat. Di depan, ada ruang tamu dengan tiga kursi sofa dan satu meja kayu. Setelahnya ada ruangan keluarga dengan satu meja makan. Di sebelah kiri ada rak kayu yang berisi bermacam perabotan dan pernak - pernik. Dan paling belakang adalah dapur.
Ke mana pun mataku melangkah, tidak ada satu pojok yang tanpa debu. Penerangan tambahan sudah dinyalakan dan kami bisa lebih mudah melihat, bahwa tidak ada jejak manusia di tempat itu. Namun, seperti kata Mahmud, kami tidak bisa memastikan itu. Aku jadi ingat kata - kata Hercule Poirot, detektif kebanggaan Agatha Christie. Kemungkinan, aku paling benci berurusan dengan kata itu.
Mencoba mengalihkan pikiran, aku bertanya pada Mahmud, "Bagaimana dengan kematian Sulastri? Prosesnya seperti apa?"
"Sebuah benda tajam menembus jantungnya dan membunuhnya dengan cepat. Kita tidak melihat itu tadi karena mayat sudah berusia sebulan, darah sudah membeku dan tubuh sudah membusuk."
"Artinya pembunuhnya tahu bagaimana cara membunuh. Ada jejak yang ditinggalkan?"
Mahmud menggeleng. "Bahkan kau bisa lihat sendiri, Kilesa. Tidak ada satu identitas pun di rumah ini. Tidak ada foto keluarga, tidak ada dokumen surat - menyurat, tidak ada KTP, STNK, dan lain - lain. Rumah ini tidak ditinggali, Kilesa."
Baru kali ini aku menghadapi kasus yang tanpa barang bukti. Tidak ada tersangka, tidak ada identitas, tidak ada jejak. Huft. Kasus aneh lagi!
Kecuali anjing sialan itu. Kini Charles sudah melepas rantainya dan keduanya bermain -- main di tanah. Aku ingin menghardik partnerku itu. Tapi sesuatu mencegahku. Permainan yang dilakukan Charles membuat anjing itu menjulurkan lidah kelelahan. Dan ada yang aneh menurutku.
Entah orang mengira aku mengada - ada, atau dibuat -- buat. Tapi untuk seekor anjing yang tidak pernah diberi makan sebulan (ya, kadang - kadang aku juga sarkas) gigi anjing itu terlalu rapi. Dengan kata lain anjing itu sangat terawat. Aku baru sadar kalau bulunya juga sangat lembut, dan ketika aku menciumnya, ternyata aroma shampoo anjing.
"Charles dungu, mengapa kau tidak memberitahu kalau anjing ini baru saja dimandikan?"
"Lalu memangnya kenapa kalau baru dimandikan?"
Aku mendesah. "Ingat - ingat kasus Ed Kemper."
Charles terdiam. Sementara aku bergegas untuk mengganti bajuku dengan baju kasual yang biasa kubawa untuk penyamaran. Mahmud yang langsung menangkap maksudku membantuku berganti pakaian.
Charles berdiri, "Maksudmu, ada kemungkinan pembunuhnya masih ada di sekitar sini dan mengamati dari jauh?"
Aku membuang napas, "Kalau benar ia segila itu dan membawa anjingnya ke dalam rumah ini, ada kemungkinan lima puluh persen. Ia ingin tahu anjingnya dibawa ke mana."
Benar, hipotesaku adalah orang ini adalah seorang psiko, dan setiap hari ia masuk ke dalam rumah dan membawa anjingnya. Setiap hari ia melihat 'hasil karyanya' di tingkat dua. Hari ini ia kurang beruntung, dan anjingnya terperangkap di dalam bersama polisi.
Ada kemungkinan ia berada di sekitar sini. Sebelum keluar, Mahmud menepuk pundakku dan mengucapkan semoga beruntung.
Aku keluar dari pintu depan dan mendapatkan beberapa warga masih berkerumun di belakang garis kuning. Tidak, tidak, menurutku ia tidak akan ada berada di situ. Aku melayangkan pandanganku ke sebuah warteg, dan terlihat beberapa orang sedang sibuk berpangkal ria.
Aku menghela nafas. Inilah dia.
***
Aku melangkah menuju warung dan mendapatkan tiga orang duduk - duduk di dalam. Satu orang berdiri di pintu. Semuanya memerhatikan TKP. Aku membuka topiku dan mengibas - ngibaskan, tanda kepanasan.
"Teh manis dingin satu, pak."
Bapak warteg segera menyajikan teh manis dingin. Sebenarnya aku paling tidak suka dengan es balok dari warung - warung seperti ini, tapi apa boleh buat, demi penyamaran. Yang berdiri di pintu berbalik. Ia mengenakan topi dari jerami, sehingga perkiraanku dia juga adalah penjaja makanan asongan.
"Saya lihat bapak berasal dari rumah. Bagaimana, pak, apakah sudah ada titik terang? Apakah polisi sudah tahu identitas dari yang dibunuh?"
Aku hanya mengangguk pelan - pelan, "Masih jalan buntu, pak. Kita bisa lihat sendiri. Rumah itu bobrok. Tidak pernah ditinggali. Tidak ada tanda - tanda manusia masuk ke dalam. Semuanya serba buntu."
Ia mendesah. "Iya, benar. Warga di sini juga sudah resah. Saya biasanya setiap pagi berkeliling antara jam sembilan dan jam sepuluh di kompleks ini. Tapi tadi pagi ramai sekali di rumah itu. Entah apa yang...oh, pak, mau beli mie baso? Sebentar."
Ia pun bergegas ke lapaknya di depan warung. Ternyata benar dugaanku, ia adalah seorang penjaja makanan. Aku menyeruput teh manisku, sebelum bapak warteg menyela.
"Saya juga kaget, pak. Saya tidak pernah melihat bapak di sekitar sini jadi saya asumsikan bapak dari media. Tapi tadi pagi ramai sekali. Baik warga kompleks sebelah dan awak media. Padahal biasanya sepi sekali, perumahan ini."
"Entahlah. Tapi saya kasihan dengan polisi. Mereka tidak mendapatkan bukti apa - apa." ujarku.
Di samping depanku adalah sepasang muda - mudi. Mereka memang adalah pasangan, tapi bukan di situ untuk pacaran. Ya, siapa juga yang memilih warung untuk arena pacaran, wahai Kilesa?
Si laki -- laki berkata, "Saya adalah penduduk daerah sini, pak. Ya, kalau bapak adalah awak media, boleh mengutip ucapan saya. Nama saya John. John Wicaksana. Kami sudah mencium bau - bauan menyengat itu seminggu ke belakang. Sebenarnya aku sudah bilang ke istriku ini sejak seminggu yang lalu. Tapi dia tidak percaya. Lihat, apa yang terjadi sekarang, sayang?"
Si wanita mendesah, "Siapa yang curiga hanya dengan mencium bau busuk saja. Kau ini kadang - kadang suka berlebihan. Kebetulan saja ada orang tewas di dalam rumah. Bisa saja itu bangkai kucing atau tikus. Bisa saja itu talang air yang jadi sarang kecoak. Bisa saja, banyak kemungkinan lain."
John tertawa mencemooh. "Mana ada sarang kecoak sebau itu? Sudahlah. Mas media, boleh catat ucapanku bahwa akulah yang memanggil polisi tadi pagi. Rata - rata orang sibuk upload di sosial media dan sejenisnya, tapi aku hanya memikirkan kepentingan hukum. Mas boleh berterima kasih padaku."
Pasangannya di sebelahnya mencibir tapi John tidak peduli. Aku bertanya, "Jadi mas John ada di dalam rumah tadi pagi?"
Ia mengangguk dengan yakin, "Tentu saja. Kita semua ada di dalam tadi pagi. Aku, Lydia, Swasono, dan orang di ujung itu, juga ada. Aku agak lupa namanya, ah, kalau tidak salah Chairil. Halo, Chairil."
Swasono adalah pemilik warteg. Sedang yang disebut oleh John duduk terpencil di pojokan, sedang mendengarkan musik lewat earsetnya. Atau percakapan lain. Pokoknya telinganya ditempeli sesuatu, dan ada ipad di depannya. Tapi karena suara John terlalu besar, ia menoleh dan membuka earsetnya.
"Kau memanggilku?"
"Iya, orang ini adalah awak media. Dia ingin tahu bahwa apakah kita berada di dalam pagi tadi."
Chairil mengangguk, "Ya, benar. Aku ada di dalam pagi tadi. Bau sekali. Aku harus menggunakan senter untuk jalan. Tapi tidak sampai ke lantai dua. Orang - orang yang lebih dulu naik lantai dua tiba - tiba turun dengan tergesa - gesa. Seperti dikejar setan. Setelahnya kita tahu bahwa ada mayat di lantai dua. Menyeramkan sekali."
Aku bertanya pada John. "Tapi kau sampai ke lantai dua?"
Lagi -- lagi ia mengangguk dengan bangga, "Tentu saja, mas media. Aku melihat mayat itu dengan mata kepalaku sendiri. Bahkan sempat mengambil foto. Menyeramkan memang, melihat keadaannya. Tapi bagiku yang sudah terlatih militer, hal itu bukan perkara besar. Sedangkan istriku ini, hanya berani memandang dari luar."
"Tidak apa - apa, John. Tidak apa - apa aku dianggap pengecut. Yang penting nyawaku selamat."
Aku ingin sekali menyebutkan tentang keterangan anjing di halaman belakang, tapi entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal, membuatku menahan diri. Â Sebagai kata penutup, aku mengucapkan terima kasih atas keterangan - keterangan yang kudapatkan di warung itu. Chairil menanggapi.
"Kubaca di media sudah sebulan mayat itu tidak bernyawa, dan baru hari ini ditemukan. Kalau aku jadi pak polisi, tentu aku akan bingung bukan kepalang. Mudah - mudahan identitas mayat cepat ditemukan dan nama tersangka muncul ke publik."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Aku bangkit dan berdiri, membayar es teh dinginku, dan hendak beranjak ke luar. Sebelum itu, entah mengapa, Swasono menggenggam tanganku. Kukira tadinya ia hendak menyalamiku sehingga aku menyambutnya. Tapi wajahnya memelas dan ia mengucapkan sebuah pesan. Pelan sekali, seperti berbisik.
"Kuulangi sekali lagi. Kompleks ini tadinya sepi dan segala sesuatunya terlihat jelas. Tolonglah, pak. Terima kasih."
Aku pun melangkah ke luar dan berdiam sejenak di pintu, memerhatikan sekitar. Kata - kata Swasono benar. Jika kita mengabaikan rumah bobrok yang masih ramai oleh penduduk dan media itu, sebenarnya kompleks itu adalah perumahan yang sepi. Segala sesuatu yang aneh pasti terlihat jelas.
Segala sesuatu terlihat jelas.
Aku memikirkan kata - kata terakhir sang pemilik warteg. Tiba - tiba sesuatu muncul di kepalaku. Aku mengecek dengan segala bukti logis, dan semua bukti dan keterangan, dan semuanya cocok pada suatu kesimpulan. Masih kemungkinan, tapi layak untuk diperiksa.
Dengan segera aku menghubungi Mahmud untuk memberikan beberapa personil kepolisian, untuk datang ke warteg ini. Kuminta agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Aku mendesah. Kuharap hipotesaku ini benar. Kalau benar, maka kami sedang berhadapan dengan pembunuh psikopat.
Tiba - tiba seseorang memecah keheningan. "Baksonya, pak?" Si tukang baso tersenyum, dengan setengah berjongkok dia menatapku dengan antusias. Pelanggannya sebelumnya sudah selesai.
Aku hanya bisa membalas dengan senyuman.
Kasus lain dapat dilihat di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H